Skripsi Bukan Dijual, Bisa Jadi Masuk Jadwal Retensi Arsip (JRA)

skripsi ratusan halaman data skripsi kutipan dalam karya tulis skripsi dibuang mojok

skripsi dibuang mojok

Arsip atau dokumen memang sangat penting, sebab di dalamnya mengandung nilai informasi yang penting. Apalagi perihal skripsi, selain berisi riset dan informasi yang penting, terkandung nilai-nilai keuletan, ketangguhan diri dan perjuangan hidup dan mati seseorang. Memang, tidak ada yang bisa menyamai keagungan skripsi. Saking suci dan agungnya, perihal Unilak yang membuang eh melempar-lempar skripsi lewat jendela pun menuai banyak kecaman dan berujung “oknum” perpustakaan langsung dipecat. Ngweri, nda!

Oke, selaku alumni Ilmu Perpustakaan yang IPK-nya nggak tinggi amat, saya mau memberikan sedikit penjelasan sederhana. Sekalian menanggapi tulisan “Skripsi Sebaiknya Dijual ketimbang Disimpan, Bukankah Begitu, Unilak?”. Saya turut menyayangkan perbuatan itu, perbuatan di mana “oknum” perpustakaan “membuang” skripsi lewat jendela, lantas di bawahnya ada tukang loak yang siap masukin skripsi ke karung untuk dijual. Eh, itu tukang loak beneran? Atau anggota “oknum” perpustakaan juga? Sudah wawancara atau baru masih tahap hipotesis?

Selain “oknum” perpustakaan, saya juga menyayangkan tindakan mahasiswa juga pak Rektor. Sebab ya, eman-eman aja gitu rasanya. Manusia kan banyak luputnya, apalagi di tempat kerja. Kenapa nggak di-SP dulu? Barangkali bisa berbenah dulu biar nggak kena resuffle eh maksudnya kena pecat. Mak njegagik dipecat, apalagi kondisinya musim pandemi begiini, nggak enak banget pasti (Txt dari aku yang juga kena dampak pandemi).

Sebenarnya saya masih bimbang dengan konteks mahasiswa yang marah karena kasus di Unilak, mereka marah karena cara “oknum” perpustakaan yang harusnya menurunkan skripsi lewat jalan yang semestinya (tidak lewat jendela dan tidak dilempar-lempar) atau marah karena merasa skripsi tersebut tidak bernilai karena dibuang dan diloakkan? Hmm, kalau saya nebaknya sih marah karena opsi kedua, karena merasa tidak dihargai jerih payahnya. Ini penilaian pribadi berdasarkan komentar di media sosial, lho ya.

Jadi begini, gaes. Di dunia perpustakaan terutama ranah pengarsipan, ada yang namanya retensi dan penyusutan arsip demi efektivitas dan efisiensi manajemen pengarsipan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah atau kuota arsip, mana yang pantas tetap disimpan dan mana yang masuk waktu dimusnahkan. Ingat, tujuan arsip disimpan adalah agar informasinya mudah ditemukan kembali. Nah, kalau kuota arsip ini tidak diperhitungkan retensi dan penyusutan maka yang terjadi adalah overload arsip. Dampaknya? Ya tentu pas mau nyari informasi susah dan memakan waktu lama.

Cara yang dilakukan untuk menyusutkan arsip ini juga beragam. Ada yang dipindahkan, diserahkan (ke pusat) dan dimusnahkan. Nggak tahu kalau diloakkan itu masuk kategori mana. Sedangkan untuk Jadwal Retensi Arsip (JRA) sudah diatur lewat Undang-Undang Pasal 47 No. 43 Tahun 2009.

Nggak cuma perguruan tinggi. Lembaga lain seperti BUMN, BUMD, partai politik, perusahaan swasta, organisasi massa dan lainnya juga wajib memiliki JRA yang ditetapkan oleh pimpinan lembaga setelah mendapat persetujuan kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia).

