Sisi Gelap Pendidikan di Papua: Sebuah Kisah Ironi di Timur Indonesia

Sisi Gelap Pendidikan di Papua Sebuah Ironi di Timur Indonesia (Unsplash)

Sisi Gelap Pendidikan di Papua Sebuah Ironi di Timur Indonesia (Unsplash)

Cerita ini rasanya wajib saya bagikan kepada semua orang. Ini tentang perjalanan KKN saya di Provinsi Papua, tepatnya di Kampung Waryesi, Kabupaten Supiori, yang baru berjalan dua pekan. 

Saya, bersama 29 mahasiswa dari 18 fakultas melaksanakan kegiatan pengabdian selama 50 hari di salah satu wilayah bagian timur Indonesia itu. Berbagai program kerja dari masing-masing latar belakang studi kami tawarkan demi memberikan dampak baik bagi masyarakat Papua. 

Selama kurang lebih 14 hari di sini, saya menyadari bahwa telinga saya benar-benar digunakan sesuai dengan fungsinya, yakni mendengar dengan baik. Banyak cerita dari para warga terkait kondisi sejak lahir dan tumbuh di wilayah yang berada di Pulau Biak tersebut, khususnya mengenai pendidikan.

Yang saya dengar di Papua

Di Kampung Waryesi, fasilitas pendidikan dapat dikatakan lengkap. PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA ada di sini. Artinya, anak-anak memiliki kesempatan untuk menamatkan program Wajib Belajar 12 tahun. 

Berdasarkan penuturan salah satu masyarakat, anak-anak di Papua memang memiliki semangat belajar yang tinggi. Hal tersebut saya buktikan dengan antusiasnya mereka ketika kami mengadakan program kelas bahasa Inggris. 

Adik-adik kami berbondong-bondong mengikuti kegiatan tersebut. Rasa penasaran terlihat dari mata mereka yang begitu tajam memperhatikan setiap materi yang kami bagikan. Namun, kenyataan-kenyataan baik yang saya ceritakan di atas tentu tidak lepas dari berbagai persoalan. 

Masalah pendidikan yang saya lihat di Papua

Salah satu permasalahan dari pendidikan di tanah Papua yakni kurangnya tenaga pengajar di setiap sekolah. Bahkan, satu guru dapat mengampu lebih dari satu mata pelajaran. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Para guru, khususnya angkatan muda, memiliki kecenderungan untuk mengabdi di daerah perkotaan karena akses menuju sekolah di beberapa wilayah di Papua cukup sulit. Profesi yang dijuluki “pahlawan tanpa tanda jasa” itu harus menghabiskan waktu sampai dengan berjam-jam hanya untuk sampai di sekolah tempat mereka mengajar. 

Minimnya guru berdampak pada tingkat kualitas anak didik. Dapat dibayangkan betapa berat beban satu guru untuk mengampu jumlah murid di luar kapasitasnya. Tak heran jika terdapat satu atau dua siswa yang luput dari perhatian seorang guru sehingga anak tersebut tidak dapat menyerap ilmu dengan maksimal. 

Lebih lanjut, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 menunjukkan Provinsi Papua masih memimpin angka buta huruf di Indonesia. bahkan mencapai 18,81% pada rentang umur 15 tahun. Kondisi tersebut menjadi mimpi buruk yang tak kunjung usai bagi Indonesia yang digadang-gadang akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2045 kelak. Bagaimana tidak? Pendidikan adalah salah satu faktor fundamental untuk menentukan maju atau tidaknya sebuah negara. 

Permasalahan lain juga melekat pada program pendidikan

Saya pernah mendapatkan kesempatan berbincang dengan salah seorang guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah di Kampung Waryesi. Pada obrolan singkat kami tersebut, beliau menceritakan bagaimana dia lebih fokus mengajar anak didiknya dalam lingkup conversation di samping melaksanakan kurikulum pendidikan hasil godokan pemerintah pusat. 

Hal tersebut dia lakukan dengan tujuan agar murid-muridnya di Papua mampu berbicara dengan para wisatawan mancanegara yang datang berlibur di Kabupaten Supiori yang kaya akan wisata alamnya. 

Dari pembicaraan dengan guru tersebut, saya menyimpulkan bahwa program pendidikan dari pemerintah pusat tidak dapat sekonyong-konyong diaplikasikan di setiap wilayah di Indonesia, termasuk Papua. Penyetaraan program justru membuat daerah yang tertinggal semakin sulit untuk mengejar standar kualitas para murid di daerah yang memiliki tingkat pendidikan yang baik. 

Pekerjaan rumah yang berat

Dari runtutan fakta pahit di atas, pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat. Perlu komitmen dan langkah konkret untuk menciptakan sumber daya manusia yang siap untuk menghadapi perubahan dunia yang serba cepat. 

Kendatipun demikian, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri. Perlu dukungan dari banyak pihak untuk mewujudkan pendidikan yang layak di Papua. Masyarakat juga memiliki peran besar untuk membantu pemerintah melaksanakan tugasnya. Para orang tua memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan motivasi dan menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan kepada anak-anaknya.

Setiap orang bebas untuk bermimpi. Mungkin kalimat tersebut sering kita dengar. Namun, yang saya yakini, kebebasan tersebut tidak hanya cukup sampai dengan bermimpi, tetapi juga ketika mewujudkannya. 

Mimpi yang tidak diusahakan hanya akan menjadi angan-angan. Oleh karena itu, saya percaya bahwa dengan tekad yang kuat dari berbagai stakeholder, bukan tidak mungkin untuk menciptakan kesetaraan lingkup pendidikan di Indonesia yang siap melahirkan putra-putri bangsa yang berkompeten.

Penulis: Bintang Jihad Mahardhika

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Papua, Irian, dan Segenap Atribut Primitif yang Disematkan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version