Dibilang nggak cinta kampung halaman itu dosa sosial, tapi gimana ya, saya nggak bisa pura-pura bangga sama Sidoarjo. Kota yang katanya “gerbangnya Surabaya” ini rasanya lebih kayak tempat singgah ketimbang tempat tinggal. Apalagi kalau kamu hidup di sekitar Gedangan, Waru, atau Candi. Kawasan-kawasan itu setiap hari bikin dada sesak karena macet, bising, dan berantakan.
Macetnya Sidoarjo nggak main-main, tapi solusinya cuma klaksonan
Setiap hari, jalanan di Gedangan dan sekitarnya macet parah. Dari arah Surabaya ke Sidoarjo (atau sebaliknya), selalu saja penuh kendaraan. Mau berangkat pagi, siang, malam, selalu padat.
Tetapi anehnya, kayak nggak ada upaya serius buat memperbaiki hal ini. Trotoarnya nggak layak dilalui pejalan kaki, zebra cross-nya nggak kelihatan, bahkan parahnya kadang lampu merah cuma jadi pajangan.
Warga lokal? Ya udah biasa. Klakson jadi solusi, bukan aturan. Bahkan kadang kamu bisa melihat pengendara yang nyelonong lawan arah kayak lagi uji nyali di sirkuit liar.
Tata kotanya ambyar
Oke, saya akui Sidoarjo berkembang. Mall makin banyak, perumahan makin menjamur, dan kafe estetik mulai menjajah pinggiran kota. Tetapi tumbuhnya kota ini kayak tanaman liar yang nggak ditata. Nggak diarahkan dengan baik.
Jalan kecil makin sempit karena parkir liar. Kawasan hunian makin jauh dari pusat aktivitas. Ruang terbuka hijau? Duh, nyarinya harus pakai Google Maps.
Sidoarjo bukan nggak punya potensi, tapi kadang pemerintah daerahnya kayak sibuk sendiri. Menambah bangunan, tapi lupa aksesnya. Bikin taman, tapi nggak ada tempat duduknya. Bangun jalan, tapi saluran airnya bikin genangan.
Budaya gotong royong cuma tinggal cerita
Salah satu hal yang bikin saya sedih adalah Sidoarjo sekarang sudah mulai kehilangan jiwanya. Dulu, tiap RT aktif. Kerja bakti ramai, ronda malam jalan.
Sekarang? Banyak warga tinggal di perumahan tertutup, jarang sapa tetangga, bahkan pengajian pun cuma disebar lewat WhatsApp itu pun banyak yang di-read doang.
Gotong royong sudah digantikan sama bayar iuran. Kepekaan sosial? Lama-lama makin luntur di kota ini. Mungkin ini problem banyak kota satelit di Indonesia, tapi tetap aja bikin hati getir.
Sidoarjo malas dandan, tapi ingin dipuji
Kalau boleh saya ibaratkan, Sidoarjo itu kayak orang yang datang ke pesta pakai sendal jepit, tapi ngarep difoto paling depan. Penginnya disebut kota penyangga Surabaya, tapi nggak siap secara infrastruktur. Mau dipandang punya identitas, tapi malah jual diri lewat embel-embel “kota udang” atau “lumpur Lapindo” yang ironisnya bukan prestasi, melainkan tragedi.
Jujur, kadang saya bingung sendiri. Mau bangga sama apanya?
Tetapi bukan berarti saya benci…
Tentu saya menulis ini semua bukan berarti saya membenci Sidoarjo. Justru karena cinta, saya berani mengkritik. Sidoarjo butuh dibenahi, bukan cuma dicintai secara buta.
Banyak warga seperti saya yang ingin membanggakan daerah ini. Tetapi sampai sekarang kami belum diberi alasan yang cukup kuat untuk itu.
Jadi, kalau ada yang bertanya kenapa saya nggak pernah bangga sama Sidoarjo, jawabannya sederhana. Karena saya masih menunggu saat di mana kota ini benar-benar layak dibanggakan. Bukan cuma karena lokasinya, tetapi karena kualitas hidup warganya.
Penulis: Caraka Wahyu
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Alasan Perempatan Gedangan Sidoarjo Selalu Macet, Salah Satunya Budaya Berkendara yang Amburadul.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















