Terkadang, office boy diperlakukan seperti budak. Mereka tidak dianggap dan disepelekan. Padahal, semua OB itu punya hak yang sama.
Memutuskan untuk resign dari suatu pekerjaan yang sudah lama digeluti tentu bukan perkara mudah. Terlebih lagi bagi generasi fresh graduate seperti saya. Selain karena alasan gaji minim, dua hal yang membuat beberapa orang beralih ke pekerjaan yang lain adalah karena demi kenyamanan dan pengalaman yang lebih baru.
Seperti yang dilakukan oleh salah satu teman saya. Setelah satu tahun lebih menjadi karyawan di toko parfum, dia merasa sudah waktunya untuk update pengalaman kerjanya. Setelah cukup lama mencari pekerjaan, akhirnya dia pun berhasil menemukannya.
Sebelumnya, aktivitasnya lebih banyak berkutat di dalam ruangan saja. Kali ini, selain harus aktif di dalam ruangan, mau tidak mau, dia juga harus menghabiskan energi dan waktunya di alam terbuka.
Office boy (OB) adalah pekerjaan baru teman saya tersebut. Tempat dia bekerja adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang marketing. Sebenarnya, teman saya tertarik untuk melamar di pekerjaan ini karena yang dia pikir jadi OB itu kerjanya santai, cuma bersih-bersih doang, tidak terlalu menguras energi.
Dia juga sering melihat peran OB di sebuah sinetron TV. Aktivitasnya ringan saja seperti menyapu, ngepel, dan membersihkan kaca jendela. Terlebih lagi gaji yang akan dia terima lebih gede.
Namun sayang, bayangan teman ternyata tidak seindah kenyataannya. Jadi office boy ternyata tidak sesantai dan senyaman yang dia kira. Dia kemudian membeberkan pengalaman kurang menyenangkan apa saja yang dia alami selama bekerja sebagai OB.
OB yang disepelekan
Bagi banyak orang, kasta office boy dalam dunia kerja itu berada di bagian kelas bawah. Kalau dalam lingkungan sosial, dia setara dengan wong cilik. Persepsi ini muncul karena hanya menilai kerja OB itu cuma bersih-bersih doang. Tidak jauh berbeda dengan pembantu rumah tangga. Tidak memiliki kontribusi berarti terhadap perkembangan perusahaan.
Padahal, anggapan yang seperti ini jelas keliru. Office boy juga memiliki peran penting terutama dalam hal kelancaran operasional kantor. Tanpa office boy, bisa dipastikan banyak urusan kantor yang akan terkendala.
Barangkali, lantaran posisinya yang dipandang sebelah mata itulah yang membuat mereka kerap mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Inilah yang dirasakan teman.
Misalnya, saat ada karyawan lainnya di kantornya mengadakan pernikahan, hanya dia dan temannya yang juga office boy tidak mendapatkan undangan. Begitu juga ketika kantor mengadakan rapat bersama setiap awal bulan. meski ikut, tapi kesempatan bagi OB untuk menyalurkan pendapat tidak pernah mereka rasakan. Keberadaan mereka seperti tidak ada artinya.
Harus selalu siap
Pekerjaan office boy bisa berbeda-beda, tergantung perusahaan di mana dia bekerja. Namun, secara umum, tugas dan tanggung jawabnya tidak jauh-jauh dari dua hal ini, yakni kebersihan dan membantu meringankan urusan administrasi kantor.
Selain itu, OB juga ditugaskan untuk memenuhi permintaan karyawan seperti membelikan makanan, mengambilkan air minum, sampai membuatkan kopi. Hal inilah yang membedakan office boy dengan cleaning service yang tugasnya hanya membersihkan kantor.
Nah, lantaran beban kerjanya lumayan banyak, office boy harus selalu siap sedia untuk disuruh. Bahkan tidak jarang saat istirahat siang OB harus mau disuruh memenuhi kebutuhan kantor atau karyawan. Teman saya sering banget mengalami hal ini. Lagi enak-enaknya istirahat siang, tiba-tiba saja ada staf atau manajer minta dibelikan makanan.
Bekerja di luar dari jobdesk
Setiap karyawan memiliki jobdesk masing-masing, tak terkecuali office boy. Di luar daripada itu, karyawan punya hak untuk menolak.
Oleh sebab itu, seharusnya tidak ada lagi kejadian atasan yang memerintah bawahannya untuk bekerja di luar dari jobdesk. Namun sayang, hal yang sebenarnya urgent ini sering disepelekan, termasuk di perusahaan tempat teman saya bekerja.
Dia kerap kali melakukan tugas di luar jobdesk OB. Misalnya, diminta untuk mengantarkan pulang karyawan. Suatu kali dia pernah disuruh beli makanan di luar jam kerja.
Kalau cuma sesekali, sih, masih bisa maklum. Namun, hal ini sering terjadi. Ini sudah melanggar aturan dan pihak perusahaan seharusnya memberikan sanksi terhadap mereka yang memperlakukan OB seenaknya. Seolah-olah OB itu bebas untuk disuruh-suruh.
Diperlakukan seperti budak
Menjadi office boy itu berat. Butuh kesabaran tinggi dan mental baja. Banyak karyawan di tempat dia bekerja menganggap OB seperti pembantu yang haknya tidak dianggap oleh karyawan lain.
Salah satu hal yang juga paling bikin teman saya kesal adalah ketika dia harus terpaksa mencucikan piring atau gelas bekas orang lain. Padahal sudah jelas bahwa mencucikan piring bekas orang lain tidak termasuk dalam tugas dan tanggung jawab office boy.
Pernah suatu kali teman saya menegur salah satu staf yang tidak mencuci piringnya. Eh teman saya ini justru dibilangin kalau yang mencuci piring kotor itu tugasnya OB, bukan staf. Tugasnya OB itu harus nurut untuk bersih-bersih. Karena tidak bisa berbuat apa-apa, dengan terpaksa, teman saya lagi-lagi harus melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya. Ini jatuhnya malah kayak budak.
Kendati demikian, diwarnai segala kepahitan, teman saya tetap bersyukur akan pekerjaan barunya ini. Toh, untuk bisa bekerja di negeri yang katanya kaya akan sumber daya alam tapi tetap saja nggak maju-maju ini adalah sebuah kemewahan yang tidak banyak orang miliki. Kalau tidak percaya, silakan cari sendiri di Google berapa jumlah angka pengangguran yang ada di Indonesia.
Penulis: Riad
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mbangun Desa: Diminta Membantu, Realitasnya Perbudakan Gaya Baru