Sergio Ramos: Pemain, Prajurit, dan Pemimpin

Sergio Ramos Real madrid mojok

Sergio Ramos Real madrid mojok

Singa Nemea adalah makhluk mitos yang dibunuh oleh Hercules (atau Heracles, terserah yang mana) untuk menyelesaikan 12 Tugas yang diberikan kepadanya. Singa Nemea tidak bisa dibunuh dengan senjata umat manusia. Seperti yang kita tahu, Hercules berhasil membunuhnya dengan merobek kulitnya dengan cakar singa itu sendiri.

Tapi kita tidak sedang membicarakan 12 tugas Hercules. Kita akan membicarakan Sergio Ramos.

Ketika menyebutkan nama Sergio Ramos, orang-orang akan mengulas kembali kenangan buruk yang tersimpan di laci otak. Mereka akan mengingat bagaimana Ramos “membanting” Salah di final Liga Champions. Liverpool gagal juara, Madrid meraih gelar ke 13, dan Mesir harus kehilangan pemain terbaiknya di Piala Dunia 2018.

Saat itu juga orang mengutuk Ramos sebagai orang biadab. Mereka menaruh nama Sergio Ramos sejajar dengan Mussolini, Hitler, Rasputin, atau siapa pun yang dianggap biadab. Bahkan teman saya dengan cukup bodoh mengatakan bahwa Ramos pantas jadi musuh Islam. Tenang, dia merevisi kebodohannya setelah 2 gelas es teh saya habiskan untuk memaki dia.

Sepertinya dalam benak manusia pada saat itu adalah sepak bola seharusnya dimainkan secara anggun. Permainan penuh dengan senyuman, tak ada tekel, dan kekalahan akan dimaknai dengan dalam. Kekalahan dan kemenangan tak lagi penting, yang penting adalah sepak bola dimainkan dengan penuh kesantunan.

Mereka sepertinya lupa bahwa dalam sepak bola, pertaruhan yang terjadi tidak hanya tentang siapa yang berhak mengangkat barang dari perak (atau emas). Harga diri, kebanggaan hidup, kenangan, dan bahkan nyawa, adalah hal yang dipertaruhkan dalam 90 menit bola bergulir. Sergio Ramos paham itu, dan sepertinya memang dia diciptakan untuk itu.

Sergio Ramos tidak menjadi kapten semata karena Casillas pergi. Jika berbicara sumbangsih, Marcelo dan Ronaldo adalah orang yang paling pantas. Jika berbicara karisma, saya pikir Kroos, Varane, atau Casemiro punya hal yang sama. Jawaban paling jelas adalah Ramos menjadi kapten karena dia adalah representasi intensitas dan harga diri yang menggema di penjuru Bernabeu.

Saya tak mau berbicara tentang “92:48”. Cerita itu terlalu megah dan lama-lama muak juga didengar. Saya pikir Ramos jauh lebih besar dibanding satu gol yang memanjangkan nafas Madrid. Meski itu adalah salah satu contoh tentang representasi intensitas, Ramos membuat hal yang kurang lebih sama di tiap pertandingan.

Sergio Ramos mungkin bukan bek dengan kecepatan tinggi atau menjadi personifikasi tembok tak tertembus macam Nesta dan Maldini. Tapi ketika Kroos mulai bingung melihat celah, Ronaldo yang berteriak ke langit, dan Marcelo telat untuk turun, Ramos berdiri dengan tegak. Gestur tubuhnya tak pernah menyiratkan bahwa dia ikut menyerah. Kalau saya boleh berlebihan, Ramos adalah perwujudan kesombongan dan kedigdayaan Real Madrid.

Ramos adalah bek yang membuat 10 kesalahan penting dalam satu musim dan bisa mencetak 5 kartu merah dalam setengah musim. Tapi dia bisa membuat keputusan-keputusan penting yang memberi Real Madrid kemenangan, dan tentu saja, gelar.

Kekuatan Ramos yang jelas terlihat adalah ekplosivitas yang dia miliki. Dia bisa menutup pergerakan striker lawan, dia bisa menutup banyak ruang hanya dengan penempatan, dan dia tidak takut bermain kotor. Say what you want, tapi pelanggaran yang dia lakukan kepada Mohamed Salah adalah salah satu langkah paling jenius yang dia lakukan.

Karena dalam peperangan, tidak ada pertempuran yang bersih.

Orang sering luput melihat satu fakta bahwa Sergio Ramos sering menjaga pertahanan tanpa cover di depan. Ramos sering berdiri sendiri tanpa bantuan Marcelo dan Dani ketika menatap serangan. Ramos melakukannya hampir sepanjang karirnya, karena baru musim ini Real Madrid punya sistem pertahanan kolektif.

Dan selanjutnya adalah hal terbaik yang dimiliki Ramos

Ramos kerap melakukan sprint untuk membantu serangan balik yang dibangun Real Madrid. Karena Benzema sering turun untuk membangun serangan, besar kemungkinan kotak penalti akan kosong tanpa pemain Madrid. Ramos melakukan sprint untuk mengisi ruang kosong dan melakukan sundulan. Selain itu, Ramos ikut naik saat Real Madrid mendapat bola mati. Ramos kerap mencatatkan skor lewat bola mati dan praktis membuat dia adalah salah satu ancaman untuk lawan.

Musim ini saja, Ramos sudah mencetak 10 gol dari 99 gol yang dia sarangkan sepanjang karir. Raihan gol tersebut masih kalah dibanding Fernando Hierro dan Ronald Koeman. Tapi sepanjang hidupnya, Ramos selalu menjadi bek, berbeda dengan Hierro dan Koeman.

Kemampuan bertahan dan menyerang yang dimiliki serta kegigihannya dalam bermain adalah alasan jelas kenapa Ramos—walau layak diperdebatkan—pantas menyandang predikat bek terbaik di dunia. Kehadirannya di lapangan memberi para pemain ketenangan dan semangat untuk menang. Di Real Madrid, menang saja tidak cukup, kau harus juara. Bahkan, juara saja tidak cukup, kau harus bertarung dengan berdarah-darah. Ramos, meski ini terkesan amat puitis, adalah perwujudan spirit yang menggema di penjuru Bernabeu.

Florentino Perez, orang tua dengan kekuatan tak terbantahkan di Madrid pun memberikan jaminan kepada Ramos. Dia tidak akan didepak, Ramos bebas menentukan nasibnya sendiri di Bernabeu. Perez, yang bisa dan akan menendang pemain tidak peduli seberapa besar jasanya, memberi kemerdekaan untuk Ramos.

Menurut saya sih, sudah sewajarnya Perez memberikan hal itu. Ramos adalah salah satu alasan kenapa Real Madrid berhasil meraih juara La Liga meski bukan dengan tim terbaiknya.

Ketika Ramos berdiri di lapangan, sorot matanya yang tajam seakan memberi satu komando ke seluruh rekan timnya: berjuanglah. Di saat yang bersamaan, dia memberikan pesan kepada lawan untuk berhati-hati, karena mereka tidak akan menang dengan mudah.

Sergio Ramos, bagi saya, adalah singa Nemea itu sendiri. Hanya Hercules dan cakarnya sendiri yang bisa membunuhnya. Dan hingga kini, Hercules belum nampak batang hidungnya.

Sumber gambar: Twitter Sergio Ramos.

BACA JUGA Hanya untuk Dua Pertandingan Ini Saja, Real Madrid Jangan Ikut-ikutan Arsenal dan artikel Rizky Prasetya yang lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version