Percaya nggak, di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat ada kampung yang warganya nggak punya WC di rumah dan mengandalkan sungai atau kebun untuk buang hajat
Mungkin kalau kita sedang sakit perut alias kebelet buang hajat, di pikiran langsung terlintas harus ke WC. Itu hal yang normal, kan? Tapi, pernah nggak saat kebelet, di pikiran kalian cuma kepikiran pergi ke kebun atau malah buang hajat sembarangan? Itulah kehidupan “normal” di suatu kampung di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Jika kalian membaca ini sambil makan, coba letakkan dulu makanan kalian daripada keselek.
Daftar Isi
- Kisah sebuah kampung di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat yang jauh dari kata layak
- Kebiasaan buang hajat sembarangan mulai ditinggalkan oleh warga kampung di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, tapi…
- Sudah ada yang membangun WC di rumah
- Warga kampung tak mampu membangun WC di rumah mereka
- Ada bantuan tapi jumlahnya sedikit
Kisah sebuah kampung di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat yang jauh dari kata layak
Sekitar 1,5 jam dari jalanan aspal, hiduplah sekitar seratusan orang dalam puluhan rumah membentuk suatu kampung di Kabupaten Bengkayang. Kampung ini jauh dari kata layak. Listrik tidak ada, aksesnya sulit, dan tidak ada fasilitas-fasilitas dasar.
Kampung ini sebenarnya bisa diakses dengan motor trail. Atau kalau berjodoh dengan kondisi jalan, kita bisa naik mobil 4WD untuk bisa sampai ke sana.
Kampung ini punya dua deret rumah, sebelah kanan dan sebelah kiri. Umumnya, rumah-rumah di sebelah kanan lebih baik dari yang kiri karena sudah setengah bangunannya berdinding tembok. Sedangkan deretan rumah yang kiri masih banyak yang berdinding anyaman rotan. Kedua sisinya diapit oleh aliran sungai kecil yang jadi sumber kehidupan warga dan ternak.
Kampung yang masuk dalam Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat ini sunyi. Sesekali suara burung dari hutan terdengar jelas atau suara anjing yang menggonggong karena ada orang asing yang masuk.
Sesaat setelah turun dari motor, saya mencium bau “wangi”. Awalnya saya tak sepenuhnya menyadari asal muasal bau ini. Hehehe. Curiga, sih. Curiga saja…
Saya datang bersama rekan kerja saya. Kami disuguhi segelas kopi hitam panas oleh seorang ibu yang mungkin tak tega melihat kami kelelahan karena motoran dari jauh. Ibu itu sangat ramah dan penuh senyum. Ia banyak mengajak ngobrol sembari menggendong anaknya.
Sayangnya, ibu itu tak lancar bahasa Indonesia. Jadi, saya tak terlalu paham apa yang teman saya dan ibu itu bicarakan. Hanya ngangguk-ngangguk dengan senyum tipis aja ketika kata “Jawa” diucapkan.
Setelah kopi mulai habis, kami pamit untuk menyambangi rumah demi rumah. Giat ini adalah giat biasa untuk observasi. Tujuannya ya ingin melakukan pendalaman mengenai kebiasaan “unik” yang masih ada di desa yang terletak di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat itu.
Kebiasaan buang hajat sembarangan mulai ditinggalkan oleh warga kampung di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, tapi…
Setiap rumah yang kami sambangi, selalu disambut hangat oleh pemilik rumah. Kami dipersilakan masuk untuk melihat depan rumah sampai dapurnya. Kami bertanya kepada warga, apakah mereka masih buang hajat sembarangan atau sudah mulai membangun WC.
Observasi ini memberi pemahaman bagi kami kalau kebiasaan ini sudah lama dilakukan. Dulu, warga yang tinggal di kampung yang kami datangi di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat ini malah benar-benar yang sembarangan. Di mana pun mereka ingin buang hajat, ya mereka lakukan. Prinsipnya, just do it!
Makin ke sini, warga makin sadar kalau hajatan sembarangan itu sedikit membuat malu dan tidak sehat. Maka, kebiasaan mulai bergeser ke kebun belakang rumah atau sungai yang saya sebutkan tadi.
Bentar, sungai? Hahaha, ada cerita lucu sedikit. Ketika saya dan teman saya sudah mengunjungi beberapa rumah tadi, kami baru sadar kalau…… sumber air minum mereka dari sungai. Saya dan teman saya otomatis saling bertatap seakan mengeluarkan suara “kopi”.
Pikiran kami bergejolak, tatapan kami kosong. Kami akhirnya berpasrah atas apa yang mungkin akan terjadi dari kopi yang kami minum.
Untungnya, tak terjadi apa-apa sampai beberapa bulan kemudian saya menulis ini, hahaha. Mungkin, karena sudah direbus sampai matang dicampur keajaiban semesta.
Sudah ada yang membangun WC di rumah
Beberapa rumah yang saya datangi sudah mulai sadar untuk membangun WC sebagai tempat termenung-menung ketika perut terasa mulas. Tapi, beberapa lupa kalau WC punya pasangan sehidup semati, yaitu septic tank. Entah lupa atau tidak tahu, tidak ada yang membuat septic tank ini. Jadi, aliran limbah akan tetap ke sungai, malahan ada yang paralonnya tidak tembus bibir sungai, tapi hanya sampai pekarangan. “Mak plung” kira-kira begitu bunyinya kalau jatuh.
