Slow Bar Coffee Cenderung Tidak Menguntungkan, Kenapa Banyak yang Tertarik?

Slow Bar Coffee Konsep Kedai Kopi yang Cenderung Tidak Menguntungkan, Kenapa Banyak yang Tertarik?

Slow Bar Coffee Cenderung Tidak Menguntungkan, Kenapa Banyak yang Tertarik? (Pixabay.com)

Sejak kedai kopi Slow Bar mulai bermunculan, saya selalu bertanya-tanya kenapa ada yang mau menggeluti bidang itu? Daya tampung pelanggan susah dimaksimalkan, proses pembuatan kopi jauh lebih lama, dan juga sang pemilik kedai tidak bisa menyerahkan pekerjaan ke orang lain. Bukankah secara bisnis, konsep slow bar cenderung tidak menguntungkan? Lantas kenapa diminati?

Konsep Slow Bar sangat bergantung pada penokohan barista

Saat coffee shop biasanya ingin menampung pelanggan sebanyak mungkin, menyediakan wifi super kencang agar pelanggan betah, serta mempercepat proses pembuatan minuman agar pelanggan tidak menunggu terlalu lama, maka konsep slow bar coffee merupakan anomali dari semua itu.

Pelanggan harus sabar mengantri untuk bisa datang ke depan bar, memilih menu, dan diseduhkan kopi sambil diajak berbincang oleh sang barista. Wifi jarang ditemukan di konsep slow bar. Jam buka juga biasanya relatif lebih pendek dibanding coffee shop pada umumnya. Pada konsep ini, pelanggan akan diajak membahas mengenai apa saja oleh sang tukang seduh. Bisa membahas tentang kopi. Bisa membahas mengenai cuaca. Atau bisa membahas mengenai kenapa Gibran yang jadi cawapres Prabowo.

Kecakapan sang barista, yang dalam konsep slow bar biasanya juga adalah sang pemilik kedai, dalam melayani pelanggan dengan ramah adalah daya tarik tersendiri. Kopi yang disajikan juga diolah dengan sebaik mungkin dan langsung disajikan di hadapan pelanggan. Barista arogan mana bisa bekerja di konsep seperti ini?

Pada akhirnya disengaja atau tidak, konsep kedai kopi slow bar sangat bergantung dengan penokohan sang barista. Pelanggan bisa saja kecewa saat datang ke kedai dan yang menjamu bukanlah barista yang biasanya. Hal itu berarti, apabila sang barista adalah pemilik kedai, maka dia harus terus mengurus kedai itu, tanpa bisa mengalihkan pekerjaannya ke orang lain. 

Di saat pebisnis lain, entah bisnis coffee shop atau bukan, ingin agar bisnisnya bisa autopilot, sehingga bisa melakukan lebih banyak kegiatan lainnya, rasanya pebisnis kedai slow bar harus membuang jauh angan-angan tersebut. Lantas, bukankah jika pekerjaan tidak bisa dipindahkan ke orang lain, serta kapasitas pelanggan juga terbatas, dan proses pembuatan minuman tidak bisa dipercepat karena harus melayani dengan ramah setiap pelanggan yang datang, bukankah artinya ruang untuk ekspansi secara masif tidak lagi ada? Bukankah konsep ini menjadi terlalu bergantung terhadap penokohan sang barista?

Klinik Kopi, Mas Pepeng, dan Nirvana yang tak lagi eksis

Beberapa waktu lalu saya menjadi moderator talkshow di acara Malioboro Coffee Night yang diselenggarakan oleh Komunitas Kopi Nusantara. Tema yang saya bawakan kala itu adalah mengenai slow bar, dan ada beberapa narasumber pebisnis slow bar yang dihadirkan. Sebelum acara itu digelar, saya beberapa kali mendatangi Klinik Kopi dan ngobrol dengan Mas Pepeng terkait konsep slow bar. Sambil sesekali menawari beliau untuk datang ke acara talkshow, namun ternyata memang beliau tak bisa hadir.

Akhirnya saya tanyakan pertanyaan yang juga akan saya bahas di event talkshow. Bagaimana menyikapi bisnis slow bar yang sangat bergantung dengan penokohan sang tukang seduh. Akhirnya diskusi pun terjadi di antara kami. Kesimpulannya adalah, saat sudah memutuskan untuk menggeluti bisnis dengan konsep slow bar, maka itulah pekerjaan utamamu. Tak bisa digantikan oleh siapa pun. Itulah kenapa seminggu sekali atau seminggu dua kali, biasanya kedai slow bar akan tutup, sehingga sang pemilik bisa beristirahat atau bahkan liburan. Terkait permasalahan peran sang pemilik yang tak bisa digantikan oleh orang lain, Mas Pepeng memberi analogi yang sangat menarik: kalau Kurt Cobain bisa digantikan, maka Nirvana pasti masih eksis sampai saat ini.

