Solo (Layak) Mulai Melesat, Jogja Perlahan (dan Pasti) Ditinggal Wisatawan

Solo di Mata Orang Jogja: Solo Dipandang Rendah, tapi Lebih Menjanjikan

Solo di Mata Orang Jogja: Solo Dipandang Rendah, tapi Lebih Menjanjikan (Shutterstock.com)

Solo, perlahan, mulai menggeser Jogja sebagai top of mind wisatawan, dan Kota Istimewa perlu waspada

Sebentar, jangan keburu marah saya bahas pariwisata Jogja dan menyebar akun saya ke buzzer atau apalah itu, saya ingin membicarakan hal yang urgent bagi Jogja, dan ini beneran demi kebaikan Jogja.

Jogja terancam ditinggal wisatawan yang selama ini jadi pengharapan utama mereka, jika segera tak berbenah juga melakukan inovasi. Jika terlena, bisa jadi Kota Istimewa ini dilibas oleh tetangga sejarak Prameks, Solo.

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono mengatakan, “Kalau kita terlena kita akan terlibas. Itu yang harus kita waspadai bersama”. Meski okupansi hotel begitu tinggi pada Sabtu 21 Januari yang mencapai 89,9 persen, tapi dua hari selanjutnya tingkat okupansinya tak mencapai angka yang sama.

Deddy juga mengatakan bahwa banyak wisatawan Jogja melanjutkan perjalanan mereka ke Solo. Bagi Deddy, hal ini jadi catatan penting untuk pegiat wisata di Jogja, jika mereka tak segera berbenah, kota tetangga akan melesat jauh, sesuatu yang mungkin tak akan kita sangka.

Menurut Deddy, Solo begitu gencar dalam melakukan promosi. Bahkan, mereka promosi juga di Jogja. Pemerintah daerah Solo perlu diberi kredit yang bagus untuk ini, sebab mereka memberi keringanan pembayaran pajak hotel jika mereka mau diskon tarif. Bagi Deddy, terobosan seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Solo harus diikuti oleh Jogja. Tak harus sama, tapi setidaknya ada cara baru agar Jogja tetap menarik untuk wisatawan.

Pun, mencari solusi dan terobosan baru ini harus dilakukan bersama-sama. “Jangan sampai ada kesan PHRI itu hanya menjadi sapi perahan. Supaya multiplayer efeknya luas kita harus saling membantu. Kalau PHRI jalan sendiri enggak bisa, pemerintah jalan sendiri enggak bisa, lainnya jalan sendiri enggak bisa juga.”

Saya, jujur saja, nggak bisa bayangkan kalau hal ini beneran kejadian. Saya nggak doain pariwisata Jogja ambruk lho ya. Itu hal tergila dan terjahat yang orang bisa pikirkan. Saya nggak gila, dan jelas tidak jahat. Hanya saja, ada hal yang harus disadari: ketika daerah lain berbenah, Jogja malah makin ora genah.

Baca halaman selanjutnya

Kota pariwisata yang nggak nyaman untuk wisatawan

Kritik terhadap pariwisata Jogja memang harusnya makin gencar. Tak bisa dimungkiri, derasnya arus wisatawan bikin Jogja terlihat semrawut. Jelas ini disebabkan oleh perencanaan yang tak matang. Saya tak perlu menyebutkan apa saja contohnya, wong kalian udah bisa mengaksesnya lewat banyak berita dan bisa menyaksikannya sendiri.

Kesemrawutan ini, pada akhirnya, akan berdampak pada wisatawan itu sendiri. Kalau sampe kapok ya susah juga kan.

Sayangnya, yang kita lihat ya, (so called) inovasi yang dilakukan Jogja ya itu-itu saja. Antara mempercantik Tugu, ya hal-hal lain yang sebenarnya nggak ngasih dampak yang signifikan. Padahal daerah lain mulai berbenah secara serius dan menyiapkan diri untuk melesat tinggi. Solo jelas bisa jadi contoh terbaik.

Benar, objek wisata di Solo jelas tak sebanyak Jogja. Pantai jelas nggak punya, dan pantai yang masuk daerah eks Keresidenan Surakarta adanya di Wonogiri, tepatnya di Paranggupito. Orang Wonogiri saja mau ke Paranggupito pikir-pikir, adoh tenan, Bos, ra ngapusi aku. Sebenarnya kalau ada yang bilang Solo nggak mungkin mengalahkan Jogja, saya nggak protes sih.

Tapi kalau pegiat wisata Jogja sendiri mulai khawatir dengan manuver Solo, berarti memang kota di mana Jokowi memulai karier politiknya ini jago dalam menarik wisatawan. Salah satu contoh paling mudah adalah bagaimana Solo kerap jadi tuan rumah konser band mancanegara. Untuk kota sekecil itu, jadi tuan rumah gelaran sebesar itu artinya mereka bisa menawarkan sesuatu yang bikin band-band yang kadang ribet itu tertarik untuk datang.

Tentu, Solo tak akan menyalip Jogja dalam waktu yang begitu cepat. Tapi, jika terlena, tentu saja semua bisa terjadi, dan pada akhirnya, harga mahal harus dibayar hanya karena tak mau berinovasi.

Solo mirip seperti Manchester City. Konsistensi mereka untuk berbenah sanggup mengobrak-abrik hegemoni Big 4 dan memanfaatkan dekadensi klub lain dengan begitu paripurna. Uang berlimpah, struktur organisasi yang bagus, serta kemauan untuk berinovasi bikin taring mereka tertancap begitu dalam dan tak lagi bisa dicabut dengan mudah.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Hanya Orang Gila yang Bilang Terlahir Miskin Adalah Sebuah Privilese

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version