Sleeper bus yang katanya nyaman itu punya sisi lain yang nggak disadari banyak orang.
Saya lebih senang menggunakan bus ketika bepergian. Bus punya daya tarik sendiri ketimbang kereta api dan pesawat. Duduk di dalam bus sambil melihat lalu-lalang manusia di jalan melalui jendela bus rasanya membuat tenang. Bagi saya, itu jadi momentum untuk refleksi diri.
Memang, bepergian menggunakan bus punya lebih banyak risiko seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Namun, bagi saya, bus tetap lebih menarik daripada pilihan moda transportasi lain. Namanya cinta dan suka, acap kali nggak bisa didefinisikan, bukan?
Sebagai pengguna bus, tentu saya sudah merasakan semua jenis kelas yang ditawarkan oleh tiap PO, mulai dari kelas ekonomi, eksekutif, super eksekutif (di beberapa PO tertentu biasanya disediakan dengan model satu kursi), hingga sleeper. Di antara kelas-kelas itu jelas sleeper bus adalah yang paling “sultan”. Fasilitasnya lengkap dan pelayanannya prima.
Akan tetapi, ingat, tidak ada yang sempurna di dunia. Sleeper bus yang digadang-gadang paling nyaman tetap punya sisi lain yang kurang sreg di hati. Itu mengapa, sleeper bus nggak selalu jadi pilihan saya ketika bepergian.
Daftar Isi
#1 Harga tiket sleeper bus terlalu mahal
Kita bisa berdebat soal definisi mahal itu seperti apa. Namun, bagi saya, selisih harga hingga Rp100.000-an untuk fasilitas yang sebenarnya mirip-mirip eksekutif, membuat sleeper bus terasa overpriced. Fasilitasnya benar-benar nggak beda jauh, makanan yang disediakan oleh PO pun mirip, sama-sama prasmanan dan enak.
Kalau di sleeper bus menjual value soal penumpang yang bisa tidur, memangnya di eksekutif tidak bisa? Kursi bus eksekutif itu jaraknya longgar antar kursi di depan dan belakangnya. Kursinya juga bisa disetel ke belakang agar posisi penumpang bisa tidur. Ada bantal dan selimut juga kok.
Kalau dibilang menjual privasi, halah, privasi macam apa sih yang dibutuhkan orang di dalam bus? Lagi pula, ketika mau ngopi, merokok, dan buang air besar/air kecil pun penumpang tetap harus ke belakang.
#2 Sleeper bus nggak cocok untuk jarak dekat
Saya rasa kok muspro sekali menggunakan sleeper bus untuk sebuah perjalanan yang memakan waktu hanya 4-6 jam saja. Durasi waktu tersebut ibarat penumpang baru duduk, tiba-tiba sudah berhenti di rest area untuk makan, setelah itu jalan dan tiba-tiba sudah sampai di lokasi tujuan. Selain itu, bahaya sekali kalau menggunakan sleeper bus karena kalau dipaksa tidur, bisa-bisa kebablasan. Sebaliknya, lebih parah lagi kalau sleeper bus yang dinaiki jadwal keberangkatannya pagi hari. Ngapain tidur coba? Aduh jadinya sangat mubazir menggunakan sleeper bus.
Bagi tipe orang seperti saya yang morning person, paling cuma bisa melamun lihatin jalan di pagi hari. Badan dan pikiran nggak bisa dipaksa buat tidur jam segitu.
Baca halaman selanjutnya: #3 Nggak punya …
#3 Nggak punya teman ngobrol
Mungkin bagi orang introvert seperti saya, punya rekan ngobrol selama perjalanan itu opsional. Namun, bagi penumpang yang ekstrovert banget, tema ngobrol sepanjang jalan itu keharusan. Nah, kalau kalian tipe orang seperti itu, memilih bus ini sebuah kesalahan. Susunan tempat duduk sleeper bus dibuat sekat-sekat. Penumpang satu dengan yang lain akan kesulitan untuk ngobrol.
Teman saya bercerita bahwa ketika menggunakan sleeper bus, dia tidak punya teman ngobrol untuk membunuh kebosanan. Akibatnya, dia benar-benar merasa hampa ketika selama perjalanan. Jadinya malah overthinking. Mau nonton film, aah paling bertahan berapa jam sih? Ujung-ujungnya dia malah menelpon saya untuk jadi teman ngobrol.
#4 Berbahaya bagi penumpang dengan penyakit bawaan
Karena setting tempatnya yang diatur seprivate mungkin, sleeper bus ini kurang disarankan bagi penumpang yang punya penyakit bawaan, misalnya asma, sakit jantung, atau epilepsi. Apalagi bagi yang bepergian sendirian. Apabila terjadi sesuatu, penumpang lain yang di sekitarnya tidak bisa langsung menyadarinya.
Namanya penyakit kan kita juga tidak tahu kapan kambuhnya. Sebagai langkah preventif, sebaiknya nggak menggunakan sleeper bus ketika bepergian. Lha ketika sedang kambuh, kita hanya bisa guling-guling di tempat tidur sendiri biar orang sadar. Itu juga kalau masih sempet guling-guling, kalau sudah kadung pingsan duluan?
#5 Lebih rawan ketika terjadi force majeure
Kekurangan terakhir menurut saya dari bus ini adalah evakuasi diri yang lebih ribet daripada bus kelas lain. Ketika terjadi sesuatu, misalnya bus mengalami kebakaran, penumpang harus buka pintunya dulu (sleeper bus yang menggunakan pintu per penumpang), melonggo dulu, atau harus melompat dulu bagi penumpang yang berada di bagian atas. Kalau situasinya kebakaran, yah keburu tidak selamat penumpangnya.
Selain itu, salah satu yang menjadi sorotan saya adalah, banyak sleeper bus belum melengkapi armadanya dengan sabuk pengaman. Sebenarnya aneh juga sih, kursi-kursi yang diperuntukan untuk penumpang bisa tiduran itu diberi sabuk pengaman. Namun, saya rasa itu tetap perlu demi keselamatan penumpang.
Itulah beberapa kekurangan yang bakal dihadapi penumpang ketika memilih menggunakan sleeper bus. Tapi balik lagi, semua soal preferensi, kenyamaan, dan kemampuan seseorang untuk mentoleransi kekurangan-kekurangan tersebut. Kalau kalian nggak masalah dengan kekurangan itu, ya monggo.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Alasan Saya Kecewa Naik Kereta Panoramic yang Terkenal Cantik dan Unik
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.