Serial Dokumenter Kematian Elisa Lam Menunjukkan Tingkat Kepo Netizen yang Keterlaluan

Serial Dokumenter Kematian Elisa Lam Menunjukkan Tingkat Kepo Netizen bisa Berbuah Keji terminal mojok.co

Serial Dokumenter Kematian Elisa Lam Menunjukkan Tingkat Kepo Netizen bisa Berbuah Keji terminal mojok.co

Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi dan saya masih susah tidur meski sudah menyantap sepiring mi goreng ala Korea lengkap dengan acar buatan sendiri karena tak bisa membuat kimchi. Saya pun memutuskan untuk membuka Netflix lewat ponsel saya, inilah awal mula saya menemukan serial dokumenter tentang kematian Elisa Lam. Seperti ibu-ibu yang sering ketiduran saat menonton sinetron, saya juga sering ketiduran menonton serial apa pun. 

Sempat ingin menonton drakor baru yang sedang trending, yaitu Vincenzo, tapi saat menelusuri layar, jari saya malah terhenti pada serial dokumenter berjudul Crime Scene: The Vanishing at the Cecil Hotel. Jiwa detektif saya berkata, saya harus menontonnya saat itu juga. 

Serial dokumenter ini ternyata gagal membuat saya ketiduran sampai pulas. Sekalipun sesekali mak tekluk, saya tetap melanjutkan menontonnya hingga selesai pada sekitar pukul tujuh pagi. Setiap episodenya berdurasi antara 54 hingga 58 menit, artinya durasi ketiduran saya hanya satu jam. Harga yang pantas saya bayar untuk sebuah serial dokumenter sebagus ini. 

Episode pertama diawali dengan hilangnya  perempuan berusia 21 tahun bernama Elisa Lam di Hotel Cecil, Los Angeles. Selanjutnya diketahui bahwa Elisa Lam bukan hilang, tapi mati. Mayatnya ditemukan dalam tandon air Hotel Cecil, setelah sebelumnya para tamu mengeluhkan bau dan warna air. 

Sungguh tak hanya tragis, tapi juga memilukan dan menjijikkan saat bagian keluhan para tamu hotel itu diceritakan. Kejadian itu terjadi pada 2013, saat itu, Hotel Cecil ini serupa dengan hotel kelas melati, bahkan menurut saya lebih buruk lagi. Tipikal hotel yang terlihat mewah di lobi hingga meja resepsionis, namun payah karena tak terawat dan bau dalam kamar dan lorong-lorongnya. 

Tak salah, hotel ini dianggap sebagai hotel angker yang penuh kutukan. Bukan hanya nama Elisa Lam yang mengalami kematian tragis di sana dan difilmkan oleh Joe Berlinger dengan jenius, ada juga kisah tentang Elizabeth Short (Black Dahlia) yang juga difilmkan oleh Ryan Murphy and Brad Falchuk dalam American Horror Story season 5. 

Tentu saja apa yang jadi sudut pandang dalam kedua serial sungguh berbeda, yang satu menelisik sisi horor dan yang satu lagi justru menarik isu kesehatan mental sebagai penyebab kutukan pada Hotel Cecil. Joe Berlinger menampilkan sudut pandang yang lebih kelam dari sekadar misteri penyebab kematian Elisa Lam. 

Penonton disuguhi dengan paparan para tokoh yang terlibat dalam investigasi kematian Elisa Lam, mulai dari manajer hotel saat itu, penyidik, penemu mayat hingga para youtuber yang berperan besar dalam memviralkan video saat Elisa Lam berperilaku ganjil di lift setelah video tersebut dirilis oleh pihak kepolisian. 

Saat video itu ditampilkan, disebutkan bahwa Elisa Lam adalah penderita bipolar. Pikiran saya bagaikan mendapat kesimpulan bahkan sebelum berhasil menyelesaikan serial itu. Perasaan saya sungguh tak karuan. Bukan karena saya penderita bipolar dan merasa relate atau karena saya teringat akan Marshanda yang juga pernah menghebohkan Indonesia ketika publik akhirnya tahu bahwa ia adalah seorang dengan bipolar, tapi karena saya punya sahabat seorang ibu dengan bipolar. Meski, tipe bipolarnya berbeda dengan Elisa Lam yang didiagnosa menderita bipolar tipe 1. 

