Pertama kali menginjakkan kaki di Bali, saya dibuat kaget bukan main karena baru kali ini saya melihat bule sebanyak dan semembeludak ini. Sambil mondar-mandir nyari hostel murah yang sudah saya pesan di sebuah aplikasi, saya terus bertanya-tanya dalam hati, ini beneran di Indonesia gak, sih? Kok malah saya yang ngerasa asing?
Plot twist-nya, hostel yang saya pesan pun isinya bule semua, kecuali saya dan si resepsionis, pastinya. Tentu hal itu bikin saya sedikit membatin, karena modal bahasa Inggris yang hampir seluruhnya saya dapat dari rutinnya menonton film-film barat sama sekali belum teruji.
Memang bukan rahasia umum lagi kalau Bali merupakan tujuan wisata yang sangat terkenal bahkan di kalangan wisatawan internasional. Dari dulu sampai sekarang, mereka yang datang ke Bali biasanya tidak menghabiskan masa liburan di satu daerah saja, tapi berkeliling dari satu tempat ke tempat lain selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Dulu saya sempat mengira kalau Bali hanyalah tentang pantai dan kebudayaan. Tapi sekarang saya sepakat jika Bali memang paket lengkap untuk dijadikan tujuan wisata. Hampir semua daerahnya menawarkan hal menakjubkan dengan pengalaman yang berbeda-beda. Dari mulai pantai sampai kebudayaannya yang beragam, spot diving dan hiking dengan view mengagumkan, sampai nuansa pesawahan yang saking indahnya bikin mata berkaca-kaca padahal sudah biasa saya temukan di Pulau Jawa.
Tapi yakin cuma hal itu saja yang bikin bule-bule betah?
Daftar Isi
Jumlah penduduk Bali sebanding dengan jumlah bule yang datang
Keheranan saya ternyata didukung oleh sebuah fakta yang nggak kalah mengejutkan. Bayangin, lebih dari 400 ribu bule datang ke Bali setiap bulannya, bahkan sempat menyentuh angka 540 ribu pada Juli kemarin. Kalau diakumulasiin, dari bulan Januari sampai Oktober tahun ini saja jumlah bule yang datang ke Bali hampir menyentuh angka 4,4 juta. Jumlah yang emang bener-bener gila, mengingat penduduk Bali saat ini pun hanya sekitar 4,4 juta jiwa.
Ya, mending, sih kalau tinggalnya cuma beberapa hari. Tapi faktanya, nggak sedikit tuh yang sengaja memperpanjang visa dan tinggal berminggu-minggu di hostel murah. Bahkan salah satu kenalan saya di Kuta sudah tinggal di Bali hampir 2 bulan dan sekarang malah ngajar surfing dari siang sampai petang.
Australia konsisten menjadi penyumbang bule nomor satu
Selama 3 kali saya pindah hostel, sebenarnya Bule yang saya temui itu kebanyakan berasal dari Eropa: Jerman, Italia, Belanda, Inggris, sampai Belgia. Tapi ternyata, lebih dari 25% wisatawan asing itu asalnya dari Australia, dan hampir selalu konsisten setiap tahunnya. Jadi, kalau misalnya jumlah rata-rata bule yang datang ke Bali tiap bulannya 400 ribu, sudah bisa ditebak kalau 100 ribu sekiannya itu adalah orang Australia.
Secara geografis, letak Australia ini memang cukup dekat dengan pulau Bali jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Sehingga cukup masuk akal kalau negara tersebut menyumbang wisatawan terbanyak. Walaupun sejujurnya saya sedikit heran, karena selama 7 hari di Bali saya gak pernah sekali pun ngobrol atau sehostel sama orang Australia. Padahal saya termasuk orang yang aktif bersosialisasi dan gak menetap di satu daerah saja. Apa orang-orang Australia emang nggak mau tinggal di hostel under 100 ribuan yang sekamarnya bisa sampai 8 orang? Atau mereka memang lebih prefer menghabiskan waktu dengan sesama orang Australia di daerah-daerah tertentu saja?
Auto jadi sultan dadakan!
Saya jadi ingat kalau saya punya seorang teman yang kuliah sambal kerja di Australia. Kita terakhir ketemu Juni tahun ini saat dia pulang ke Indonesia buat cabut gigi bungsu karena biaya cabut gigi di Australia mencapai 53 juta untuk 3 gigi (dokter menyarankan langsung cabut 3 gigi untuk meminimalisir gangguan syaraf). Sementara di Indonesia hanya sekitar 6 juta, itu pun karena terjadi komplikasi.
Biaya hidup di sana memang tergolong tinggi, sih. Normalnya harus menghabiskan 15-20 jutaan untuk seluruh keperluan bulanan. Dari transportasi, makan, tempat tinggal sampai pajak-pajaknya. Namun jumlah tersebut bisa dibilang sepadan karena upah minimumnya saja sebesar 23 dolar per jam atau setara dengan 237.000 rupiah. Ini per jam, loh. Per jam! Jadi kalau jam kerja di sana per minggunya 38 jam, dalam kurun waktu seminggu saja sudah bisa menghasilkan 9 juta atau sekitar 36 jutaan per bulannya. Apa kabar negeri kita yang rata-rata UMR-nya cuma di angka 2,7 juta?
Ini baru Australia. Belum termasuk negara-negara lain yang upah miminumnya jauh lebih besar.
Mereka bisa hidup di Bali dalam waktu yang lama. Kita? Boro-boro ke luar negeri, Bali aja susah
Dengan demikian, sudah bisa dipastikan kalau mereka auto kaya raya selama tinggal di Indonesia. Belum lagi kalau kerjaannya bisa di kerjain di mana saja seperti beberapa orang yang sempat sehostel dengan saya. Bahkan beberapa saat lalu saya sempat melihat konten di Instagram tentang seorang pria asal Spanyol yang sudah tinggal di Bali selama kurang lebih 7 tahun dan masih bekerja sebagai desainer interior di Spanyol. Ya, gimana nggak betah coba, tinggalnya di Bali, tapi gajinya gaji luar negeri.
Video itu juga mengingatkan saya pada kasus Kristen Grey yang sempat viral 2021 silam. Masih ingat? Perempuan asal Amerika yang sudah menetap di Bali selama satu tahun itu menjadi perbincangan setelah bercuit tentang enaknya tinggal di Bali karena murah dan nyaman bagi para pendatang. Kemudian diketahui kalau ia juga telah menulis dan memasarkan sebuah e-book berjudul Our Bali Life is Yours yang berisi ajakan terhadap orang luar untuk datang dan menetap di Bali.
Itu baru beberapa contoh. Kita nggak pernah tahu ada berapa banyak yang seperti mereka di Pulau Dewata atau bahkan di seluruh penjuru Indonesia. Mungkin selain pesona alam dan kebudayaannya, memang semurah itulah negeri kita di mata mereka. Wajar kalau kadang-kadang saya ngerasa cemburu dan iba pada diri sendiri. Mereka bisa tinggal berlama-lama di negeri kita, sementara gaji kita cukup buat apa kalau tinggal di negeri mereka?
Penulis: Halim Mohammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menguak Alasan Betapa Mengerikannya Cara Bule Mengendarai Motor di Bali