Orang-orang selalu bilang bahwa hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah. Namun sadarkah kalian semua bahwa perkara dermawan, kita ini juga tumpul ke atas dan tajam ke bawah? Ah, sungguh sebuah fakta yang akan membuat kalian merasa tak terima, bukan?
Jadi begini. Seberapa sering sih, kita itu merasa kesal sama pengemis? Sama pengamen? Bahkan ada banyak orang yang mengkampanyekan “jangan beri uang ke pengemis”. Alasannya banyak. Yang paling sering diucapkan adalah yang satu ini: menciptakan mental pemalas.
Iya, kampanye tersebut tidak sepenuhnya salah, kok. Nyatanya memang banyak pengemis yang menipu. Menampakkan wajah atau penampilan yang penuh derita, tetapi sebenarnya itu adalah kedok mereka supaya mendapatkan belas kasihan dari kita, utamanya orang yang memang dermawan. Menyebalkan? Iya, jelas.
Namun, sadarkah kalian bahwa pengemis itu bukan cuma mereka? Begini, lho. Tentu kalian ingat bukan, dengan permintaan-permintaan para calon legislatif dan calon pemimpin setiap berapa tahun sekali itu? Ingat tidak, bagaimana mereka berakting? Ingat juga tidak, cara mereka mengemis?
Yang pertama, mari bahas dulu soal cara berakting untuk menyentuh hati para dermawan yang dilakukan oleh orang-orang atas ini. Bandingkan sama pengemis di jalan. Banyak, kan, pengemis di jalan yang pura-pura lumpuh atau kena penyakit?
Rerus, coba tanyakan pada diri kalian sendiri. Berapa banyak, calon legislatif atau pemimpin yang pura-pura sederhana, pura-pura alim, pura-pura kayak rakyat kecil? Hmm, ya memang sih kepura-puraan mereka lebih profesional. Kalau mau dibandingkan, sama kayak ayam Kentaki Fried Chicken di gerobak (iya, Kentaki), dengan Kentucky Fried Chicken alias KFC yang asli. Beda bahan pembuat, lemak jenuhnya sama.
Terus, bahas lagi yuk soal cara mereka mengemis. Bagaimana mereka memohon-mohon pada kalian untuk menyisihkan waktu buat memilih mereka. Nggak bisa memilih karena masalah administrasi? Ayo diurus, please, kalian warga negara yang baik, kan?
Kemudian, banyak orang yang merasa bersalah kalau tidak menuruti permintaan mereka. Merasa kalau mereka tidak sempurna dalam memberikan yang terbaik. Sementara calon-calon ini? Ya sedang menggodok cara mengemis yang baru.
Jadi, buat apa kita masih berkampanye untuk tidak memberi uang pada pengemis, kalau kita saja masih mati-matian membela para figur politik yang juga berperilaku sama? Mengapa kita tidak bisa adil sejak awal? Ataukah, kita tidak sadar bahwa kita tengah dibohongi?
Ah ya, kita mungkin tidak sadar bahwa kita dibohongi, atau bahkan, kita merasa bahwa kebohongan para petinggi adalah hal yang wajar. “Mereka politikus, dan cara ini merupakan cara politis. Jangan naif, deh, wajar kok!”. Lha, kenapa kalian tak bisa menerapkan hal yang sama saat sedang memberi kepada pengemis?
Mengapa kita tak bisa ikhlas saat memberi pada mereka, layaknya keikhlasan yang kita miliki saat berada di dalam bilik suara? Mengapa kita harus merasa tahu akan dikemanakan uang itu, dibuat ngelem atau untuk sekolah betulan? Memangnya, suara yang kita beri itu benar-benar dipakai sebaik mungkin?
Nyatanya, banyak figur politik yang bohong setelah mendapatkan banyak suara. Ya tidur saat rapat. Ya nilep anggaran. Ya bohong soal janji. Yang ketiga ini paling menyebalkan. Ini tarafnya sudah melebihi para pengemis yang pura-pura buntung di kaki. Cuma, karena figur-figur ini klimis, pintar bicara, dan punya relasi kuasa, kita tidak sadar saja sih, kalau kita diporotin.
Padahal sih, menurut saya, masih lebih baik orang yang pura-pura untuk bertahan hidup, daripada pura-pura untuk mempertahankan kekuasaan di suatu negeri. Yang kedua ini jelas menyebalkan, rakus, kemaruk, kurang ajar, drakula…apa lagi ya? Saya tidak tahu harus berkata apa lagi, ya karena sudah habis suara saya dipakai di bilik suara.
Akhir kata, saya tidak mau bilang bahwa kita sebaiknya golput, skeptis, sampai tidak mau memberikan suara di pemilu-pemilu mendatang atau mendukung pemerintah, tidak. Saya hanya berpikir, bukankah sejatinya kita bisa adil kepada semua orang saat menjadi dermawan? Misalnya, dengan tidak ngefans berlebihan terhadap figur politik tertentu, dan tidak mudah marah saat sedang makan dan diganggu pengamen.
Sungguh, orasi politik di televisi itu sama mengganggunya kok, sama pengamen yang menyanyikan lagu Armada dengan nada fals, lirik tidak utuh, dan ngawur pula penempatannya.