Saya pernah mengira bahwa skripsi adalah rintangan paling sulit bagi mahasiswa akhir. Praktis, saya beranggapan kalau skripsi saya selesai, maka hidup akan jadi lebih ringan. Tapi, saya salah. Ternyata mengerjakan skripsi masih jauh lebih mudah daripada proses setelahnya, yakni mengurus berkas kelulusan.
Saking rumitnya, saya sampai perlu setiap hari ke kampus selama hampir 3 minggu. Dan, sialnya, pemberkasan saya belum juga selesai. Sudah tak terhitung berapa kali saya memaki (dalam hati) birokrasi kampus yang naudzubillah ribet. Sumpah, saya nggak menyangka kalau pemberkasan kelulusan akan menguras waktu dan tenaga sebesar ini.
Daftar Isi
Saya nggak ngerti ini terjadi hanya di kampus saya atau juga terjadi di kampus lain, tapi satu masalah utama dari mengurus pemberkasan adalah kebanyakan menunggu. Masalah yang kelewat sederhana, tapi bikin saya marah. Bayangkan, saya pasti harus menunggu, minimal beberapa jam dan maksimal berhari-hari, untuk setiap proses pemberkasan.
Padahal, urusan pemberkasan di kampus saya seharusnya sudah berbasis web, tapi tetap saja mahasiswa harus bertemu dosen untuk keperluan validasi. Hal ini bikin saya heran, ngapain ngurus berkas kelulusan lewat web kalau ujungnya tetap harus diurus manual? Kan sama aja bohong.
Belum lagi masalah lain macam sulitnya menyesuaikan jadwal dosen yang kelewat sibuk sehingga susah untuk membuat janji temu. Sementara itu, mahasiswa perlu tanda tangan basah untuk syarat pemberkasan. Alhasil, nggak ada cara lain selain menunggu jadwal dosen tersebut kosong.
Lebih menyebalkannya lagi, masalah yang sama ternyata juga terjadi di tingkat fakultas. Bayangkan, hanya untuk minta tanda tangan basah dari dekan, saya harus menunggu minimal 1 hari kerja. Dengan catatan, hari kerja TU fakultas saya hanya Senin sampai Kamis. Itulah sebabnya pemberkasan saya belum selesai, ya, karena waktu saya terbuang untuk menunggu
Mahasiswa adalah pihak yang paling dirugikan
Jujur saja, makin hari saya semakin muak untuk melanjutkan proses berkas kelulusan. Sebab, nggak cuma waktu yang terbuang sia-sia, tapi juga bensin dan tenaga. Bayangkan, saya pernah dua hari ke kampus dari pagi sampai sore tanpa hasil karena dosen yang mau saya temui lagi sibuk dan susah dihubungi.
Di waktu yang sama, saya juga dikejar waktu karena ada kemungkinan saya tetap harus bayar UKT kalau pemberkasan saya belum selesai sampai akhir bulan Juli. Walaupun hanya 50%, saya tetap nggak rela bayar UKT lagi hanya perkara ngurus berkas kelulusan.
Makanya saya merasa kalau mahasiswa akan jadi pihak yang paling dirugikan dari rumitnya urusan administrasi macam ini. Lha, gimana, sudahlah ngurusnya buang-buang waktu, kalau telat mahasiswa juga yang harus nanggung risikonya. Padahal, saya kan udah usaha gimana caranya biar urusan ini bisa cepet kelar.
Digitalisasi adalah kunci
Menurut saya, waktu ideal untuk mengurus pemberkasan kelulusan seharusnya tidak lebih dari 5 hari kerja. Namun, hal ini baru bisa tercapai kalau sistem birokrasi kampus berjalan efektif dan efisien. Salah satu cara untuk mencapai efektivitas tersebut adalah kampus harus menerapkan digitalisasi sepenuhnya.
Saya yakin nggak akan ada lagi waktu yang terbuang sia-sia, sebab semua urusan bisa diselesaikan lebih cepat dan sistematis. Mulai dari upload berkas, proses validasi tanpa menunggu permintaan dari mahasiswa, penggunaan tanda tangan digital, dan lain-lain. Sumpah, ya, kenapa kampus seneng banget bikin hal sederhana kayak gini jadi rumit, sih?
Padahal, kalau sistem kayak gini beneran diterapkan, mahasiswa jadi nggak perlu ribut ke sana kemari hanya untuk mengurus pemberkasan. Di lain sisi, dosen dan staff TU pun nggak perlu lagi diteror mahasiswa. Win-win solution, lho, ini. Tapi, yaudahlah, kayaknya kampus saya emang lebih suka menggunakan sistem zaman batu.
BTW, kalau kalian ada info jasa joki pemberkasan area Surabaya, tolong kabari saya, ya, Lur. Saya sudah muak dengan ini semua!
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Rizky Prasetya