Sragen, Kota yang Hidup Cuma Sampai Maghrib, Setelah Itu, Seakan Jadi Kota Mati

Keresahan Saya Selama Tinggal di Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen

Keresahan Saya Selama Tinggal di Kecamatan Gemolong Kabupaten Sragen (Unsplash.com)

Bayangkan begini: kau sedang dalam perjalanan pulang makan mie ayam, makanan yang turun langsung dari surga, sebagai hadiah dari Tuhan pada umat manusia. Lalu, kau melihat jam di tanganmu. Pukul 19.12. Belum terlalu malam, dan dunia, harusnya masih begitu sibuk. Tapi justru yang kamu lihat begitu beda. Jalanan begitu sepi, warung tutup, lampu padam, sunyinya begitu memekakkan. Nah, itulah Sragen di malam hari, kawan-kawan.

Di kota lain, jam 7 malam adalah pemanasan buat nongkrong. Tapi di Sragen, nongkrong jam 7 malam itu udah kaya tindakan subversif. Berasa melawan arus masyarakat yang udah berdamai dengan nasib, masuk rumah, mandi, terus nonton sinetron azab. Mau ke angkringan aja kadang udah tutup. Kalaupun buka, cuma isinya bapak-bapak main gaple sambil ngerokok lintingan, bukan temen-temen seumuran yang bisa diajak ngobrol tentang quarter life crisis.

Di Sragen, slow living itu bukan gaya hidup, itu kewajiban. Bukan karena pilihan, tapi karena emang nggak ada opsi lain. Mall nggak ada, bioskop juga nihil, dan cafe yang buka sampe larut cuma bisa dihitung pake jari. Kalo kamu berharap ada tempat cozy buat nugas sampe jam 10 malam, buang saja angan-angan bodoh itu dari pikiranmu.

Ironisnya, Sragen ini deket banget sama Solo. Secara geografis cuma butuh 20-30 menit naik motor, tapi secara atmosfer, beda kayak Jakarta sama Bandung di FTV-FTV. Di Solo, kamu bisa nonton konser, nongkrong di coffee shop, atau sekadar duduk di taman kota. Di Sragen, pilihan paling realistis ya balik ke rumah, masuk kamar, dan peluk bantal sambil ngeliatin plafon.

Sragen sepi itu sebenernya bagus, tapi…

Sebenernya, saya nggak masalah sih kota ini sepi. Damai itu bagus. Tapi kadang heran juga, kenapa sepi banget? Bahkan kota sekecil Ngawi aja masih punya bioskop. Sragen? Layar tancep aja udah dianggap hiburan mewah. Ini bukan kota yang tertinggal, cuma kayak kota yang males update sistem. Sragen kayak Android 5.0 di zaman orang udah make Android 13.0.

Kadang saya iseng nanya ke temen yang dari luar kota, “Kalau ke Sragen, enaknya ke mana ya?” Mereka cuma bisa jawab, “Hmm… ke rumah kamu aja deh.” Karena emang nggak ada jawaban lain yang make sense. Tempat wisata ada sih, tapi nggak bisa dikunjungi malam hari. Tempat makan enak ya ada juga, tapi banyak yang udah tutup sebelum azan Isya berkumandang. Nongkrong? Mending jangan, nanti malah dikira mau nyolong meteran listrik.

Baca halaman selanjutnya

Jadi biksu digital

Ini bukan keluhan. Ini semacam saran buat pemerintah daerah dan warga Sragen untuk mulai mempertimbangkan jam operasional yang lebih manusiawi. Kita juga pengin punya opsi buat ngerjain skripsi di luar rumah, tanpa harus dikejar deadline dan juga dikejar satpam karena tempatnya udah mau tutup. Kita pengin duduk di kedai kopi yang punya playlist musik selain dangdut koplo atau house remix yang sound-nya bocor.

Merasakan jadi biksu digital

Jangan salah sangka, warga Sragen itu asik-asik kok. Ramah, sederhana, dan punya selera humor yang khas. Tapi ya itu tadi, malam hari di Sragen bukan waktu buat bersosialisasi, melainkan waktu buat instrospeksi. Mungkin karena itulah banyak yang jadi bijak mendadak tiap malam, saking nggak ada distraksi.

Kalau kamu anak rantau dan baru pindah ke Sragen, saran saya jangan langsung frustrasi. Mungkin di awal kamu akan kaget, syok, bahkan merasa kayak tinggal di antah berantah. Tapi lama-lama, kamu bakal terbiasa. Bahkan kamu bakal mulai menikmati suasana sunyi itu, dan bilang ke diri sendiri: “Ternyata jadi biksu digital di Sragen itu nggak buruk-buruk amat.”

Pada akhirnya, meskipun Sragen sunyi, kita tetap bisa bahagia. Walau kadang, bahagia itu harus dicari di siang hari, karena malamnya udah keburu bubar jalan.

Penulis: Putri Ardila
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Derita yang Saya Rasakan Selama Tinggal di Perbatasan Ngawi-Sragen: Mau Pesan Ojol, Malah Disarankan Bertapa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version