Ada satu hal yang sebenarnya kita harus pahami, tapi sering kita abaikan karena kita sendiri tidak diberi pengetahuan yang cukup. Ini soal hukum. Nggak banyak orang yang punya wawasan di bidang satu ini karena kayaknya, membahas hukum kok identik dengan lagi punya masalah. Padahal, melek hukum bisa membantu kita menghindari persoalan yang nggak perlu. Saya akan membagi pengalaman saya untuk menunjukkan betapa pentingnya punya wawasan hukum.
Beberapa hari lalu saya pergi ke kantor kecamatan untuk mengambil KTP yang sudah saya urus sejak setahun lalu. Sesampainya di sana, saya kaget karena KTP saya belum dicetak. Lebih kaget lagi ketika bertemu dengan orang yang sudah empat tahun mengurus, belum jadi juga. Jadi dari dia masuk kuliah sampai lulus, KTP-nya masih mangkrak.
Padahal KTP adalah barang yang wajib dimiliki. Memang ada surat pengganti KTP, namun kertas itu tidak bisa digunakan untuk verifikasi data online.
Saya jadi bertanya-tanya, apa alasannya KTP saya belum dicetak? Kabar terakhir, katanya masih harus antre. Namun, antrean seharusnya sudah selesai sejak April. Jadi, mestinya KTP saya sudah bisa dicetak dong? Tak puas dengan penjelasan petugas, suami saya lantas membuat surat keberatan dan mengadukan kasus maladministrasi ini ke Ombudsman di wilayah kami.
Dua hari kemudian, seseorang menelepon dan meminta suami saya datang ke kantor kecamatan. KTP kami sudah dicetak dan langsung bisa diambil. Semudah itu. Tapi, hal itu hanya terjadi pada kami yang melaporkan kasus ini ke ombudsman.
Saya yang awam terhadap hukum cuma ngikut suami saya. Tadinya saya sempat mikir, laporan suami tadi nggak bakal lah ada gunanya, eh ternyata langsung berhasil. Ya, saya memang tidak tahu Ombudsman RI itu tugas dan fungsinya apa. Suami saya yang merupakan dosen hukum memberi tahu saya bahwa jika ada maladministrasi di badan pemerintah, bisa dilaporkan ke Ombudsman.
Saya sendiri tidak tahu prosedur untuk melaporkan hal-hal semacam itu kepada Ombudsman. Lalu bagaimana dengan orang yang bahkan tidak tahu Ombudsman itu ada? Bagaimana nasib orang-orang yang sangat membutuhkan KTP untuk urusan administrasinya? Apakah kita memang sengaja didorong untuk memilih jalan pintas, membayar sejumlah uang agar KTP langsung jadi? Nyatanya, cara ini lebih sering berhasil. Nasib orang bergantung pada KTP, namun pengurusannya berbelit-belit.
Dan pertanyaannya akan terus berlanjut. Buat yang pengin KTP-nya cepet kelar, tapi nggak punya duit buat nyuap? Apalagi kalau bukan menunggu saja. Pasrah. Atau menggunakan kekuatan media sosial untuk menekan pihak terkait agar gercep dan nggak makan gaji buta.
Kita semua pasti maklum, menulis kritik dan protes di media sosial agar viral telah menjadi metode ampuh untuk melawan ketidakadilan. Saya pernah menggunakan metode itu ketika menagih uang refund dari agen travel, dua kali bahkan.
Yang pertama saya refund tiket karena bencana kabut asap. Saya tunggu hingga dua bulan tak kunjung dikembalikan. Saya hubungi pihak maskapai, mereka mengatakan sudah mengembalikan uang saya kepada agen tiket. Ketika saya hubungi agen via telepon, mereka mengatakan sedang diproses dan akan dilakukan pengecekan. Esoknya begitu lagi, jawabannya hanya diulang. Sudah lelah dengan penantian ini, saya putuskan menggunakan Twitter untuk beraksi. Saya mention agen tiket dan terjadilah aksi berbalas mention dengan admin. Beberapa hari kemudian, uang pun ditransfer ke rekening saya.
Kali kedua ketika pandemi Covid-19, saya melakukan refund tiket pesawat. Saya mencoba bersabar karena banyak penerbangan ditunda dan pasti berlimpah sekali tiket yang hendak di-refund. Saya biarkan uang saya mengendap selama tiga bulan. Namun, kesabaran saya tidak berbuah manis.
Pihak agen travel malah memancing kemarahan saya. Saya langsung menghubungi via email dan Twitter. Tak perlu tanya maskapai, sepertinya saya tahu letak kesalahannya. Selang beberapa hari, uang sudah ditransfer. Semudah itu.
Intinya banyak kasus yang sebenarnya mudah ditangani, tapi pihak terkait tak segera bergerak kalau tidak diprotes dulu. Entah apa faktornya, yang jelas setiap warga negara harus tahu apa yang mesti dilakukan ketika terjadi maladministrasi.
Mungkin jika ahli hukum yang digantung uang refund-nya, cara menagihnya pun akan berbeda. Saya sendiri tidak tahu karena awam hukum. Saya sarjana, tapi saya tidak pernah mendapatkan pendidikan hukum yang cukup untuk hidup di negara hukum.
Saya jadi berpikir, mestinya tiap warga negara mengetahui langkah yang harus ditempuh ketika terjadi sesuatu yang berkaitan dengan hukum, administrasi, dan birokrasi. Sosialisasi hukum seharusnya seperti pengajian kampung, menyentuh segala lapisan masyarakat. Kalau perlu pelajaran hukum dibikin kayak matematika atau bahasa, wajib diketahui semua orang sejak sangat dini.
Sosialisasi hukum harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Kegiatannya juga tidak perlu formal, sebagaimana pengajian kampung yang bisa diterima seluruh lapisan masyarakat. Masuk ke semua kalangan, tidak terbatas usia, pekerjaan, dan pendapatan.
Pengetahuan tentang hukum seharusnya tak hanya dimiliki oleh orang kota dan warga kalangan atas. Rakyat kecil harus melek hukum, harus didampingi, dan diprioritaskan. Kenapa? Sebab, merekalah yang paling sering menjadi korban hukum.
Rakyat kecil cenderung sabar dan nrimo. Kalau dirugikan, mereka tidak bisa protes, tidak punya kekuatan dan pengetahuan, apalagi uang. Dengan konteks tersebut, pemerintah yang katanya mengayomi rakyat harus hadir dan mendampingi masyarakat.
BACA JUGA Telat Menikah Itu Bukanlah Sebuah Masalah, dan Ini Serius dan tulisan Mutabiatul Huda Az Zahro Mahdiyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.