“Kamu itu enggak pantes ngerokok, tahu!” Dengan raut wajah setengah mencibir, Anjani berkata demikian persis di hadapan saya yang baru saja menyesap sebatang Class Mild. Saya memandangnya heran, hendak membela diri, tetapi urung karena malas. Anjani adalah teman saya di kampus. Saat itu kami sedang mengerjakan tugas di sebuah warung kopi di sekitar kawasan Condong Catur, Sleman.
“Ih, matiinlah rokokmu!” Ia mendengus kesal karena melihat saya acuh tak acuh. “Seriusan, cowok kayak kamu itu enggak pantes ngerokok,” lanjutnya.
“Emang yang pantes ngerokok itu yang kayak gimana, sih?”
Anjani memiringkan kepalanya sedikit, matanya menatap ke atas, dan telunjuknya dia tempelkan ke bibir selama beberapa saat, kemudian ia pun berkata, “Wajahmu itu kaya anak SMP, polos, wajahmu bundar, imut. Pokoknya untuk jadi seorang perokok, kamu ini enggak banget menurutku.”
Alih-alih mematikan puntung rokok, saya malah ketawa mendengar komentar Anjani. Ingatan saya terlempar pada hari pertama ketika saya mencoba rokok, sekitar kelas dua SMK. Ketika itu, teman-teman saya juga memiliki pendapat yang hampir sama dengan Anjani. Dan pendapat semacam itu, anehnya, terus melekat pada diri saya, bahkan bertahun-tahun setelah saya kuliah dan merokok sesekali di depan teman-teman se-kampus.
Saya memang bukan perokok aktif yang bisa menghabiskan dua bungkus lebih dalam sehari. Saya hanya merokok dalam kondisi-kondisi tertentu. Misalnya, sedang stres, marahan sama pacar, jengkel karena faktor letupan hormon, dan lain-lain.
Tapi masalahnya, setiap kali merokok, saya selalu dikomentari secara negatif. Bukan tentang kesehatan dan segala tetek bengeknya. Namun lebih kepada urusan penampilan. Bahwa saya lebih cocok jadi cowok polos, anak baik-baik, yang harus mempertahankan keimutan saya dengan tidak merokok. Kesannya, kalau saya ngerokok, orang-orang jadi seperti melihat ada anak kecil sholeh yang sedang mencoba-coba jadi bengal.
Manusia memang gemar menciptakan standar. Kita selalu menganggap bahwa segala yang ada di dunia mesti punya patokan, pakem, ukuran. Dengan patokan tersebut, kita lalu mengidentifikasi apakah suatu nilai selaras dengan diri kita dan orang lain atau tidak, apakah suatu tindakan atau suatu benda sesuai dengan kepribadian kita dan kepribadian orang lain atau malah sebaliknya. Standar tersebut juga mengiringi perjalanan kita dalam memilih, mulai dari memilih pakaian, alat dapur, warna sempak, bentuk kutang, hingga pasangan hidup.
Standar juga kerap menjadi titik tujuan untuk dicapai. Semisal, untuk menjadi anak yang hits di kampus, kecenderungannya ada dua pilihan: pertama, punya wajah cantik/ganteng mulus yang ala-ala Korea atau, minimal, bintang sinetron, plus memiliki baju-baju bermerek dan Instagrammable. Kedua, kalau kamu merasa kurang pede sama penampilan, ya mesti cerdas, aktif bikin paper, ikut konferensi ke mana-mana, terus daftar seleksi mahasiswa berprestasi.
Jadi, kalau kamu tidak pintar, wajahmu pas-pasan, jarang ganti baju, mandi tiga hari sekali, dan bau keringatmu udah kaya perpaduan soto babat sama kencing kuda, ya wassalam sudah. Tidak usah mimpi bakalan nge-hits. Ada yang mau sekelompok sama kamu buat ngerjain tugas aja udah syukur. Memang sih hal ini tidak bisa digeneralisir, tetapi ada kecenderungan kuat semacam itu di kampus.
Nah, selain jadi tujuan, standar juga kerap kita pakai untuk menilai hidup orang lain. Dalam konteks kasus saya, teman-teman mengatakan kalau saya ini tidak pantas menjadi perokok. Alasan mereka hampir sama: bahwa cowok yang memiliki wajah agak chubby, dengan raut muka polos seperti bocah, tidaklah pantas menyesapnya. Padahal, terlepas dari mitos bahwa muka saya ini polos (saya tidak benar-benar mempercayainya), saya boleh dibilang masih bersikap layaknya cowok dalam persepsi masyarakat secara umum.
Tapi ya begitulah, standar maskulinitas perokok, yang citranya dikuatkan oleh iklan dan film-film itu telah membingkai pandangan orang kebanyakan.
