Sisi Gelap Kampung Durian Runtuh dalam Serial Upin dan Ipin

Sisi Gelap Kampung Durian Runtuh dalam Serial Upin dan Ipin

Sisi Gelap Kampung Durian Runtuh dalam Serial Upin dan Ipin (SyabilArul via Wikimedia Commons)

Pencinta serial animasi Upin dan Ipin tentu sudah tahu bahwa masyarakat yang tinggal di Kampung Durian Runtuh beragam. Berbagai identitas cukup eksis di kampung tersebut, mulai dari etnis India, Tionghoa, bahkan pribumi itu sendiri selaku etnis Melayu. Namun, banyak dari kita yang nggak menyadari bahwa terdapat sisi gelap yang menyelimuti keberagaman kampungnya Tok Dalang Ranggi itu.

Sebagai penonton, saya kerap terlena dengan serial kartun asal Negeri Jiran itu. Bahkan, saya turut mengagungkan sikap saling menghormati yang diciptakan oleh masyarakat Kampung Durian Runtuh yang ikut andil dalam tiap perayaan agama seperti Idulfitri, Deepavali, Imlek, dan sebagainya. Di balik itu semua, seringnya kita nggak sadar bahwa ada berbagai problematika tersembunyi di kampung tersebut.

Nggak ada rumah ibadah lain selain masjid

Sisi gelap pertama yang barangkali nggak banyak disadari oleh para penonton adalah persoalan rumah ibadah. Sejujurnya, sejak saya menonton serial Upin dan Ipin, saya belum pernah melihat ada rumah ibadah dari agama lain selain masjid. Saya belum pernah melihat klenteng dan pura di Kampung Durian Runtuh.

Padahal loh ya, di kampung itu ada Mei-Mei dan Uncle Ah Tong selaku penganut Konghucu. Ada pula Uncle Muthu, Jarjit, dan Devi yang menganut Hindu. Tapi, kenapa? Kenapa nggak ada rumah ibadah bagi mereka? Apakah perizinan rumah ibadah selain masjid di Kampung Durian Runtuh itu sesulit di negeri Wakanda?

Mirisnya, perayaan Deepavali saja dalam episode “Pesta Cahaya” justru dirayakan di rumah Uncle Muthu, bukan di rumah ibadah atau tempat khusus bagi para penganut agama Hindu. Begitu juga dengan perayaan Imlek dalam episode “Gong Xi Fa Cai” yang perayaannya nggak di klenteng, melainkan di rumah Mei-Mei dan mentok di lapangan terbuka dalam bentuk pasar dan opera Cina.

Marginalisasi etnis India

Nggak cuma soal rumah ibadah, di tengah keberagaman masyarakat Kampung Durian Runtuh, entah kenapa kok saya melihat orang-orang dari etnis India itu sedikit terpinggirkan.

Misalnya Devi. Saya jarang sekali melihat dia bergaul dengan anak-anak Kampung Durian Runtuh. Paling mentok saya tahunya Devi bergaul dengan anak kampung ketika bermain bekel dan perayaan Deepavali, sisanya mereka bertemu di Tadika Mesra aja. Ada apa dengan Devi? Apakah karena ia introvert? Atau karena etnisnya?

Baca halaman selanjutnya

Begitu juga Uncle Muthu…
Begitu juga dengan Uncle Muthu. Meskipun sering dianggap anggota trio bapak-bapak Kampung Durian Runtuh bersama Uncle Ah Tong dan Tok Dalang, nyatanya dia jarang bergaul dengan dua kawannya itu. Saat Uncle Ah Tong dan Tok Dalang nyangkruk di kedainya, Uncle Muthu jarang nimbrung. Dia malah menyibukkan diri di gerobaknya padahal nggak ada pembeli.

Adapun Jarjit, meskipun ia sering bergaul dengan Upin Ipin dan kawan-kawan, dia justru hadir sebagai tokoh yang “nggak nyambungan”. Misalnya, di awal episode “Gong Xi Fa Cai”, ketika yang lain main sepak kenchi, eh tiba-tiba Jarjit memukul bolanya dengan raket badminton. Kan nggak jelas banget ya, sampai akhirnya dia kena omel Ehsan.

Setelah saya baca-baca, ternyata kehadiran etnis India di Malaysia itu memiliki sejarah yang sedikit kelam. Mereka didatangkan oleh bangsa kolonial Inggris untuk dipekerjakan di Malaysia. Saat ini, etnis Tamil mendominasi masyarakat India di Malaysia. Sedangkan pada masa kolonial, pribumi, yakni etnis Melayu, merasa terkucilkan. Barangkali ini yang menjadikan mengapa etnis India di Kampung Durian Runtuh dihadirkan agak “berbeda” dengan etnis Melayu, bahkan Tionghoa.

Nggak adanya pendidikan multikulturalisme di Tadika Mesra

Sisi gelap terakhir dari keberagaman yang ada di Kampung Durian Runtuh adalah nggak adanya pendidikan multikulturalisme di TK Tadika Mesra. Sejak era Cikgu Jasmin hingga Cikgu Melati mengajar—bahkan sesekali Cikgu Besar turut mengajar—saya nggak pernah tuh melihat ada pengajaran tentang toleransi, hidup berdampingan dalam keberagaman, menghormati setiap perayaan agama lain, dan semacamnya.

Lantaran nggak ada pendidikan multikulturalisme itu, anak-anak jadi kurang menghormati identitas temannya yang berbeda. Misalnya saja dalam episode “Bulan Hantu”, Upin dan Ipin hampir saja memakan buah-buahan sesembahan pada hantu yang diletakkan di pinggir jalan atau di depan rumah. Untung saja Mei-Mei langsung ngomelin Upin Ipin atas tindakan mereka yang nggak menghormati kepercayaan orang Tionghoa.

Selaku penonton, saya dan kalian mungkin nggak menyadari adegan itu dan hanya melihatnya sebagai bentuk kekanak-kanakan. Padahal kalau mau dicermati, hal tersebut adalah bentuk sisi gelap dari keberagaman yang ada di masyarakat Kampung Durian Runtuh. Iya, masyarakat di sana saling bergaul, namun dalam beberapa kasus terdapat sikap-sikap intoleran antarperbedaan.

Dari sini kita dapat melihat bahwa di tengah tawa anak-anak Kampung Durian Runtuh, di tengah kepemimpinan otoriter Tok Dalang yang tak pernah lengser, di tengah hiruk pikuk perayaan agama, kehidupan keberagaman masyarakat Kampung Durian Runtuh memiliki sisi kelam. Bahkan cukup problematis yang justru ditonton oleh generasi muda kita.

Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Orang Paling Berpengaruh di Kampung Durian Runtuh Upin dan Ipin.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version