Saya nyobain Smart Gate Universitas Negeri Malang (UM) tapi jadi bingung sendiri. Gimana sih ini?
Sekitar seminggu lalu, mungkin sekitar jam 7-an, saya kembali menyambangi kampus tercinta, Universitas Negeri Malang (UM), setelah sekian lama terpisah oleh masa libur semester. Sebetulnya, saya tidak punya urusan yang gimana-gimana, saya hanya kepikiran untuk menilik keadaan terbaru dari UM. Siapa tahu sudah ada yang berbeda.
Benar saja. Begitu saya masuk dari gerbang Jalan Veteran, saya langsung mendapati satu perubahan yang lumayan signifikan. Kebijakan Smart Gate yang dimaksudkan untuk meningkatkan keamanan area kampus, sudah mulai diberlakukan. Sialnya, sistem itu sampai saat saya berkunjung kemarin, masih saja membingungkan. Berikut akan saya ceritakan lebih panjang.
Tiba-tiba banget ditanya soal karcis
Amat mengejutkan, ketika saya baru tiba di sana, langsung disambut oleh portal yang tertutup beserta satu orang satpam di sampingnya. Dengan nada lembut beliau bertanya, “Udah punya karcis parkirnya, Mas?”
Lho, jelas saya kaget. Setahu saya, kalau merujuk dari IG resmi UM, harusnya yang saya lakukan adalah langsung masuk saja. Toh nomor polisi motor saya sudah terdaftar sebagai warga UM, sehingga seharusnya portal Smart Gate UM akan otomatis terbuka. Jadi tidak perlu lah ambil-ambil karcis begitu.
Akan tetapi, sebab masih pagi, plus enggan berhadapan dengan urusan yang makin panjang, saya langsung memencet tombol untuk mendapat karcis saja. Mungkin saja dalam situasi tersebut saya yang salah. Sebab, segala macam perubahan kebijakan di UM ini memang relatif cepat dan sat-set. Atau bahasa lainnya tuh, mendadak. Hehehe.
Portal Smart Gate UM full terbuka dari gerbang Surabaya
Sesudah mengantongi karcis parkir dari gerbang Veteran, saya pun mengitari area kampus sembari menikmati hawa segar di jalanan antara masjid dan Fakultas Teknik. Kemudian, setelah saya merasa puas dan kepingin nyari sarapan, saya lalu mencoba keluar dari kampus via gerbang di selatan. Atau, Jalan Surabaya.
Anehnya, di sana, saya tidak lagi ditanyai soal karcis atau berapa lama telah mengelilingi kawasan UM. Sebab, lagi-lagi merujuk pada IG resmi UM, seharusnya, bagi pengunjung selain sivitas akademika UM, apabila telah berdiam diri di area kampus selama lebih dari sepuluh menit, maka wajib membayar tarif parkir dengan besaran tertentu. Kalau motor, flat di angka Rp3.000.
Nah, uniknya, satpam di sana tak menghentikan laju motor saya atau melayangkan satu-dua pertanyaan. Mereka lebih banyak membiarkan setiap kendaraan yang melintas dan tiba-tiba saja portal terbuka secara sempurna.
Mungkin memang semua kendaraan di situ milik mahasiswa atau dosen yang sudah mendaftarkan pelat nomornya. Namun, tetap saja, perlakuan yang berbeda dari satpam ini agak terkesan membingungkan.
Masuk lagi via gerbang Surabaya, aman-aman saja
Di sepanjang jalan menuju kedai bubur ayam di Jalan Sigura-gura, saya terus kepikiran, perihal keadaan kampus saya yang kian memusingkan. Kok bisa, pemberlakuan Smart Gate kampus UM di dua gerbang saja, di hari yang sama, berselang hitungan menit saja, sudah berbeda jauh? Kalau kayak begini, apa gak tambah ruwet nanti kalau udah masuk masa perkuliahan, ya? Aduh.
Jelas ini sangat meresahkan batin saya. Tak butuh waktu lama untuk saya membulatkan tekat dan lekas kembali ke kampus, demi memuaskan hasrat kebingungan dan penasaran saya. Tentu setelah saya membungkus satu porsi bubur.
Singkat cerita, saya tiba di gerbang Surabaya lagi. Kala itu tidak ada satpam yang berjaga, layaknya saat saya masuk lewat gerbang Veteran tadi. Alhasil, saya tak sedikit pun terpikir untuk menekan tombol yang ada dan mengambil karcis parkir. Soalnya begitu saya tiba di sana portal Smart Gate UM sudah otomatis terbuka.
