Sistem Kekeluargaan di Kantor Beneran Ada atau Nggak, sih?

Ruang Lingkup Kerja Berbasis Kekeluargaan Itu Beneran Ada atau Nggak, sih Terminal Mojok

Ketika melamar suatu pekerjaan, biasanya ada beragam kriteria perusahaan yang menjadi tujuan sebagian pelamar kerja. Tentu saja kriteria tersebut tergantung kebutuhan atau bisa jadi menyesuaikan harapan. Sebagian lainnya merasa nggak perlu neko-neko. Terpenting bisa bekerja secara profesional. Soal adaptasi, bisa dilakukan secara perlahan.

Dari sekian banyak kriteria perusahaan yang diidam-idamkan oleh para pekerja termasuk pelamar kerja, ada satu kriteria yang rasanya masih mengganjal pemikiran saya. “Perusahaan ini sangat mengutamakan sistem kekeluargaan,” begitu kata HRD juga sebagian karyawan di suatu perusahaan.

Sebentar, sebentar, sebentar…

Saya justru pengin bertanya terlebih dahulu. Memangnya ada gitu, kantor yang betul-betul menganut sistem kekeluargaan? Kalaupun ada, maksudnya gimana, seperti apa, dan bagaimana ruang lingkupnya?

Lantaran penasaran seperti apa dan bagaimana sih ruang lingkup pekerjaan yang dimaksud oleh sebagian karyawan di berbagai perusahaan, saya coba bertanya kepada beberapa rekan yang bekerja di berbagai divisi dan posisi: HRD, staf admin, customer service, asisten manager HRD, juga pelamar kerja, untuk mengetahui penjelasan mereka tentang “kantor yang sangat kekeluargaan.”

Dari berbagai respons yang diberikan, rangkuman verbatimnya seperti ini:

Pertama, pendapat pekerja dan pencari kerja yang percaya bahwa kantor dengan suasana kekeluargaan itu ada

Kelompok ini mengutarakan bahwa kantor dengan suasana kekeluargaan itu memang ada dan sangat mungkin diciptakan. Sebagian pekerja yang memberi penjelasan tentang hal ini, rata-rata adalah mereka yang sudah bekerja dengan kurun waktu 5-7 tahun di suatu perusahaan. Betul-betul waktu yang tidak sebentar tentunya.

Mereka juga menjelaskan yang dimaksud dengan sistem kekeluargaan adalah satu sama lain saling membantu ketika ada suatu permasalahan yang pelik. Baik antarkaryawan, maupun antara karyawan dengan customer atau klien.

Lebih lanjut lagi, permasalahan pun diselesaikan secara musyawarah. Ditanya satu per satu terlebih dahulu, tidak langsung menghakimi atau mengandalkan prasangka, sampai ada titik temu atau penyelesaiannya.

Soal penyelesaian tugas, masih akan diproses secara profesional. Mengutamakan saling membantu dalam mencapai suatu tujuan atau target. Tidak ada istilah saling sikut-menyikut atau menjatuhkan antara karyawan satu dengan yang lain, atau divisi satu dengan lainnya.

Hanya saja, kekurangannya ada pada jam kerja yang nggak kenal waktu dan over-time. Sehingga work-life balance dipertanyakan. Tentu saja, persoalan ini bisa diakali dengan berbagai cara. Mematikan HP atau mengubah mode ‘plane’ pada HP hanya dua diantaranya. Biar apa pun yang ditanyakan dalam grup WA kantor, bisa direspons hanya pada waktu kerja.

Kedua, pendapat pekerja dan pencari kerja yang percaya bahwa kantor dengan suasana kekeluargaan itu tidak ada dan hanya klise

Selain pendapat yang pro, ada juga pendapat kontra yang menegaskan bahwa kantor dengan basis kekeluargaan itu hanya klise. Para pekerja yang beropini kontra percaya bahwa dalam ruang lingkup pekerjaan sebaiknya tetap diberi sekat secara profesional dan proporsional. Jangan dicampur adukkan. Baik ketika bekerja, maupun saat ada suatu permasalahan. Termasuk ketika ada persoalan personal.

Selain itu, jargon “kantor ini sangat kekeluargaan” dianggap terlalu abu-abu dan riskan. Bagaimana bisa ruang lingkup profesional dibuat dengan sistem kekeluargaan? Apa nggak terlalu berlebihan? Juga, khawatir antara karyawan satu dengan lainnya tidak ada gap lagi. Antara supervisi, manajemen, juga karyawan ‘terlalu dekat’ dan malah semaunya.

Bukannya mau sok-sokan ada gap antara junior dan senior atau bawahan wajib hormat dan selalu manut kepada atasan tanpa diberi kebebasan berpendapat, tapi ini semua kembali kepada profesionalitas dan proporsional dalam dunia kerja.

Lebih lanjut lagi, menurut beberapa orang yang pro dengan poin ini, efek laten menerapkan jargon “kantor dengan sistem kekeluargaan” itu justru rawan bekerja secara profesional dan semaunya. Lantaran merasa segala sesuatunya bisa diatur dan ada anggapan, “Ah, santai. Si bos deket sama gue, kok. Bisa diatur.”

Setelah mendengarkan dengan saksama dua opini yang bertolak belakang tersebut, saya pun menyadari bahwa keduanya punya gagasan yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada salah atau benar, yang ada hanya bagaimana harus bersikap secara profesional sekaligus proporsional dalam bekerja. Juga, harus bisa membaca situasi. Kapan harus bekerja secara tim dan saling menolong, kapan harus bisa bekerja secara individu demi mencapai objektif perusahaan.

BACA JUGA Lucunya Bekerja di Perusahaan yang Pimpinannya Adalah Teman Sendiri dan artikel Seto Wicaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version