Seperti kebanyakan anak-anak, dulu ketika saya ditanya soal cita-cita tentu jawaban klise yang muncul. Saat itu, nggak mungkin saya bilang pengin jadi buruh pabrik. Dengan lantang dan seyakin-yakinnya saya menjawab ingin jadi tentara. Agaknya, bagi saya yang sering jadi sasaran perundungan, menjadi tentara adalah pilihan yang tepat sekali. Saya pikir, siapa yang berani merundung tentara?
Waktu terus bergulir, detik demi detik terlewati dengan sedikit pelajaran yang dipaksa untuk dipetik. Lamat-lamat saya paham, cita-cita untuk menjadi tentara harus terkubur saat mengetahui tinggi badan saya yang sangat jauh dari kriteria minimal untuk mengikuti seleksi.
Padahal, persiapan stamina sudah lumayan terlatih. Saya memilih sekolah di STM salah satu alasannya untuk melatih diri. Semasa di STM, fisik saya jadi cukup terlatih. Push-up tiap pagi karena telat, memanjat pagar setinggi tiga meter menjadi hal yang mudah. Pun, makian dari guru-guru karena nilai jeblok dan total kehadiran di sekolah bisa dihitung jari. Agaknya hal tersebut bisa melatih mental dan nggak kaget ketika mengikuti seleksi jadi tentara.
Akan tetapi, ya gitu, sebelum itu semua terwujud, tentu saja saya sudah sadar duluan. Tinggi badan kurang jadi faktor utama. Alhasil, cita-cita jadi tentara urung saya lakukan. Setelah harapan untuk mencapai cita-cita klise semasa kecil pupus, pilihan jatuh untuk jadi buruh pabrik. Sebuah pelampiasan yang jomplang, memang. Namun, dulu saya nggak ada wacana atau kepikiran buat kuliah, pilihan paling mafhum memang jadi buruh pabrik. Mikir pelajaran saja sudah wegah, apalagi disuruh kuliah, ya tambah wegah.
Jadilah sampai sekarang jadi buruh pabrik. Pekerjaan mulia yang membawa berkah bagi semua yang ikhlas menjalaninya. Saya sendiri menganggap menjadi buruh pabrik harusnya menjadi cita-cita setiap orang untuk menjalani kehidupan yang keras ini.
Kalau masih ragu, sini tak bisikin tentang keunggulan buruh pabrik. Cepat sini deh, tutup telinga kalau perlu pakai headset dulu, gih.
Pertama, buruh pabrik secara alami sudah dipaksa hidup minimalis sampai kempis-kempis. Ini adalah suatu hal yang tentu saja menjadi nilai positif dan penuh kebaikan ketika menjadi seorang buruh, kayak saya. Gaji UMK yang sungguh banyak sekali itu, pun kadang di bawahnya ketika di bulan tersebut ada banyak tanggal merah, sangat cukup untuk makan sederhana dengan lauk seadanya.
Nggak ada istilah selain minimalis untuk keseharian buruh, sebab gaji miris yang didapat hanya untuk makan keluarga di rumah. Terus yang belum punya rumah gimana? Entahlah….
Ya, bisa dihitung sendiri, gaji UMK daerah masing-masing untuk makan keluarga dan biaya-biaya tambahan lain yang masuk kebutuhan primer. Bukan kayak yang kerjaannya tidur pas rapat yang bisa memuaskan kebutuhan sekunder dan tersier. Hidup buruh pabrik selalu diselimuti kesederhanaan, nggak pernah sombong soal kekayaan, baik betul, toh, buruh itu.
Kedua, ahli mengatur uang gajian yang banyak tersebut. Menerima gaji UMK tiap bulan mengharuskan buruh pabrik harus pintar-pintar mengatur keuangan. Jadi jangan heran, seorang buruh bisa jago banget dalam manajemen keuangan. Lha gimana ya, jika salah sedikit saja me-manage uang, akhir bulan ujung-ujungnya kelaparan. Bahkan sebagian teman saya (yang buruh juga) menerima gaji di bawah UMK yang telah ditentukan. Oleh karena itu, saya, dan kawan buruh sejawat lainnya, akhirnya menjadi ahli pengatur keuangan… dengan terpaksa.
Mau makan daging-dagingan tiap hari menjadi hal yang tabu. Sebab, jika dituruti, bisa-bisa hanya makan sampai pertengahan bulan, setengahnya tentu saja mi instan sebagai pemuas perut hingga kenyang. Betapa terampil dan ahlinya kami mengatur uang segitu banyak, yang jika dihitung cukup buat makan saja. Perihal untuk melunasi cicilan motor, bayar tagihan listrik, dan nyicil bangun rumah yang tanahnya tanah warisan, ini menjadi rahasia Tuhan.
Ketiga, menjadi buruh sama dengan sehat. Jika ingin sehat terus dan mempunyai fisik yang nggak aleman, buruh adalah pilihan yang tepat. Ketika bekerja, buruh lebih dominan mengandalkan kekuatan fisik. Tak ayal, saya sebagai buruh akan terlatih punya fisik dan stamina yang kuat.
Saya ketika memeras keringat demi mendapat gaji UMK yang banyak itu diharuskan untuk berdiri kurang lebih delapan jam. Loh, kan, bisa duduk? Peraturan dari pabrik nggak membolehkan duduk, tuh. Duduk pun paling untuk sedikit melegakan dengkul yang kesemutan sambil jongkok-jongkok manis.
Di bagian lain, teman saya mempunyai kerjaan untuk mengangkat barang-barang dengan berat 30 kilogram selama jam kerja. Pun, teman saya yang lain, menyalurkan cita-cita yang pupus dengan menjadi teknisi listrik di pabrik. Doi kudu manjat-manjat untuk mengatasi kerusakan perihal kelistrikan. Cita-citanya jadi atlet panjat tebing yang gagal sedikit tersalurkan lantas mempunyai tangan dan kaki yang rosa!
Jadi buruh enaknya memang kebangetan, loh! Kadang dianggap sebelah mata karena kerjaannya yang lebih dominan mengandalkan fisik. Pokoknya apa-apa yang menggunakan fisik dan sedikit berpikir, dianggap biasa saja. Lantas, pandangan tersebut membuat buruh pabrik kayak saya jadi lebih kuat mental dan lebih giat lagi memeras keringat meski gaji mentok UMK.
Nggak usah ragu jadi buruh ketika sudah lulus SMA sederajat. Ini adalah suatu hal yang membanggakan setidaknya bagi diri sendiri, bukan di mata calon mertua.
BACA JUGA Kita Harus Menerima Keberadaan Jamet sebagai Subkultur Buruh Lepas Indonesia dan tulisan Budi lainnya.