Sesat Pikir Pertanyaan “Apa yang Sudah Kamu Lakukan untuk Negara?”

nasionalisme, apa yang sudah kamu lakukan untuk negara

Sesat Pikir Pertanyaan “Apa yang Sudah Kamu Lakukan untuk Negara?”

Salah satu—untuk tidak menyebut satu-satunya—kalimat yang saya ingat dari LKS mata pelajaran PKN adalah quote legendaris John. F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan untukmu, tetapi tanyakanlah sumbangsih apa yang telah kamu berikan pada negara.”

Kalimat mutiara itu terasa indah sekali, dalam, dan memberikan semacam energi yang menggelora. Tiba-tiba saya dirasuki perasaan mengharu biru, semacam nasionalisme yang terpatri kuat. Dada saya dipenuhi mimpi-mimpi; saya ingin berkontribusi banyak bagi negeri tercinta.

Tapi bo’ong

Enggak, deng… itu dulu beneran saya rasakan, setidaknya sebelum mengenal George Orwell yang mengatakan dalam salah satu esainya bahwa nasionalisme (sering kali) hanyalah fasisme dengan nama berbeda—mereka sama-sama menghajar siapa pun yang tak sependapat dengan negara.

Saya kira virus nasionalisme ini tahun-tahun belakangan amat menjakiti sebagian dari kita; mereka merasa paling nasionalis, merasa punya definisi final, dan karenanya tak bisa diganggu gugat oleh suara lain. Umumnya orang-orang seperti ini amat partisan—terutama kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Kita bisa melihat dari “aktivis-aktivis” yang sering menodong para pengritik dengan sepenggal quote Kennedy itu—entah beneran terinspirasi atau enggak.

“Hayo, apa yang sudah kamu lakukan untuk negara?’

“Memang kamu siapa kok kritik pemerintah? Kamu sudah ngapain?”

Sa ae lu kadrun! Dasar penuh kebencian!”

Hellooooo…. Sekate-kate ya kalau ngomong. Sejak kapan warga negara tak boleh mengkritik pemerintah, akal sehat mana yang mampu menerjemahkan bahwa orang yang mengritik auto kadrun yang notabene pada mulanya diatribusikan untuk lawan politik praktis?

Ini adalah sesat pikir yang amat nyata. Quote Kennedy benar-benar jadi sampah.

Begini lho, dik, membungkam orang yang protes dan meminta tanggung jawab pemerintah dengan “apa yang sudah kamu berikan untuk negara” itu secara tak langsung menegasikan fungsi negara sebagai institusi penegak keadilan-kesejahteraan. Lha wong rakyat minta haknya dipenuhi kok enggak boleh. Mau jadi apa?

Dari dulu, sejak Bung Karno dan kawan-kawan merumuskan dasar republik ini, yang diberikan amanah untuk menciptakan kehidupan sejahtera secara sistemik ya negara (pemerintah), bukan rakyat sipil.

Rakyat hanya diminta menjalankan kewajiban seperti patuh membayar pajak—dan kita telah melakukannya meskipun kadang-kadang berat.

Lha masa sudah bayar pajak tapi nggak boleh protes? Katanya rakyat tuan sebenarnya para pejabat?

Makanya normal-normal saja rakyat menuntut ini dan itu, meminta pemerintah menunaikan amanah di pundak masing-masing dalam berbagai bidang. Ambillah contoh dalam penanganan Covid-19: wajar apabila rakyat mengeluhkan penanganan yang terkesan plin-plan dan tak serius—lihat saja perselisihan definisi dalam lingkungan istana, buka-tutup akses transportasi yang tidak (terbahasakan) dengan jelas, dan sebagainya.

Oke, oke.. kesejahteraan memang tak bisa dibebankan hanya pada negara—siapa orang bodoh yang beranggapan begini, bung?

Negara butuh dukungan dari sipil, juga segala gerakan akar rumput yang terkoordinasi dengan baik. Namun lagi-lagi, menggunakan “apa yang sudah kamu lakukan untuk negara” untuk membungkam suara kritis itu tetap sesat pikir.

Gini, lho: semisal rakyat punya kesadaran dan kemauan untuk maju tetapi pemerintah tidak suportif ya sama saja, nggak bisa. Pemerintah punya kendali atas begitu banyak hal secara resmi, sementara rakyat tidak. Menyinggung Covid-19 lagi, misalnya, tanggung jawab pemutusan rantai infeksi memang tanggung jawab bersama. Namun siapa yang punya kekuatan untuk menutup pelabuhan dan bandara, melarang kerumunan di pusat-pusat hiburan kelas menengah ngehek, dan mengalokasi anggaran belanja untuk bantuan sosial dalam skala besar?

Plisss… yang bisa ngelakuin itu cuma (pejabat) negara. Rakyat biasa nggak bisa.

Terkadang saya sedih sekali melihat banyak orang (atau bot) masih gagal paham membedakan suara kritis dan suara kebencian. Hanya karena mengkritik seseorang, bukan berarti di jidat orang tersebut ada cap haram, bukan berarti ia halal “dibunuh”.

Dalam artikel terakhir saya yang dimuat Terminal Mojok beberapa waktu lalu, yang menyinggung Abu Janda dan Denny Siregar, banyak sekali orang yang langsung memvonis saya sebagai kadrun lah, peminum kencing onta lah, atau sebatas warga negara tak tahu terima kasih dan karenanya pantas ditendang ke gurun antah berantah. Padahal kala itu saya juga menyinggung Neno Warisman dan orang-orang bertipe sama—yang mengajarkan kritik kepada “siapa”, bukan kepada “apa” alias nilai.

Saya bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar membaca?

Tahun-tahun belakangan banyak asumsi dari beberapa penelitian bahwa Indonesia miskin literasi, bahwa minat baca kita amat terbelakang. Saya sesungguhnya tak ingin menerima itu, lebih-lebih karena satu-dua indikatornya disandarkan pada akses ke teknologi-teknologi canggih secara meluruh. Indonesia punya nilai-nilai kritis sendiri dan tak bisa diukur dengan alat sembarangan, pikir saya, tetapi melihat orang-orang itu, saya jadi amat ragu.

Sesat pikir tentang kontribusi pada negara ini barangkali lagi-lagi merupakan pangkal corak dinamika politik yang mengkhawatirkan selama beberapa tahun. Ia telah mengobrak-abrik tatanan sosial dan kerangka berpikir; ia (turut serta) melahirkan nasionalis-nasionalis bodong yang gemar menunjuk-nunjuk saudara sendiri—sama seperti kelompok fundamentalis cerewet yang kerap kali dijadikan kambing hitam.

John F. Kennedy telah hilang dari muka bumi, kecuali bagi konspirator yang menganggap ia masih hidup karena diculik alien.

Di dalam kuburan, ia barangkali sedang bingung dan curhat pada dinding.

Quote yang susah-susah kubikin kok dipakai sembarangan buat bungkam orang. Asssuuuuuuuuuu!!!!”

BACA JUGA Kok Bisa sih Ada Orang yang Percaya Abu Janda dan Denny Siregar? atau tulisan Ahmad Abu Rifai lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version