Di tahun 2021 ini, apa yang menjadi kebutuhan pokok kita selain pangan, sandang, dan papan? Selain media sosial lho, ya, apalagi kalau bukan aplikasi streaming film dan lagu online. Coba deh cek ke seluruh gawai anak zaman sekarang. Pasti nggak ada yang nggak punya dua jenis aplikasi ini. Entah untuk tujuan mendengarkan musik, hiburan saat chill, hingga agar terlihat edgy saja sama “society gue” adalah berbagai latar belakang yang biasa kita temukan.
Namun, jauh sebelum dua aplikasi ini ada dan mainstream di Indonesia, tentu kita semua—khususnya yang remaja saat 2010-an—juga punya cara sendiri terus terlihat edgy di depan teman-teman kita. Jangan tanya soal streaming film karena tahun segitu jauh sebelum ada aplikasi menonton di gawai, praktis hanya keping DVD yang dijual di mal atau pasar lah wahana nonton film barat. Memang harus diakui, mengunduh film tahun segitu nggak mudah, apalagi untuk anak SMP. Pun urusan kecepatan internet, jangan dibandingkan dengan hari ini. Bisa buka Facebook dengan lancar saja sudah alhamdulillah.
Pindah dari film ke urusan musik. Dulu ketika urusan musik datang, tentu banyak situs yang menyediakan lagu untuk diunduh, tapi tentu ada situs yang sangat berkesan dan paling berpengaruh bagi sebagian besar remaja. Entah sudah berapa juta pasangan manusia jadi kekasih berkat situs ini. Entah berapa jutaan jiwa terhibur karena situs ini. Kalau bisa menominasikan nobel perdamaian, jelas pendiri situs Stafaband akan saya nominasikan.
Bukan tanpa alasan saya memilih Stafaband. Saya masih ingat betapa besar jasa situs ini, mulai dari membantu Ayah dan Ibu saya berdamai saat ribut rutin tahunan Lebaran karena saya berinisiatif mengunduh lagu Brian Adams zaman mereka pacaran dulu dan hal itu membuat mereka nggak saling emosi. Hingga membantu saya ketika bribik perempuan saat SMP karena lewat situs ini saya bisa mempunyai bahan obrolan soal musik dan bisa terlihat gaul karena selalu menjadi yang terdepan dalam perkembangan musik dunia. Saya masih ingat bagaimana situs Stafaband ini membantu saya terlihat indie sebelum waktunya karena gawai saya penuh dengan lagu dari grup musik dan penyanyi antimainstream. Jangan diremehkan, lho, karena untuk anak usia 15 tahun, itu adalah prestasi besar dalam menentukan jati diri saya.
Berbeda dengan sekarang di mana musik biasanya diputar secara daring. Dulu, di era 2000-an dan mungkin hingga beberapa tahun yang lalu, jika kita hendak mendengarkan musik, kita harus mengunduh dan menyimpan lagu kesukaan di gawai. Jadi, mau nggak mau kita harus terbiasa berselancar di dunia maya dan mencari kata kunci yang cocok untuk mencari lagu. Di saat yang nggak pasti dan penuh kerisauan itulah Stafaband hadir. Ia seolah oase di tengah padang pasir gersang bagi jutaan manusia yang haus akan musik terbaru. Apalagi caranya mudah lantaran instruksinya cukup sederhana. Bahkan, Ibu saya yang mengklaim dirinya gaptek saja bisa mengunduh lagu Trio Ambisi kesukaan blio melalui situs ini.
Bayangkan seandainya situs ini dilihat orang Silicon Valley, tentu bakal disuntikkan dana ratusan miliar untuk investasi karena potensialnya situs ini serta begitu bergunanya situs ini. Memang Stafaband masih ada, tetapi vibes-nya jelas bukan seperti dahulu lagi. Sekarang aplikasi musik di gawai lebih diminati karena mudah. Tetapi jauh sebelum aplikasi seperti ini masuk, kita harus ingat bagaimana begitu berwarnanya masa remaja kita: jiwa alay diri kita dengan rambut emo, celana ketat ke bawah yang saya lupa namanya, hingga musik-musik yang banyak berjasa menemani kita di kala PDKT, putus cinta, ditinggal pacar karena UN, hingga berbunga-bunga karena merasakan cinta. Semua ini nggak akan akan jadi hitam putih jika bukan karena situs Stafaband.
Sumber Gambar: YouTube Palcont Channel.
BACA JUGA Mengenang ‘Amigos X Siempre’, Telenovela yang Booming Pada 2000-an dan tulisan Muhammad Vicky AS lainnya.