Hidup manusia memang tidak akan pernah bisa lepas dari standarisasi, meskipun standar tersebut sebetulnya bukan sesuatu yang bersifat mutlak dan penentuannya kadang serampangan belaka, bahkan terkesan absurd.
Agus Mulyadi, misalnya, dalam salah satu tulisan di blog pribadinya, pernah mengisahkan pertemuan pertamanya dengan sastrawan yang kini menjabat kepala suku Mojok, Puthut EA. Kala itu, Agus sempat kaget lantaran melihat Mas Puthut tidak seperti yang dia bayangkan sebagai seorang sastrawan. Di mata Agus, sastrawan mestinya memiliki penampilan sangar. Minimal, kata dia, seperti pesulap Limbad.
“….ketika Tuhan memperkenankan saya untuk bertemu dengan Mas Puthut di Jogja waktu itu, barulah saya tahu bahwa ekspektasi saya terhadap sosok mas Puthut ini salah besar. Sosoknya ternyata kalem cenderung unyu. Sama sekali tak ada cambang, kumis, maupun jenggot, rambutnya pun tak gondrong. Sangat tidak sastrawan. Kalau saja parameter kesuksesan seorang sastrawan dinilai berdasarkan penampilan. Maka saya berani mengatakan bahwa mas Puthut adalah sastrawan gagal Total. Untunglah kebiasaannya dalam menyeruput kopi hitam bisa menjadi sedikit penegas eksistensi-nya sebagai seorang sastrawan. (Agus Mulyadi, 2014)
Demikianlah, dalam konteks ini, kita bisa memosisikan Agus Mulyadi sebagai orang yang sudah memiliki standar untuk melihat sastrawan dalam wujud orang-orang bohemian yang secara penampilan gahar (rambut gondrong, brewokan, dan segala macam itu). Maka ketika ada seorang sastrawan yang muncul dengan penampilan di luar standar kaca matanya, Agus pun nggumun.
Saya mengerti, di satu sisi kehidupan manusia memang butuh standar atau patokan supaya memiliki tujuan dan pandangan. Namun, ada konsekuensi yang cukup serius manakala kita jadi begitu esensialis dalam menjalani kehidupan. Ambil contoh soal standar kekayaan. Ada orang-orang yang cenderung menganggap standar kekayaan zaman sekarang adalah mereka yang memiliki rumah bagus, mobil, dan bekerja di kantor. Sementara mereka melupakan standar alternatif kaya yang lain. Misalnya, kaya dalam hal memiliki banyak teman, suka menolong sesama, dan berusaha peduli dengan orang-orang sekitar.
Kalau seseorang terlalu esensialis, taruhlah memegang tegus standar kekayaan yang pertama, maka ketika ia tak bisa memenuhinya, ia pasti akan sangat kecewa dan, boleh jadi, terpuruk untuk waktu yang cukup lama. Kecuali ia mau merubah pandangannya dan menerima standar kekayaan alternatif lain.
Saya bukan bermaksud menghakimi atau bagaimana, tetapi menurut saya kita perlu untuk membuka pikiran agar tidak saklek, berpatok pada satu standar dalam memandang kehidupan. Sebab di era ini, tak bisa dipungkiri, kita acap kali melihat ada kontestasi antarstandar. Pertarungan yang kerap juga melibatkan moral, hingga norma-norma agama. Kita kerap dikacaukan oleh pandangan dikotomis mengenai “dia” yang baik dan “dia” yang tidak baik, yang pantas dan tidak pantas.
Padahal, realitas begitu kompleks. Hidup ini bukan melulu ada hitam dan putih. Baik/buruk, pantas/tidak. Apa lagi standarisasi acap kali dibentuk oleh kelompok dominan atau segelintir orang dengan pengaruh tertentu untuk kepentingan mereka.
Oleh karena itu, saya pun mulai membiasakan mikir begini: baik menurut kelompok Anda belum tentu baik menurut kelompok saya. Pantas menurut saya juga belum tentu pantas menurut Anda. Pada titik ini, pandangan yang terbuka dengan mempertimbangkan segala aspek jadi kunci utama. Agar standar dan selera hidup kita tidak terombang-ambing arus. Lebih-lebih, disetir kepentingan industri atau politik belaka.
Orang berseloroh atau serius mengatakan saya tak pantas merokok, saya tidak merasa teringgung. Saya sih punya standar sendiri dalam menilai mana yang pantas untuk saya dan tidak. Pusing amat mikirin anggapan orang. Toh, imut menurut kawan-kawan se-kampus bisa jadi malah njijiki (menjijikkan) bagi kawan-kawan di kampung saya.(*)
BACA JUGA Komentar Negatif dan Hal Tak Menyenangkan Lainnya atau tulisan Akhyat Sulkhan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.