Tentu ini salah satu yang menyebabkan bau “wangi” bertebaran di kampung tersebut. Malahan menurut saya dan teman saya, yang hajatan di kebun itu punya kontribusi sedikit saja untuk membentuk bau yang tercium.
Pergeseran kebiasaan warga di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat ini tentu bukan perkara yang mudah. Kami mendeteksi, petugas puskesmas setempat tak henti-hentinya rela masuk ke kampung untuk memberi edukasi tiap bulan. Makanya, orang makin sadar bahwa buang hajat tak bisa sembarangan.
Dalam situasi seperti ini, kelompok yang rentan adalah lansia dan anak-anak. Sepengetahuan kesehatan saya yang minim, kelompok ini punya daya tahan yang tidak optimal terhadap sumber penyakit. Artinya, mereka paling rawan sakit dalam lingkungan tak sehat.
Benar saja, historinya, banyak anak yang sering terserang penyakit, umumnya diare. Sayangnya, fasilitas kesehatan yang bahkan tidak ada, membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Yang lansia lebih kasihan lagi, karena bisa berdampak ke penyakit lainnya.
Petugas puskesmas juga sering melakukan pengecekan kesehatan untuk memastikan kelompok rentan tadi punya progres kesehatan yang baik. Mereka pun punya catatan rumah mana saja yang dihuni oleh orang yang rentan terhadap penyakit. Rumah-rumah inilah yang secara prioritas dikunjungi.
Warga kampung tak mampu membangun WC di rumah mereka
Perkara membangun WC ini bukan cuma perkara kesadaran, tapi juga kemampuan. Semua warga di kampung yang terletak di Kabupatan Bengkayang Kalimantan Barat ini bekerja di kebun dan hutan. Mereka membuka ladang, kadang-kadang juga berburu. Pastinya penghasilan mereka tak tentu. Untuk makan saja sangat seadanya, apalagi untuk membangun WC yang harus mengeluarkan uang berjuta-juta?
Beberapa rumah malah berdiri di tanah orang. Tanah itu memang tanpa sertifikat dan punya orang di kampung itu juga. Tapi, kalau pakainya sembarangan, bisa kena sanksi adat.
Warga pun harus bisa melobi pemilik tanah untuk bisa membangun septic tank. Ada yang diminta membayar uang kepada pemilik tanah, besarnya bisa 100-300 ribu rupiah. Nilai segitu sangat besar buat mereka. Yang tidak punya uang, ya menunda bikin WC dan septic tank.
Seorang bapak bercerita, ia terkendala masalah tanah untuk septic tank karena tanah yang hendak dia pakai sudah tanah orang. Ia berkeinginan membayar senilai yang pemilik tanah minta, meski uang itu perlu pontang-panting ia dapatkan.
Saya berkesempatan melihat rumah bapak ini. Rumahnya sederhana sekali. Dibangun model panggung, berdinding anyaman rotan yang atapnya tak menutupi seluruh rumah. Ruangan rumahnya hanya ada ruang tamu yang sekaligus dipakai tempat tidur dan satu ruangan lagi, yaitu dapur. Kini, dapur itu harus dipotong setengah untuk tempat WC yang belum jadi. Sayangnya, rumah bapak ini sudah tampak miring seperti akan roboh.
Si bapak kebingungan mana yang harus ia selesaikan dulu, rumahnya yang miring atau bangun WC. Alhasil, dia dan keluarganya masih melakukan kebiasaan lama sembari mengumpulkan uang untuk membetulkan rumahnya. Betapa mirisnya!
Ada bantuan tapi jumlahnya sedikit
Sebetulnya pejabat setempat bukan tidak tahu perkara ini. Ada sih bantuan berupa pemberian item WC. Tapi, jumlahnya sedikit, tidak sesuai dengan jumlah rumah yang ada. Bantuan itu ya diberikan begitu saja tanpa adanya tindak lanjut mau memantau progresnya.
Eh, boro-boro memantau, tambahan bantuan saja tidak dikasih padahal sudah dijanjikan. Ups!
Ketidakberesan ini coba diintervensi oleh beberapa pihak yang peduli. Mulai dari support sisi edukasi, material bangunan, sampai pada monitoringnya. Tapi, ya itu, intervensi seperti ini pun punya keterbatasan. Sejauh yang saya amati, memang pejabat tidak banyak berperan. Mungkin (mungkin, ya) semua pejabat ada di balik layar.
Teman-teman, kampung ini hanya satu kisah kampung tanpa WC di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Menurut cerita banyak orang, masih banyak kampung yang punya masalah serupa tapi belum tersentuh bantuan. Saya sih berharap, semua kampung bisa tuntas dan bebas dari hajatan sembarangan, ya. Kasihan kelompok rentan yang tak berdaya menghadapi risikonya.
Sebelum saya akhiri, saya mau berpesan, jangan tanya saya pejabatnya ke mana, ya. Saya tidak berani komentar lebih jauh dari yang saya tulis.
Penulis: Daniel Pradina Oktavian
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jangan Sakit di Bengkayang Kalimantan Barat: Rumit!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.