Sisi Gelap Bakpia Jogja yang Bikin Orang Mikir Dua Kali Sebelum Beli

Sisi Gelap Bakpia Jogja yang Bikin Orang Mikir Dua Kali Sebelum Beli

Sisi Gelap Bakpia Jogja yang Bikin Orang Mikir Dua Kali Sebelum Beli (Pinerineks via Wikimedia Commons)

Siapa yang nggak kenal bakpia. Oleh-oleh khas Jogja yang sudah masyhur seantero Indonesia raya ini memang wajib hukumnya dibeli sebagai oleh-oleh. Liburan ke Jogja rasanya belum lengkap kalau belum membeli bakpia sebagai buah tangan.

Dari sekian banyak merek bakpia di Jogja, mungkin yang paling terkenal dan terbesar adalah Bakpia Pathok 25 dan 75. Sebenarnya masih banyak lagi merek bakpia Jogja dengan berbagai macam variasi yang memikat pelanggan. Soal mana yang paling enak itu tergantung selera masing-masing dan bukan untuk diperdebatkan. Aneh saja kita terpecah karena selera. Terpecah karena politik saja sudah aneh.

Biasanya selain membeli langsung di outlet, wisatawan juga bisa membeli bakpia Jogja langsung di pabriknya. Sembari berbelanja bakpia, wisatawan juga bisa melihat pembuatan bakpia secara langsung di pabrik. Apabila kita datang ke pabrik bakpia terkenal seperti Bakpia Pathok 25 atau 75, kita mungkin merasa aman-aman saja menyantap bakpianya karena tahu bakpia tersebut dibuat dengan bersih dan higienis.

Akan tetapi coba bandingkan dengan merek bakpia lain yang nggak terlalu terkenal atau bahkan nggak bermerek. Apakah proses pembuatannya bersih dan higienis seperti yang dibayangkan? Inilah sisi lain atau bahkan bisa dibilang sisi gelap bakpia Jogja yang mungkin tak diketahui orang banyak.

Melihat langsung proses pembuatan bakpia Jogja

Saya pernah punya pengalaman dimintai tolong saudara jauh untuk mencari bakpia buat oleh-oleh. Tapi, saudara saya minta bakpia dari merek yang bahkan saya sendiri sebagai orang Jogja nggak tahu keberadaan merek tersebut. Ya sudah, namanya titipan dan amanah, saya tetap mencarinya di kawasan sentra bakpia di Jalan KS Tubun, Jogja.

Setelah mencari ke sana kemari, ternyata bakpia yang dimaksud saudara saya nyempil di permukiman padat penduduk di salah satu gang sempit. Memang di sana banyak rumah yang dijadikan rumah produksi bakpia skala kecil dan menengah. Namanya juga sentra bakpia, Lur. Akan tetapi saya baru tahu kalau ternyata satu rumah produksi bisa digunakan untuk memproduksi beberapa merek bakpia yang berbeda.

Akhirnya saya masuk ke salah satu rumah untuk memesan sekaligus mengintip proses produksi bakpia Jogja. Betapa terkejutnya saya begitu melihat proses pembuatan bakpia yang ternyata jauh dari bayangan saya.

Praktik seperti orang Prindavan yang selama ini viral dan jadi bahan olok-olok karena mengolah makanan dengan cenderung jorok itu nggak hanya hanya terjadi di India. Saya bisa berasumsi kalau fenomena tersebut bisa terjadi di berbagai belahan bumi lain termasuk Indonesia, termasuk Jogja, dalam hal ini termasuk dalam pembuatan bakpia.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan pihak tertentu dan menguntungkan pihak yang lain, ya. Ini adalah salah satu bentuk kepedulian dari seorang putra Jogja terhadap kota dan warganya yang dicintainya.

Baca halaman selanjutnya: Rumah produksi yang saya datangi jauh dari kata bersih…

Rumah produksi yang saya datangi jauh dari kata bersih

Secara singkat, begini deskripsi rumah produksi bakpia yang kebetulan saya temui. Di sana saya melihat ada beberapa orang yang punya tugas berbeda-beda. Ada beberapa laki-laki yang bertugas membuat adonan, mengisi isian bakpia, memanggang, dan ada juga beberapa perempuan yang mengemas bakpia yang sudah jadi.

Dari dalam rumah terdengar alunan musik koplo yang suara bass-nya sangat kencang, mungkin untuk mengusir kejenuhan para pekerja. Sampai di sini saya merasa pemandangan tersebut masih normal-normal saja.

Kebetulan di rumah produksi yang sederhana itu udara terasa cukup panas dan pengap. Mungkin karena sirkulasi udara kurang lancar dan juga dekat dengan oven untuk memanggang bakpia, ya.

Lantaran panas, para pekerja laki-laki melakukan tugas mereka dengan telanjang dada alias nggak pakai baju. Meski nggak pakai baju, jangan berharap mereka memakai sarung tangan atau masker. Kebetulan mereka mengolah adonan dan memasukkan isian bakpia Jogja secara manual dengan tangan. Jujur saja saya agak terkejut melihat pemandangan tersebut.

Masalah belum selesai. Ada lagi yang bikin saya geleng-geleng kepala. Terkadang para pekerja menyeka keringat atau menggaruk bagian tubuh mereka yang gatal dengan tangan yang sama digunakan untuk membuat bakpia. Yang bikin tambah combo lagi adalah di saat bersamaan, mereka bekerja sembari mengisap rokok di dalam ruangan tersebut.

Pembeli harus cermat 

Dari pengalaman saya tersebut, saya cuma bisa berpesan agar kita harus cermat memilih bakpia Jogja yang tepat. Sebab kalau nggak bisa gawat.

Saat ini tentu sudah banyak merek bakpia yang sadar dan paham soal kebersihan dan standardisasi proses produksi yang baik. Kita tentu nggak bisa memukul rata semua merek bakpia Jogja memiliki standardisasi proses produksi yang baik. Pengalaman yang saya lihat itu hanyalah oknum produsen yang nakal.

Saya percaya nggak semua produsen bakpia Jogja mengabaikan kebersihan. Ada juga beberapa merek yang memperhatikan betul proses pembuatan bakpia mereka bahkan tak segan “open kitchen” agar pembeli bisa melihat sendiri proses pembuatan bakpia yang mereka jual. Jadi, nggak perlu takut untuk mengonsumsi bakpia, ya.

Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 6 Dosa dan Larangan Saat Makan Bakpia.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version