Indonesia ini bisa dibilang dengan surga kuliner. Bukan hanya bagi orang Indonesia, tetapi juga dari manca negara. Apalagi bagi orang-orang yang menyukai cita rasa yang khas rempah-rempah. Pasti masih ingat dengan Ibu Tati, peserta MasterChef Australia yang mendapat pujian karena peyek ikan. Itu bisa menjadi salah satu bukti kalau kuliner Indonesia patut diperhitungkan.
Selain peyek kacang tadi, ada banyak makanan khas yang ada di Indonesia. Sebut saja gado-gado, nasi goreng dan rendang. Rendang bahkan dikategorikan sebagai makanan terenak di dunia versi CNN. Bagaimana tidak, cara memasaknya saja bisa dibilang tidak mudah. Harus dimasak dalam waktu yang cukup lama, sekitar kurang lebih 4 jam. Sehingga membuat bumbu masakannya meresap ke dalam daging. Barulah kita akan mendapatkan rendang yang sungguh nikmat. Walaupun jujur saja, sebenarnya saya belum pernah makan rendang.
Kami orang timur juga punya banyak makanan khas daerah timur. Kambuse, Katumbu, dan Kasuami adalah beberapa di antaranya. Mungkin beberapa dari kalian (atau bahkan semua) yang membaca tulisan ini tentu saja kalau dimuat asing dengan nama-nama makanan tersebut.
Yang paling unik—menurut saya—kami punya makanan khas yang namanya Sinonggi. Sinonggi ini bisa ditemukan di beberapa tempat di daerah timur Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Sinonggi itu adalah sebutannya di Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Selatan disebutnya kapurung. Di bagian paling timur Indonesia (Papua dan Maluku) juga ada. Orang-orang disana menyebutnya dengan papeda.
Sinonggi atau Kapurung atau Papeda ini (terserah kalian mau menyebutnya apa) adalah makanan yang terbuat dari sagu. Cara membuatnya sangat sederhana, tapi tidak semudah kelihatannya. Kalau tidak mahir, Sinonggi bisa jadi “prematur”. Cara membuatnya yaitu mengendapkan sagu dengan air dingin. Setelah itu air endapannya tadi dibuang. Siapkan sagu di wadah seperti loyang dengan air secukupnya, kemudian hanya perlu disiram dengan air panas sambil terus diaduk sampai mengental dan terbentuk seperti “lem”. Ada juga yang bilang bentuknya seperti—maaf—ingus. Makanya terkadang menjadi olok-olokan diantara kami.
“Ko suka makan ingus ka?”
“Tidak ada mi ko punya nasi ka sampe-sampe biar ingus ko makan?”
Saling ejek semacam itu. Tentu saja itu hanya becanda.
Kalau makan Sinonggi ini, tidak bisa dimakan langsung. Harus dingin. Harus pakai kuah. Biasanya sih pakai kuah ikan atau sayur. Saya juga kurang tau bisa dimakan dengan kuah indomie atau tidak. Tapi sepertinya aman-aman saja. Mahasiswa yang indekos bisa silahkan bereksperimen. Jangan coba-coba memakan Sinonggi secara langsung tanpa diberi kuah. Dijamin tidak bisa masuk tenggorokan. Bisa keselek nanti. Makan Sinonggi tanpa kuah itu seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan—tidak pernah lengkap. Raa mashook.
Banyak orang yang menyukai makanan ini. Kalau saya masuk kategori kadang-kadang. Kadang makan, kadang juga tidak. Tergantung mood. Bagi beberapa orang, Sinonggi mungkin sudah bisa menjadi makanan pokok alternatif menggantikan nasi. Jadi tidak perlu makan nasi lagi. Tapi tidak bagi saya. Saya tetap menjunjung tinggi budaya Indonesia. Belum makan nasi itu berarti belum makan.
Sinonggi biasanya disajikan saat kumpul keluarga atau teman—bikin acara makan kecil-kecilan. Secara umum, Sinonggi belum bisa menggantikan peran nasi sebagai makanan pokok karena Sinonggi tidak dibuat setiap hari. Bukan karena tidak enak, tapi karena spesial. Dibikin saat-saat tertentu saja. Hal-hal yang spesial itu memang terkadang datangnya tidak sering. Misalnya: bulan Ramadan—spesial karena ada setahun sekali, makan dengan lauk yang lengkap bagi mahasiswa kos-kosan—spesial karena tidak bisa setiap saat, dan teman yang cuma datang pas mau ngutang, ampas.
Beberapa rumah makan menyediakan Sinonggi sebagai salahsatu menu. Jadi kalau tiba-tiba ingin makan, yah bisa langsung pesan. Cara makan Sinonggi juga itu unik (sebenarnya nggak unik-unik amat). Karena “keunikannya”, terbukti ada beberapa orang yang tidak tau cara makannya.
Kalau mau makan Sinonggi, sebaiknya dipotong kecil-kecil terlebih dahulu. Kami biasanya lebih suka makan Sinonggi dengan tangan secara langsung. Tapi kalau mau menggunakan sendok juga boleh. Jangan sekali-kali mengunyah Sinonggi kalau kalian tidak mau jadi bahan tertawaan. Langsung ditelan saja tanpa dikunyah.
Kalau kalian nantinya punya kesempatan jalan-jalan di Indonesia bagian timur, boleh lah dicoba. Rasanya tidak kalah dengan rendang. Saya cukup yakin rendang dikategorikan sebagai makanan terenak di dunia karena mungkin CNN tidak melakukan survei terhadap Sinonggi. Kalau saja tim tim serveyor dari CNN pernah mencicipi Sinonggi, bisa jadi rendang akan menjadi makanan terenak kedua di dunia. Mungkin yhaaa. hehe