Nah, dalam kasus skripsi, sebelum masuk JRA sudah dipilah-pilah. (Harusnya) Sudah dipilah mana yang masih fresh dan mana yang sudah lawas dan “rusak” (sesuai klarifikasi pak Rektor). Misal kalian bikin skripsi tahun 2010, dan sekarang sudah 2020. Dah 10 tahun, sudah banyak kuota skripsi baru dan isinya lebih akurat seiring zaman. Nggak mungkin kan karyamu mau disimpan terus di perpustakaan? Mana muat, kalau gedungnya segede gedung DPR sih muat-muat aja. Umumnya skripsi bersifat aktif 1 tahun, inaktif 2 tahun, lalu dimusnahkan,” kata Dosen Departemen Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga (Unair) Iswanda F. Satibi

Sebagai syarat lulus, selain mengumpulkan skripsi di perpustakaan juga disuruh juga ngumpulin softfile dalam bentu vcd, kan? Nah, itu nanti pihak perpustakaan bertugas mengelola dan menyebarkan karya kalian lewat portal digital. Beda-beda tiap universitas, biasanya dinamakan Repository, Digilib, dan sejenisnya. Portal reposirory macem-macem isinya, kalau masalah skripsi, isinya berupa keterangan karya ilmiah (nama penulis, judul, tahun dan lain-lain) dan biasanya yang diupload hanya Bab 1-3 saja. Kalau tertarik dan butuh full lengkapnya, baru ke perpustakaan untuk nyari referensi yang dibutuhkan. Jadi begitu ya, Malih.

Saya tahu skripsi itu memang perjuangan seseorang karena melibatkan fisik dan materiil. Saya sangat paham bagaimana seorang mahasiswa harus berdarah-darah dulu demi menghasilkan sebuah cetakan hard cover hingga bisa bertengger di perpustakaan. Sudah susah payah, dibuang lewat jendela, diloakkan pula. Pokoknya “oknum” perpustakaan itu sungguh nggak manusiawi lah ya? Tapi pernah nggak kalian berfikir sekilas tentang pegawai perpustakaan? Apa saja yang dikerjakan? Rintangan yang harus dilewati sampai bisa duduk di ruangan berkipas angin, eh maksudnya AC. Nggak pernah, kan?
Mengutip tulisan Mas Mubaidi Sulaeman, “Memang seseorang itu akan mati rasa ketika ia tidak pernah mengalaminya sendiri penderitaan tersebut. Mereka yang membuang skripsi dengan mengatasnamakan “apapun”, pada hakikatnya telah menghina “harga diri dan perjuangan” mahasiswa.” Haduh mas, lha dikira pegawai perpustakaan itu lulusan SMA semua? Jadi mereka nggak pernah merasakan jadi mahasiswa dan mengalami penderitaan ngerjain skripsi atau tugas akhir? Hashh, mainmu kurang jauh, mas!

Dari tinggat perpustakaan sekolah (SD, SMP, SMA), perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan swasta, perpustakaan daerah dan perpustakaan apapun. Rata-rata minimal pendidikan itu sudah harus D-3/S-1. Selama mengenyam pendidikan, kita selalu berorientasi pada pemustaka, cara memperlakukan pemustaka, membantu kebutuhan pemustaka, sabar menghadapi berbagai bentuk dan model pemustaka, ya karena kita sadar memang itu tanggung jawab pekerjaan ini. Dan kalau misalkan ada “oknum” perpustaan yang ndelelah kinerjanya agak nggak profesional tapi tetap bekerja, ya mungkin lagi ngetren-ngetrennya orang tidak kompeten tapi tetap stuck di posisi tersebut.

Ya kadang adapula sih, “oknum” perpustakaan yang melayani dengan jutek pasti karena beberapa alasan. Bisa juga karena hilang kesabaran ngadepi pemustaka yang ndlogok. Aku throwback tulisanku yang dulu ya. Jadi perpustakaan itu bukan ladang basah. Tahu kan maksudnya? Tidak ada anggaran yang bisa mlipir diselipkan ke kantong.

Selain masalah gaji, masalah anggaran lainnya juga seret. Anggaran pengadaan sarpras, pengadaan koleksi dan tetek bengek lainnya. Belum lagi kalau pimpinan tidak melek perpustakaan dan tidak pro aktif, duh makan deh. Pokoknya, modal bertahan kerja di dunia perpustakaan ya hanya dengan mencintai. Kalau tidak, sudah nyerong haluan tempat kerja yang lebih “basah”. Kamu nggak akan kuat, biar kami saja~

Untuk menutup tulisan ini, aku mau mengutip twet Eka Kurniawan sebagai refleksi diri aja sih, “memang problem kita ini di kiri-kanan, depan-belakang: tak mau ngecek sumber. mau konservatif atau liberal, semua sumbu pendek. langsung nge-gas. telan semua info mentah2.”

Btw, kalian yang ikut demonstrasi dan marah-marah kemarin masih hafal judul sendiri, kan?

BACA JUGA 5 Hal yang Bisa Diteladani Kaum Muda dari Sosok Jerinx dan tulisan Rinawati lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version