Setelah membaca tulisan Mas Rizky Prasetya berjudul Semua (Memang) Salah Pemerintah, dan coba memahami lebih dalam lagi esensi kritik, saya mantap untuk bilang bahwa warga Kota Pekalongan sudah berkali-kali ditipu oleh Pemkotnya sendiri.
Ditipu bukan hanya saat Pilkada, tapi juga soal pengelolaan kota. Saya melihat Pemkot Pekalongan dalam mengatasi sebuah masalah, acap kali selalu melimpahkan solusinya ke warga. Tak terkecuali masalah sampah.
Padahal masalah itu juga sebetulnya sebagian ulah dari ketidakbecusan Pemkot Pekalongan itu sendiri. Mengajak, eh nggak ding, malah cenderung menyuruh warga untuk menyelesaikan masalah kota saja sudah keliru. Ini untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh Pemkot itu sendiri. Helowwww???
Masalah sampah Kota Pekalongan
Beberapa hari sebelum Idulfitri kemarin, Pemkot memberlakukan darurat sampah di Kota Pekalongan, menyusul TPA Degayu yang mendadak ditutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tentu kabar ini mengejutkan. Semua orang bereaksi. Media sosial ramai. Warga bingung, mau buang ke mana sampahnya kalau TPA ditutup?
Dari pelbagai respons, banyak pula yang memberi solusi. Setelah Pemkot memberlakukan darurat sampah, beberapa teman saya aktif mengunggah cara-cara mengelola sampah di media sosialnya. Kolom komentar juga penuh orang-orang Pekalongan yang membagikan pengalaman mereka mengelola sampah.
Ya, banyaknya respons tadi datang dari warga. Pemkot? Yah, Pemkot cuma bisa bilang Kota Pekalongan darurat sampah usai TPA Degayu ditutup oleh KLHK. Solusi dari Pemkot baru muncul setelah warga terus rewel di media sosial. Tapi saya tidak yakin itu adalah solusi.
Melalui semacam surat edaran, Wali Kota Pekalongan meminta, sekali lagi meminta, warga Pekalongan untuk mengelola sampah secara mandiri. Ha kalau cuma pernyataan normatif semacam itu, Anda jadi guru TK saja, Pak, jangan wali kota.
Pernyataan yang seperti titah kerajaan itu, malah seakan mengerdilkan warga yang sudah bisa mengelola sampahnya secara mandiri. Ha mbok kira warga Pekalongan itu nggak tahu bahwa sampah itu mestinya dikelola secara mandiri? Mikir!
Masalah yang dibuat Pemkot Pekalongan
Lucunya, dari persoalan sampah, kalau dicermati dan dibaca informasinya dengan cara saksama dan dalam tempo singkat, yang menjadi pemicu masalah itu ya, Pemkot Pekalongan itu sendiri.
Saya coba jelaskan. Masalah sampah membesar setelah KLHK menutup TPA Degayu. Salah satu penyebab TPA Degayu ditutup karena menerapkan sistem open dumping, yakni pembuangan sampah secara terbuka. Sistem ini melanggar regulasi KLHK, yakni UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Ini mungkin karena Pemkot Pekalongan tak pernah bertanya pada Google, apa kepanjangan dari TPA. Padahal kalau sekali saja pernah tanya ke Google, mereka akan mendapat jawaban bahwa TPA adalah Tempat Pemrosesan Akhir bukan Tempat Pembuangan Akhir.
Kalaupun ada yang menyebutkan yang kedua, Pemkot mestinya paham bahwa dalam pengelolaan sampah kota, fungsi TPA bukan pembuangan sampah akhir tapi pemrosesan sampah akhir.
Maka sistem yang mestinya dipakai adalah sanitary landfill, yakni pengelolaan sampah dengan cara membuang dan menumpuknya di lokasi cekung, lalu memadatkannya, kemudian ditimbun dengan tanah. Sehingga sampah bisa kembali ke lingkungan dengan aman.
Pemkot Pekalongan belakangan malah seakan baru sadar kalau selama ini sistem di TPA Degayu keliru. Belakangan, setelah TPA Degayu akan dicabut izin operasinya setelah sempat diberi kesempatan untuk tetap dibuka hingga 8 April, dari pihak DLH Kota Pekalongan baru akan mengubah sistem open dumping ke control landfill, sistem yang mirip dengan sanitary landfill.
Baca halaman selanjutnya
Ngapain pilih wali kota kalau begini?