Alasan Logis Siswa Jakarta kalau Piknik Malah ke Jogja

Alasan Logis Kenapa Siswa Jakarta kalau Piknik Malah ke Jogja terminal mojok

Apa yang menarik dari siswa-siswi sekolahan kalau piknik selain bikin macet kota tujuan? Yak, mereka bakalan belajar meresapi kota yang sedang mereka sambangi. Serius, para siswa ini kalau piknik selalu mengambil nilai alih-alih hiburan belaka. Nggak percaya? Lihat saja, selalu ada embel-embel “study” sebelum kata “tour”.

Selama ini saya anggap “study” sebelum kata “tour” itu hanya gimik belaka. Lha wong saya pernah menjadi korbannya. Ketika SMP, sekolah saya study tour ke Bali. Setelah pulang, saya disuruh buat laporan tentang Garuda Wisnu Kencana. Padahal destinasi piknik kami semuanya adalah pantai. Alhasil kopas Wikipedia dan nyatanya saya dapat nilai sempurna.

Tentu itu contoh nggak baik. Tapi, mbok ya mikir perasaan saya, “tour”-nya ke Sanur, kok ya disuruh “study”-nya tentang Garuda Wisnu Kencana. Ha kan nggak nggenah.

Namun setelah saya melihat siswa Jakarta yang piknik ke Jogja, pikiran saya perihal gimik “study” sebelum kata “tour” itu musnah sudah. Lha gimana, siswa-siswi Jakarta kalau plesir ke Jogja, mereka lebih banyak mengambil hikmah ketimbang plesirnya.

#1 Keberhasilan kinerja Jokowi perihal pemerataan kota-kota di Indonesia

Anda pikir saya sedang satir? Maaf, kawan, saya bukan Arman Dhani.

Pada poin kali ini, saya jujur apa adanya bahwa siswa-siswi Jakarta yang piknik ke Jogja setelah pulang akan sadar bahwa kinerja Pakdhe Jokowi soal pemerataan kota-kota di Indonesia memang ngosak-ngasik tiada tanding. Nggak hanya pembangunan, bahkan ke hal-hal yang kadang kita anggap minor.

Nah, sama halnya dengan Kota Jogja yang kini nggak ada bedanya sama ibu kota. Lha gimana, Jogja kini sudah rasa Jakarta, jhe. Memangnya plataran sawah di Bantul doang yang bisa dibilang rasa Ubud? Lha wong Kota Jogja sendiri saja sekarang bisa dibilang semi-Jakarta.

Lihat saja jam-jam prime time tiap berangkat maupun pulang kerja, malam minggu, hari-hari libur, macet adalah sarapan utama di Jogja. Adhitia Sofyan bilang ada sesuatu di Jogja, lha iya sesuatunya itu salah satunya adalah kemacetan.

Mungkin siswa-siswi Jakarta yang piknik ke Jogja bakalan mbatin, “Indonesia itu memang sudah merata, bahkan kemacetan pun nggak jauh beda dari Jakarta.” Kota-kota sentral seperti Jakarta dan Surabaya, kini sudah nggak ada bedanya dengan kota-kota satelit seperti Jogja.

Kasihan Pakdhe Jokowi, sudah kerja, kerja, dan kerja kok ya masih UMR Jogja, eh, maksud saya, kok ya masih disindir-sindir sama para pembenci.

Jakarta terancam tenggelam? Ah, cupu. Contoh Jogja dong yang nggak bakalan tenggelam lantaran Jogja mulai masif menyedot air-air tanah atas bantuan hotel-hotel kian marak di Jogja. Ketika selatan Jogja makin ramai dengan perumahan-perumahan murah, maka di utara Jogja ramai dengan hotel-hotel berbintang.

Kemacetan berjalan lurus dengan pembangunan yang kian riuh? Ah, peduli setan. Ini kota wisata, Bung, di mana apa pun bisa jadi wisata. Siapa tahu kemacetan bisa jadi ladang wisata baru. Yang penting akun-akun romantisasi harus kuat memberikan buff ketika musim liburan tiba. “Ada yang baru di Jogja nih, Guys. Wisata kemacetan check!”

Siswa-siswi Jakarta yang piknik ke Jogja akan sadar bahwa Jogja itu seperti rumahnya sendiri. Indonesia kini memang tanpa gap. Itulah keberhasilan bahwa pemerataan menjadi prioritas utama. Tapi, ada satu yang kurang sih, yakni masalah transportasi Jogja yang beda jauh dari Jakarta. Hmmm, Opung Luhut mau ambil jabatan ini? Lumayan buat tambah-tambah.

Paragraf-paragraf di atas kalau saya coba sederhanakan mungkin gini: Orang Jakarta piknik ke Jogja itu biar tahu kalau ada kota lain yang punya peradaban. Contohnya ya Jogja ini. Tryhard banget jadi Jakarta, malah.

#2 Melahirkan siswa-siswa yang kritis

Jogja itu kota pelajar, maka dari itu study tour ke Jogja bagi siswa-siswi Jakarta itu alasan yang luar biasa logis. Jangan salah, piknik ke Jogja ini semacam menyiapkan bara panas yang kemluthuk yang akan dilempar ke lautan minyak.

Mereka yang piknik ke Jogja akan kaget, betapa tinggi ketimpangan kota ini antara yang miskin dan yang sugih. Mereka yang sugih, bisa itu memegang hak kuasa atas tempat-tempat wisata, sedang yang kere bahkan untuk ke burjonan pun mikir-mikir sisa berapa gaji bulan ini.

Apa ketimpangan itu sepenuhnya hal buruk? Ah, nggak juga. Nyatanya di sini malah kayak dirawat gitu. Narimo ing pandum, Buosss.

Para siswa di Jakarta itu kelak akan memunculkan minat untuk kuliah di kampus-kampus ternama di Jogja. Mereka akan berpikir, kok ya kota yang haha hehe istimewa seperti ini, bisa menyimpan luka yang tertutup oleh akun-akun yang sering membagikan pojok-pojok romantis Kota Jogja?

Di sinilah proses berpikir, kontemplasi, dan dialektika akan dimulai. Secara serempak, mereka akan berpikir, siapa sih yang salah? Jika sifat kritis ini sudah muncul, mereka pada akhirnya akan layu setelah melihat keadaan bahwa Jogja yang nggak bisa diapa-apakan lagi. Menantang absolut, sama saja seperti mendekati maut.

Lha mau gimana, prinsip di kota ini itu nggak bakalan ditemui di kota mana pun, pula nggak bakalan ada di belahan bumi mana pun. Alias nrimo ing pandum itu lebih mbois sekali ketimbang jargon ad astra per aspera milik NASA.

Hanya piknik ke Kota Jogja, anak-anak SMA ini akan benar-benar menjalankan proses “study” dan “tour” secara alami. Nggak dipaksakan dan nggak hanya sekadar gimik belaka. Jogja itu kota terbaik untuk berkembang secara akademis.

Di sini, apa-apa murah, bahkan untuk membayar upah. Pun di sini semuanya ramah, nggak ada itu kalian ditanyain KTP mana. Jawabnya udah jelas, KTP disimpan di dompet. Atau di tas. Atau masih ditahan sebagai bukti utang. Kayaknya lho ya.

Nah, maka dari itu, silakan piknik ke Jogja saja, jangan ke tempat lainnya. Mumpung belum Desember, Tugu Pal Putih belum direvitalisasi lagi, lagi, dan lagi.

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version