Gara-gara skor PISA yang buruk, sistem pendidikan Indonesia menjadi bulan-bulanan. Beberapa hari yang lalu di Paris, OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mengumumkan hasil skor PISA negara-negara yang tergabung di dalamnya beserta negara yang sukarelawan mengikuti program tersebut. Hasilnya sudah dapat ditebak Indonesia menempati urutan 10 terbawah.
PISA (Programme for International Student Assement) sendiri merupakan program yang diselenggarakan oleh OECD tiap tiga tahun sekali. Tujuannya untuk mengevaluasi sistem pendidikan di berbagai negara dengan mengukur kinerja pendidikan siswa menengah pada tiga bidang yaitu literasi, matematika, dan sains. Dengan diadakannya program ini diharapkan negara yang kinerja sistem pendidikannya buruk dapat mengikuti dan belajar dengan negara yang memiliki skor PISA di atas rata-rata.
Segenap elemen masyarakat dunia maya pun memberikan tanggapannya. Ada yang percaya dan merasa itu bukan suatu kejutan. Ada juga yang menganggap hasil tersebut bias karena menurutnya siswa-siswi Indonesia sering menjadi juara Olimpiade. Sepertinya mereka lupa yang menang olimpiade berapa orang, yang diuji PISA bisa berapa ribu orang. Hadehhhh.
Namun, dari sekian banyak komentar tanggapan terhadap skor PISA, yang paling menggelitik pikiran saya adalah komentar yang menyatakan bahwa kemiskinan, penggangguran, atau gagalnya suatu perekonomian negara menjadi penyebab buruknya sistem pendidikan di negara tersebut. Harus kita akui sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata berkualitas. Akan tetapi, mengkambinghitamkan sistem pendidikan atas buruknya kinerja perekonomian, saya pikir itu tidak adil.
Tahu tidak? Siswa-siswi di Jakarta dan Yogyakarta memiliki skor PISA di atas rata-rata nasional. Skor PISA Indonesia dalam bidang membaca 317, siswa-siswi di Jakarta dan Yogyakarta masing-masing mendapatkan 410 dan 411. Begitu juga dalam matematika, Jakarta memiliki skor 416, Yogyakarta mendapatkan skor 422, sedangkan rata-rata nasional 379.
Dalam bidang sains, lagi-lagi Yogyakarta berada di atas skor nasional Indonesia yaitu 434 dan DKI 424, sedangkan skor nasional PISA Indonesia sendiri 389. Meskipun Yogyakarta memiliki skor PISA yang lebih baik secara nasional, faktanya provinsi ini masih menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa. Provinsi ini memiliki angka kemiskinan sebesar 11,7%.
Sekarang mari kita amati angka pengangguran. Pada Agustus 2019, Indonesia memiliki 7,04 juta orang pengangguran, naik sekitar 0,57% dari tahun 2018. Dan level pendidikan yang mengalami kenaikan jumlah pengangguran adalah lulusan universitas dan SMK (pengangguran terampil). Pengangguran dengan pendidikan universitas naik dari 8,64 % pada 2015 menjadi 10,42 % Agustus 2018.
Begitu juga dengan lulusan SMK mengalami peningkatan dari 20,76 % menjadi 24,51 % pada Agustus 2019. Sedangkan pekerja kurang terampil (SMA) justru mengalami penurunan tingkat pengangguran dari 30,16% menjadi 28,31% pada Agustus 2019. Pemerintah mengklaim membuka 11 juta lapangan pekerjaan sepanjang 2014-2019.
Sayangnya, pasar tenaga kerja kita ternyata lebih menyerap tenaga kerja kurang terampil, berpendidikan rendah, dan berupah murah daripada tenaga kerja terampil. Penelitian yang dilakukan SMERU berjudul, “Effect of Growing Up Poor On Labour Market Outcomes: Evidence From Indonesia” menunjukkan meskipun anak keluarga miskin memiliki pendidikan dan kemampuan matematika yang sama dengan anak non-miskin, pendapatan mereka tetap lebih rendah ketika dewasa.
Lagi-lagi data menunjukan memiliki pendidikan yang tinggi bukan jaminan seseorang dapat dengan mudah naik ke strata sosial yang lebih baik. Lantas apakah dengan begitu kita menganggap bahwa pendidikan bukan suatu hal yang penting? Tentu saja tidak. Pendidikan merupakan salah satu sarana mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju.
Buruknya skor PISA sudah seharusnya menjadi evaluasi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang tepat demi meningkatkan mutu pendidikan. Namun, menyalahkan sistem pendidikan sebagai akar dari gagalnya perekonomian negara, jelas berlebihan. Perekonomian suatu negara itu merupakan urusan yang rumit, melibatkan hubungan sosial, politik, dan hukum.
Memiliki pendidikan yang berkualitas baru memenuhi satu komponen saja. Masalah kesehatan, pengangguran, dan ketimpangan yang melebar tentu juga menjadi penentu perekonomian suatu negara. Ingat, salah dalam mengidentifikasi sumber masalah akan menyebabkan kita gagal dalam menemukan solusi yang tepat. Semoga belajar.
BACA JUGA Apa Iya Pendidikan Abad 21 Cuma Bakal Berisi Belajar Online, Doang? atau tulisan Chairunis lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.