Alih-alih berpikir bahwa Elisa Lam sedang dikuntit atau berpikir bahwa lift hotel tersebut beraura mistis, saya bertanya-tanya, apakah Elisa Lam rutin meminum obatnya? Saya sadar, pemikiran saya ini terjadi karena basis pengetahuan soal bipolar yang pernah sahabat saya bagikan. Bukan karena banyaknya postingan soal bipolar yang kadang justru membuat saya bertanya-tanya, apakah jika berciri moody berat, kadang betah tidak tidur, di saat lain justru tidur terus, kadang nafsu menulis banyak sekali, kadang mak pet sama sekali tidak bisa produktif, lantas saya ini autobipolar? Ya, tentu saja tidak. 

Polah saya mirip dengan beberapa oknum remaja yang masih meraba-raba apakah dirinya menderita gangguan mental atau sebenarnya hanya bingung saja dengan segala perubahan yang dijalani sebelum masuk fase dewasa (yang membosankan) ya? Cocoklogi dan mendiagnosa diri dengan hanya melahap postingan infografis soal kesehatan mental yang sebaiknya nggak dilakukan oleh siapa pun. Hehehe. Bukan mau nyindir lho, ini. Fakta aja. 

Setelah tuntas menonton, air mata saya tumpah di bantal, serius, bukan iler. Segera saya seka, kemudian saya usap ponsel saya dan menghubungi sahabat saya yang beberapa hari tak terlihat online. “Mbak, kamu baik-baik aja, kan?” Hampir satu jam pesan saya belum juga dibalas, maka saya mengirim lagi, “Baek-baek ya Mbak, obatmu diminum nggak?” Ia pun membalas saya, tampaknya ia tahu saya khawatir. Lalu, saya memberitahu kalau saya habis menonton film yang membuat saya teringat tentangnya. 

Meski begitu, sampai hari ini, saya belum beritahukan judul film yang saya lihat. Saya takut, film ini dapat memicu ketidakstabilan moodnya. Jika kamu punya teman yang juga mengalami masalah kesehatan mental, sempatkan diri untuk menyapanya, ya. Kita tidak ingin mendengar kisah pilu Elisa Lam, yang terpaksa berada dalam kesendirian saat serangan halusinasi datang terjadi pada kawan dekat kita. 

Selesai menonton film tersebut, saya tak bisa segera move on. Terpikir tentang tokoh lain yang tak menjadi bagian utama film, Pablo C. Vergara. Saat ini, dia adalah seorang pembuat film. Dalam serial, diceritakan bahwa dulu ia adalah musisi musik metal. Ia adalah tokoh lain yang menjadi korban dari “kutukan” Hotel Cecil secara tidak langsung. Ia sempat menjadi tertuduh atas kematian Elisa Lam. Tuduhan keji yang dilontarkan kepadanya oleh warganet yang kala itu menjadi detektif sekaligus hakim digital. 

Menuduh seseorang sebagai pembunuh, memviralkan dan membuat opini-opini tentang seseorang hanya berbekal dari investigasi digital sesungguhnya adalah perbuatan keji, seperti yang terjadi pada Pablo yang diceritakan sempat pula berpikir untuk bunuh diri akibat tekanan yang didapatkan meski sudah terbukti bahwa ia tidak bersalah. 

Kesadaran akan pentingnya perihal kesehatan mental dapat menjadi benteng buat kita, para aktivis media digital dalam berperilaku. Perihal kesehatan mental seharusnya ada dalam pembekalan pranikah. Seperti halnya soal pengetahuan seksual, perencanaan berkeluarga, kehamilan, ASI, tumbuh kembang anak dan finansial, pengetahuan tentang kesehatan mental juga sangat penting menjadi pengetahuan umum yang dimiliki oleh setiap orang. 

Dari wajah ibu Elisa Lam yang ditampilkan dalam serial itu, saya tahu, betapa menyesalnya ia yang tak bisa ada di sana menemani anaknya saat serangan halusinasi itu datang. Bagian ini juga menghentikan jiwa detektif saya yang ingin menelusuri lebih jauh soal bagaimana kondisi keluarga Lam sekarang, bagaimana Sarah Lam setelah kematian kakaknya. Ah, sudahlah. Saya pun harus berhenti main detektif-detektifan sebagai wujud sikap menghormati kematian Elisa Lam yang sudah membuat publik mengenal lebih jauh tentang bipolar. 

BACA JUGA Rasanya Didiagnosis Menderita Bipolar dan Mendengar Tanggapan Orang yang Ora Mashok dan tulisan Butet Rachmawati Sailenta Marpaung lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version