Di sini, saya kira nopol saya sudah benar terdaftar di dalam sistem. Jadinya ya aman-aman saja. Tidak perlu karcis-karcisan.
Keluar lewat Smart Gate UM gerbang Surabaya, langsung heran
Siapa sangka, usai menyantap sebungkus bubur ayam di gazebo belakang FK dan bergegas kembali ke rumah, saya dikejutkan dengan antrean 4 motor di depan saya. Lagi-lagi di gerbang Surabaya. Di sana, saya melihat beberapa orang yang sudah mengantongi karcis, tampak memindai sendiri karcis yang mereka bawa, hingga portal dapat terbuka.
Lah. Posisinya, saya nggak punya karcis. Tiket yang tadi dari gerbang Veteran, sudah tidak saya kantongi semenjak portal terbuka otomatis di pintu masuk gerbang Surabaya. Soalnya saya kira sudah tidak diperlukan. Saya heran betul. Mengapa portal masuk gerbang Surabaya bisa diakses bebas dan otomatis terbuka, sementara untuk portal keluarnya, mesti scan karcis dulu?
Di sini saya terus menguatkan prasangka, kalau orang-orang itu memang pengunjung non-warga UM yang datang tak lebih dari sepuluh menit. Jadi, mereka memang langsung memindai karcis tanpa wajib membayar uang parkir.
Akan tetapi begitu melihat pengendara motor di depan saya, mata saya terbelalak. Mas-mas yang kelihatan bingung karena tidak punya karcis dan portal masih tertutup itu memencet satu tombol hijau di sana. Otomatis portal Smart Gate UM terbuka.
Itu adalah pemandangan yang keterlaluan nggak jelasnya. Saya hanya bisa bilang, “HAH?”
Sebab jika akses keluar kampus dapat semudah satu tekan tombol saja, tanpa perlu scan karcis atau pemindaian nopol yang sudah terdaftar, ya buat apa Smart Gate UM ini ada?!
Saya pun mencoba membuktikan. Benar saja, portal tidak langsung terbuka saat motor saya berdiam di depan kamera pengawas yang mengarah agak ke bawah. Saya kemudian mencontoh yang dilakukan pengendara sebelumnya. Saya memencet tombol hijau dan voila, portal terbuka.
Sumpah ya… saya speechless
Saya sudah kehabisan kata. Pengalaman minggu lalu adalah pengalaman yang sangat mengecewakan. Padahal masa uji coba Smart Gate kampus UM ini sudah berlangsung berbulan-bulan lalu. Gelombang penolakannya yang digaungkan mahasiswa di media sosial pun sudah berjalan sedari lama.
Tapi kok bisa sih begitu diberlakukan Smart Gate ini masih nggak kelihatan tanda-tanda “smart”-nya? Masa kekhawatiran kami sebagai mahasiswa justru terwujud lebih dulu daripada harapan baik bapak-ibu yang ngide demi “keamanan” kampus, sih?
Okelah kalau memang Smart Gate UM ini ditujukan demi alasan keamanan. Namun, kalau realisasinya seperti yang saya alami, jelas bakal makin tidak aman. Nopol motor saya yang terdaftar saja masih menemui portal yang tidak terbuka otomatis. Seperti yang terjadi di gerbang Veteran. Orang-orang yang tak punya karcis untuk dipindai di gerbang Surabaya pun seperti yang saya jumpai tetap bisa keluar dengan mudah. Cuma perlu satu kali pencet tombol.
Smart Gate tuh akal-akalan siapa sih sebenernya? Kenapa begitu tidak jelas dan tidak konsisten? Kenapa arahan dan tata cara yang tersedia di IG UM, tidak tersaji pada plang-plang dekat gerbang dan bahkan tidak menggambarkan realitas yang ada?
Saya yakin, jika masih membingungkan seperti ini, “keamanan” yang dari awal didambakan tidak akan kesampaian. Toh, dalam karcis yang saya terima dari gerbang Veteran, termaktub kalimat, “Kerusakan/kehilangan bukan tanggung jawab pengelola”.
Lha terus, Smart Gate UM ini sebetulnya buat apa? Masa, “keamanan” itu cuma jadi kedok? Apakah benar dugaan teman-teman saya kalau ternyata uang UKT kami selama ini masih kurang, Pak/Bu?
Penulis: Ahmad Fahrizal Ilham
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