Baca halaman selanjutnya: Flashback saat membuat liputan untuk Mojok…

Flashback sejenak

Flashback ke dua atau tiga tahun lalu, saya sempat membuat liputan untuk Mojok mengenai sebuah kedai kopi sederhana dengan seorang Pak De yang siap mendengar ceritamu. Saya berbincang dengan Pak Sasongko, pemilik sekaligus pengelola kedai sederhana Omah Kopi Omah Sedulur. Di kedai itu, Pak Sasongko akan menjadi teman bicara bagi siapa pun yang membutuhkannya. Datanglah ke sana, dan apa pun masalahmu, akan didengar dengan baik oleh Pak Sasongko.

Sama seperti konsep slow bar yang saat ini marak, penokohan Pak Sasongko sangat kuat sehingga pelanggan selalu ingin berbincang dengan beliau. Kadang para pelanggan tak butuh nasihat ataupun timbal balik intens dari Pak Sasongko. Mereka hanya ingin didengarkan. Saya bertanya mengenai kenapa beliau harus repot-repot menjadi teman diskusi yang baik bagi setiap pelanggan. Pak Sasongko pun menjawab bahwa beliau memang menyukai diskusi. Di usianya yang tak lagi muda, memiliki teman diskusi adalah hal yang sangat menyenangkan.

Pak Sasongko juga menjelaskan bahwa apabila beliau merasa sedang tidak bisa menjadi teman diskusi yang baik, entah karena masalah pribadi atau apa, beliau memutuskan untuk tidak buka kedai pada hari itu.

Slow Bar dan para pedagang kaki lima

Melompat jauh ke talkshow di Malioboro Coffee Night, di hadapan para penggiat kopi mulai dari petani sampai ke para barista, saya bertemu dengan para narasumber yakni Mas Ferza dari Tadasih, Mas Ponco dari Pitutur, dan Mas Avis dari Darat Coffee Lab. Situasi malam itu sedikit tegang karena kebetulan salah satu konten reels yang saya buat beberapa hari sebelumnya cukup menggegerkan penggiat kopi di Indonesia dan membuat banyak pihak tersinggung.

Saya pun membahas mengenai kenapa masing-masing dari mereka memilih konsep slow bar, padahal jelas-jelas bisnis seperti itu memiliki banyak keterbatasan. Setelah berbagai jawaban diplomatis, dan seiring talkshow berjalan, ada satu narasi yang sangat menarik dari salah satu narasumber. Slow Bar bukanlah sesuatu yang luar biasa, terlebih karena di bidang lain, apa yang dilakukan pebisnis slow bar sudah umum dilakukan. Tidaklah aneh melihat sang pemilik kedai yang melayani pelanggannya seorang diri tanpa bantuan karyawan. Toh penjual bakso, penjual cilok, atau pedagang kaki lima pada umumnya juga melakukan hal yang sama. Terlebih para pedagang itu sudah melakukannya selama puluhan tahun dan akan terus melakukannya. Konsep slow bar sangatlah sesederhana itu, hanya saja di bidang kopi.

Tak terlalu banyak pro kontra pada diskusi malam itu. Hal menarik justru terjadi beberapa hari setelah acara. Saat saya bertemu dengan beberapa orang yang terlibat dalam event itu, entah itu panitia atau penonton, kami membahas mengenai diskusi saat event berlangsung. Satu hal yang disorot ya terkait analogi tukang bakso. Beberapa setuju. Beberapa yang lain merasa bahwa tidak semua tukang bakso ingin selamanya melayani pembeli seorang diri. Ada yang kalo rame ingin menambah karyawan. Ada yang kalau makin rame ingin buka cabang banyak. Bahkan ada yang ingin buka franchise.

Antara berdagang atau berbisnis

Dari diskusi-diskusi setelah event itu justru membuat saya berpikir hal lain. Lebih tepatnya adalah analogi lain terkait slow bar dan non slow bar. Mungkin benar, atau mungkin juga salah, saya merasa jika konsep slow bar itu bukanlah berbisnis, melainkan berdagang.

Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Banyak pedagang yang untung lebih banyak daripada pebisnis, dan ada pula sebaliknya. Terlepas dari semua itu, kehadiran slow bar bagi saya sendiri adalah penyegaran bagi industri coffee shop yang mulai gitu-gitu aja. Menariknya lagi, entah industri kopi—terutama di Jogja—yang mulai jenuh dengan konsep yang monoton, selain makin banyaknya slow bar yang bermunculan, ada bidang lain yang mulai bangkit, dan tidak kalah menarik untuk dibahas, yakni street bar coffee. Kita bahas lain waktu.

Penulis: Riyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mengenal Musimin, Petani Lereng Merapi yang Menolak Pesanan Kopi dari Jepang 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version