Sophie, Arwah Noni Belanda yang Setia Menemani Saya Jaga Malam di Kedai Kopi

sophie arwah noni belanda mojok

sophie arwah noni belanda mojok

Bekerja di kedai kopi selalu seru untuk dibicarakan, mulai dari ngomongin pelanggan yang kadang mangkeli, atasan yang kadang lucu-lucu kelakuannya, sampai ke hal-hal mistis yang kerap terjadi saat kudu jaga malam. Untuk urusan hal mistis, rasanya saya dan hampir semua pegawai di kedai kopi tempat saya kerja sering mengalaminya.

Saya kerja di sebuah kedai kopi di dekat UGM. Dulu sebelum daerah itu menjadi kedai kopi, isinya adalah kebon belukar yang kerap dihuni para tunawisma. Barulah pada 2018 awal lokasi itu dibersihkan dan dibangun sebuah kedai kopi yang sampai sekarang masih eksis.

Cerita-cerita mistis selalu hadir di sebuah tempat yang dulunya adalah lahan kosong, demikian pula yang terjadi di lingkungan saya kerja. Segala kejadian tak wajar seperti blender yang tiba-tiba menyala sendiri, grinder yang menggiling kopi sendiri, bahkan lampu yang sering hidup dan mati sendiri selalu dikaitkan dengan penghuni lama yang belum bisa menerima kehadiran kedai kopi tempat saya kerja. Untuk urusan lampu yang mati nyala sebenarnya lebih karena listrik sering korslet sih sebenarnya, tapi ya sudah, anggap saja yang bikin konslet adalah penunggu kedai kopi.

Suatu ketika kedai kopi tempat saya kerja mempekerjakan penjaga malam. Tugasnya adalah menjaga kedai kopi saat tutup pukul 23.00 WIB sampai nanti buka lagi pada pukul 08.00 WIB. Saya, yang sangat loyal dan jiwa setia kawannya tinggi mendamba WiFi, kerap menemani si penjaga malam itu, dan banyak sekali kejadian ngeri-ngeri lucu yang saya alami. Saya pernah bermalam-malam saat WiFi-an dibaui aroma bunga-bungaan padahal nggak ada tumbuhan bunga sama sekali di sekitar. Memang ada semak belukar di ujung kedai kopi dan berbatasan langsung dengan Kali Code, tetapi semerbak aroma bunga tidak mungkin ada di sana.

Kebetulan si penjaga malam memang hobi ngurusin demit. Dia bisa ngerasain kehadiran kaum dedemit, bahkan bisa mengusirnya juga kalau memang terlalu mengganggu, dengan catatan demitnya masih level rendahan seperti kuntilanak nyasar, tuyul main, atau siluman binatang-binatangan gitu. Saya curhat ke dia seputar wewangian yang saya cium, dan dia memang membenarkan kalo ada arwah mbak-mbak yang nungguin kedai kopi. Kata dia, selama aromanya wangi, artinya arwahnya baik. Kalau aromanya busuk, berarti arwah jahat.

Sialnya, beberapa malam kemudian, aroma yang tercium bukan lagi wewangian, melainkan aroma busuk seperti mayat. Bukan aroma bangkai tikus karena kalo bangkai tikus saya sudah hapal betul seperti apa. Lebih seperti anyir-anyir dan bau koreng gitu. Saya nggak berani curhat ke si penjaga malam, khawatir malah dijelasin yang seram-seram dan saya malah nggak berani pulang ke kos. Di malam yang sama pula, saya mendengar suara tangisan yang kueeenceng banget berkali-kali. Pas saya panggil si penjaga malam, eh tetiba suara tangisannya ilang. Si penjaga malam cuma senyum sambil mangut-mangut dan lihat ke arah pojokan.

Suatu ketika, si penjaga malam pernah ngobrol-ngobrol sama beberapa pegawai kedai kopi yang juga kerap merasakan aura keberadaan dedemit. Si penjaga kedai kopi bilang, memang ada beberapa demit yang menjaga tempat itu. Satu, si arwah noni Belanda yang cantik jelita yang kemudian iseng kami beri nama Sophie, kedua mas-mas bertubuh besar yang menjaga pojokan deket semak belukar, dan ketiga ada anak kecil yang menjaga lantai dua di kedai kopi. Anak-anak kecil di lantai dua itu yang paling iseng, kerap lari sana lari sini dan lempar banyak hal. Pernah suatu sore saat manajer operasional sedang ngerjain sesuatu di lantai dua—lantai dua memang bukan area pelanggan—dia dilempari kerikil-kerikil kecil dan membuatnya langsung turun ke bawah karena ketakutan.

Suatu malam yang lain, beramai-ramai kami melihat sesosok binatang seperti celeng dengan mata menyala merah dan tubuh gelap muncul dari semak-semak. Untungnya waktu itu kedai kopi sudah tutup dan nggak ada pelanggan, cuma ada para pegawai yang numpang WiFi. Makhluk entah apa itu, beramai-ramai kami lempari batu sambil digertak—kenekatan yang benar-benar ngeri. Setelah ngusir makhluk itu, kami semua bergegas pulang ke kos masing-masing. Saya, sampai di jembatan sebelum perempatan Monjali, malah masih diikuti aroma semerbak mawar.

Kasus lainnya lagi terjadi saat kami numpang WiFi—lagi-lagi—setelah kedai kopi tutup. Setelah blender menyala sendiri, grinder menggiling kopi sendiri, tiba-tiba salah satu pegawai melihat sebuah kursi yang bergerak maju sendiri. Persis seperti saat ada orang yang ngerapiin kursi, hanya saja yang ngerapiin nggak kelihatan.

Di malam lainnya lagi, suara benda pecah terdengar dari arah dapur. Saya ngecek, nyari sana nyari sini sambil merinding, nggak nemu apa pun yang pecah. Tiba-tiba, saya dan seorang pegawai dilempari sesuatu dari atas. Benar-benar dilempari dan kena tubuh. Beberapa lemparan mengenai perabotan dapur, tapi saat dicari apa yang dilempar itu, wujudnya nggak ketemu.

Tak tahan dengan peristiwa mistis terjadi terus menerus, maka didatangkanlah pengusir demit pada suatu malam. Bukan dukun tetapi ahli agama. Blio mendoakan beberapa daerah yang diduga sumber kedatangan demit, dan semenjak saat itu, malam-malam berikutnya aman-aman saja. Sayangnya, para demit masih saja bandel dan balik lagi. Sophie masih sering menemani jaga malam, terbukti dari aroma wangi tubuhnya. Konon kata si penjaga malam, Sophie naksir salah satu teman saya. Setelah teman saya resign, Sophie beralih ke teman saya yang satunya lagi, tapi nggak bertahan lama entah karena apa.

Terakhir kali, baru beberapa waktu lalu, kata si penjaga malam, Sophie ikut bonceng motor saya pas pulang subuh-subuh sehabis WiFi-an, dan sampai sekarang nggak tau di mana. Entah ketinggalan di jalan, nemplok di pohon, atau justru di kamar kos saya, dan ini lagi liatin proses saya nulis. Woooaaanjeeengg, ngeri betul.

BACA JUGA PA 212 dan KAMI Ikutan Menolak UU Ciptaker Bikin Suasana Menjadi Serba Salah dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version