Sebelum lanjut membaca, terlebih dahulu kamu harus udah baca tulisan saya tentang Kurikulum Prototipe sebelumnya. Baik, kalau kamu sudah baca, yuk mari lanjut pedekate sama penerapannya di Sekolah Menengah Atas.
Di antara semua jenjang sekolah, mulai PAUD, SD/LB, SMP/LB, SMK, SMA/LB, SMA lah yang mengalami perubahan cukup besar. Pasalnya, tidak ada lagi program penjurusan seperti sebelumnya. Karakteristik kurikulumnya lebih fleksibel dan menyesuaikan minat siswa.
Ya, siswa nggak lagi memilih jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Siswa berhak memilih level mata pelajaran yang disesuaikan sama kebutuhannya untuk melanjutkan kuliah. Eits, tapi nanti dulu. Pemilihan mata pelajaran pada Kurikulum Prototipe ini baru dimulai di kelas XI. Di kelas X, siswa menerima semua mata pelajaran serupa SMP.
Wah, ini kembali ke zaman lampau, dong?
Ada benernya, tapi juga banyak nggaknya. Semasa saya SMA, sekitar 2009, penjurusan IPA, IPS, atau Bahasa dimulai di tahun kedua. Persamaan dengan kurikulum lampau ya cuma itu. Di kelas X sama-sama menerima mapel umum, sementara di kelas XI baru bisa memilih.
Tapi, kalau saat saya SMA dulu, kita cuma diberi kebebasan untuk memilih jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Artinya, siswa yang memilih jurusan IPA akan mendapat mapel MIPA komplit: Biologi, Fisika, Kimia, dan Matematika Minat. Nah, kalau sekarang siswa boleh memilih mata pelajaran tertentu di kelompok IPA. Namun, juga punya kewajiban sedikitnya memilih satu mapel lain di kelompok lain. Tentunya, kelompok mapel umum telah diambil terlebih dahulu.
Mata pelajaran yang temasuk mapel umum adalah Pendidikan Agama, PKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Seni, dan PJOK. Kelompok mapel umum ini mendapatkan total alokasi waktu 18 JP per minggu. Katakanlah Eka adalah seorang siswa yang akan mengambil jurusan Farmasi ketika kuliah. Maka selain mendapat mapel kelompok umum, ia mengambil mata pelajaran Biologi dan Kimia pada mapel pilihan MIPA dengan alokasi 10 JP per minggu. Kemudian, ia juga mengambil mapel Sosiologi dengan alokasi 5 JP per minggu untuk kelompok mapel IPS. Pun ia mengambil mapel Bahasa Inggris lanjutan dengan alokasi 5 JP per minggu.
Skenario lain, Budi seorang siswa SMA yang masih bingung mau lanjut ke arsitektur atau akuntansi. Budi mendapatkan paket mapel umum dengan alokasi waktu 18 JP. Lalu Budi mengambil mata pelajaran Fisika dan Matematika Minat pada mapel pilihan MIPA dengan jumlah alokasi 10 JP per minggu. Kemudian, ia mengambil mapel Sosiologi dan Ekonomi pada mapel pilihan IPS dengan jumlah alokasi 10 JP per minggu.
Apa nggak boleh kalau cuma ngambil mapel kelompok MIPA saja atau IPS saja?
Jawabannya, tidak boleh.
Lah, kalau begitu nggak ada sebutan anak IPA dan anak IPS lagi, dong?
Yap, betul sekali.
Inilah salah satu tujuan pelaksanaan Kurikulum Prototipe. Program peminatan dan penjurusan tidak diberlakukan. Berkaca pada pelaksanaan kurikulum sebelumnya, program penjurusan ini justru mengakibatkan kesenjangan antar jurusan. Jurusan MIPA dianggap lebih superior daripada IPS dan Bahasa. Bahkan saat penerimaan mahasiswa baru, beberapa kampus menerapkan aturan siswa yang berasal dari jurusan MIPA boleh mengambil jurusan IPS dan Bahasa. Namun, tidak berlaku sebaliknya. Buah pikiran ini terbit dari anggapan bahwa anak-anak jurusan IPA akan lebih mampu mempelajari IPS meskipun nggak dapat bekal di masa SMA. Namun, anak-anak jurusan IPS nggak akan mampu mempelajari IPA.
Hmmm, nggak adil, kan? Inilah yang dikatakan penjajahan di atas jurusan. Maka tak heran, sebagian besar sekolah negeri yang favorit, jurusan IPA-nya jauh lebih banyak daripada jurusan IPS apalagi Bahasa. Ada rasa gengsi bagi siswa yang pintar jika tidak masuk jurusan IPA. Ada stereotip miring buat anak-anak jurusan IPS. Padahal kan nggak selamanya kayak gitu.
Baik anak-anak jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa punya kompetensi yang sama untuk terjun ke dunia kerja. Lagipula di masyarakat, masak kita mau bilang dokter lebih pintar dari akuntan? Lalu berpikir dokter bisa mempelajari akuntansi meskipun sebelumnya nggak dapat ilmunya. Kan jahat.
Itu artinya siswa harus mempertimbangkan betul-betul mau lanjut ke mana semenjak kelas X, dong?
Iya, seratus! Di sinilah peran guru BK dan wali kelas dibutuhkan. Biar siswa nggak salah langkah, mereka perlu konsultasi dengan guru BK dan Wali Kelas. Selain itu, ini biar anak-anak juga terbiasa membuatkan rencana yang matang dan mempersiapkan jauh-jauh hari tentang pilihan kuliahnya. Bukannya yang baru bingung mau ke mana setelah duduk di semester dua kelas XII.
Penulis: Rezha Rizqy Novitasary
Editor: Audian Laili