Alkisah ada seorang gadis desa merantau ke kota untuk mendapat gelar sarjana. Tiba di suatu masa, si gadis yang ilmu agamanya pas-pasan merasakan gejolak yang membara dalam dada. “Aku harus berubah!” batinnya. Tanpa ragu, si gadis bergegas menyabet gawainya, apalagi kalau bukan mau cari ilmu agama.
Mulailah dia mencari hukum anu, hukum itu. Lalu tak menunggu lama, bak power rangers, si gadis berubah seketika. Jadilah ia ramai diperbincangkan tetangga dan sanak saudara, Pakdhe-nya bertanya “dia nggak ikut aliran sesat to?”. Ya maklumlah kota perantauannya sempat ramai diperbincangkan soal aliran radikal yang dianut sekelompok penduduknya. Pantas saja sang Pakdhe curiga.
Nggak mau menutupi, sebenarnya itu kisah saya sendiri haha. Yap! Cerita lama yang saya simpan hingga saya memutuskan ingin berbagi. Tidak memilih yang lain, saya langsung menuju Terminal Mojok untuk menuliskankannya. Ya mau gimana, lha wong memang Mojok yang paling nyaman untuk bernyinyir ria.
Jadi begini, cerita-cerita macam begitu nyatanya tidak saya seorang diri yang alami. Buanyak! Bisa dibilang, rata-rata memang begitu. Sebenarnya bukan pakaian yang jadi permasalahannya. Masalahnya lebih ke soal pemahaman si empunya cerita.
Sebagaimana lazimnya penganut setia slogan “Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah” saya sempat ikut-ikutan menyalahkan slametan lho. Bedanya, saya masih ikut menikmati sego berkatan. Lha namanya juga makanan hehehe.
Tidak puas di situ, saya juga ikut menyalahkan Qunut, nggak mau baca Usholli sampai mengharamkan musik. Gimana nggak ikutan, lha memang itu yang tertulis di situs-situs keagamaan yang saya temui. Percaya atau harus percaya, situs-situs macam itu yang ada di barisan atas di Google. Barangkali itu juga yang menyebabkan banyak kawula muda, ada juga yang tua ikut aliran ini. Biar cetho langsung sebut saja Salafi-Wahabi.
Kalau dipikir-pikir, slogan “Kembali pada Al Qur’an dan Sunnah” memang sekilas nampak begitu manis. Orang yang ilmu agamanya minim jelas kepincut, contohnya nggak usah jauh-jauh, saya sendiri!
Memang sudah jadi kesepakatan, kalau kitab suci Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dan dalil hukum yang musti diagungkan. Dalam menjalani hidup pun, kita berpedoman pada keduanya kan? Tapi apa iya orang awam seperti saya yang sedari SD langganan sekolah Negeri bisa langsung kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah hanya dengan modal membaca terjemahannya? Ya nggak to!
Coba bayangkan, kalau slogan ini dikoar-koarkan secara membabi buta ke seluruh penjuru dunia. Mau jadi apa kehidupan kita? Bayangkan kalau setiap ada persoalan, orang awam langsung merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits lalu mengamalkannya. Karena tidak menguasai bahasa Arab, langsung lah ia mengamalkan Al-Qur’an dan Hadits sesuai dengan teks terjemahannya. Wow!
Sebagai contoh misalnya, ada laki-laki awam yang nggak kaya dan nggak juga rupawan ngebet pengen kawin lagi. Terus dia langsung buka Al-Qur’an dan membaca ayat yang membahas tentang poligami. Disebutkan bahwa laki-laki boleh memiliki lebih dari satu istri. Jelas bersorak-sorai lah dia. Langsung gas blar menghampiri wanita muda selingkuhanya lalu ke KUA.
Eh sebagaimana pepatah sepandai-pandainya bangkai disimpan, akan tercium baunya juga. Si laki-laki ketahuan punya istri kedua. Gelas, piring, manci, sampai TV dibanting sama istri pertama. Lalu si laki-laki dengan entengnya berkata “Jangan marah bunda, poligami itu sunnah. Coba bunda baca Al-Qur’an deh”. Karena sang istri sama-sama awamnya, dia nerimo begitu saja. Akhirnya istri pertama hidup makan ati sampai akhir hayatnya.
Itu salah satu bahaya slogan “Kembali pada Al Qur’an dan Sunnah” yang dibangga-banggakan penganutnya. Apa pun perilaku bahkan bisnis dan dagangan mereka yang paling sunnah deh. Selain memakai celana cingkrang sunnah misal juga warung es cendol dawet seger sunnah. Tapi jangan ngarep ada ‘tak gintang-gintang’ nya soalnya musik haram.
Nah karena mereka yang paling sunnah maka di luar aliran mereka adalah ahlul bid’ah. Tahlilan bid’ah, ziarah kubur bid’ah, maulidan bid’ah, sholawatan bid’ah dan tentunya menurut mereka pelaku bid’ah pantas masuk neraka.
Di situ pentingnya memiliki guru yang ilmunya bersambung sanadnya kepada Rasulullah SAW. Tidak modal ngaji di internet saja. Gurulah yang akan menunjukkan pada kitab-kitab tafsir dan fiqih para ‘Ulama. Bukankah kitab-kitab fiqih para ‘ulama juga merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi? Nggak usah sok yes deh, mau menafsiri ayat Al-Qur’an atau hadits pakai akal sendiri.
Misal di contoh soal poligami tadi, hukum poligami bisa jadi sunnah, makruh, bahkan haram. Nah soal itu, ‘Ulama telah menjelaskannya. Toh hukum asal poligami itu boleh dalam Islam, bukan sunah. Jadi para laki-laki nggak usah ngoyo ngumpulin duit buat ikut seminar poligami ya!
Nah kalau soal kenapa saya berhenti menekuni aliran berslogan “Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah”, karena saya rasa kok hidup saya jadi kaku amat. Nggak ada asyik-asyiknya gitu. Mana saya jadi gampang nyalahin orang, ini sesat itu sesat, kalau gitu saya jadi ngerasa paling bener dong?
Faktor nggak betah dan tentunya atas petunjuk dari Allah SWT, kembalilah saya pada Ahlussunnah wal jama’ah an-Nahdliyah. Kembali pada organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar yang dianut mbah saya, bapak saya, ibu saya, pakdhe saya, paklik saya, dan seluruh keluarga besar dan tetangga saya. Akhirnya saya kembali jadi orang yang aliran Salafi-Wahabi sebut sebagai ahlul bid’ah.
Ternyata jadi ahli bid’ah lebih menyenangkan lho. Eh tapi jangan salah, meski ahli bid’ah, saya ahli bid’ah yang baik. Sebagaimana kaidah Imam Syafi’i bahwa bid’ah itu ada dua, bisa jadi baik, juga bisa saja sesat. Nggak seperti kata Salafi-Wahabi kalau semua bid’ah itu sesat. Setelah menjadi pelaku bid’ah yang baik atau dikenal juga dengan bid’ah hasanah, hidup saya jadi makin harmonis dan berwarna. Ah beruntungnya saya.
BACA JUGA Pengalaman Saya Hijrah sampai Berniqab dan Alasan Berhenti Menggunakannya dan tulisan Anggi Purnamasari Yulianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.