Saya memilih menetap di Semarang, kota yang punya tiga matahari, ketimbang Jogja yang terkenal romantis itu. Ini semua ada alasannya.
Semarang memang bukan kota ideal untuk menetap menurut kacamata sebagian besar masyarakat. Ditahbiskan sebagai salah satu kota dengan temperatur usaha terpanas di dunia tahun 2024 menurut artikel dari kompas.com serta rumor biaya hidup yang relatif tinggi membuat orang enggan untuk tinggal dalam jangka waktu lama di Kota Atlas. Belum lagi, hantu tahunan bernama banjir tak pernah absen menyambangi.
Namun, setelah sempat menjadi anak rantau selama belasan tahun di Yogyakarta serta mendapat teman hidup dari kota itu, hati saya kembali tertambat di Semarang. Bagi saya, Ibu Kota Jawa Tengah itu lebih nyaman untuk menetap ketimbang harus berlapang dada menghadapi keruwetan Kota Pelajar. Walaupun pandangan ini bersifat subjektif, boleh jadi apa yang saya rasakan berikut membuat mereka yang hobi mencaci Semarang berpikir dua kali.
Daftar Isi
Kawasan wisata dan belajar yang terpisah dari pusat kota
Setiap singgah di Kota Gudeg, hal pertama yang bikin gedeg adalah kondisi lalu lintas yang simpang siur. Bagaimana tidak, volume kendaraan yang meluncur di jalanan Jogja terbilang padat. Sementara, kawasan yang rentan macet lebar jalannya tak seberapa. Akibatnya, arus kendaraan menjadi berdesakan dan kelancaran berkendara tersendat.
Peristiwa harian tersebut tak terelakkan mengingat Jogja adalah kota tujuan para mahasiswa dari berbagai penjuru nusantara. Bayangkan seberapa jenuhnya jalanan jika setiap pelajar membawa satu kendaraan pribadi. Ditambah lagi, Jogja merupakan destinasi idola untuk berwisata. Alhasil, potensi terjadinya kemacetan semakin melejit.
Sementara itu, pusat studi di Kota Atkas yang digawangi oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) terletak di Tembalang yang merupakan daerah Semarang atas. Pun, nyaris seluruh tujuan wisata di Semarang berlokasi di wilayah kabupaten. Dengan demikian, aktivitas masyarakat perkotaan yang masih disibukkan dengan berbagai rangkaian pekerjaan tidak terganggu oleh kedatangan wisatawan.
Lebar jalanan serta kebijakan satu arah yang melegakan para pengendara
Selain itu, lebar jalanan di Semarang lebih leluasa dibanding Jogja. Pada waktu-waktu tertentu seperti jam berangkat dan pulang kerja memang kemacetan masih mungkin terjadi meski tidak seekstrem area Jalan Kaliurang Yogyakarta kilometer bawah. Meskipun bukan di bilangan utama, jalan raya di Semarang banyak yang memiliki lebar melegakan. Satu lintasan searah saja bisa selebar jalan raya di area Gejayan, Jogja.
Untungnya lagi, tidak sedikit ruas jalan di Semarang yang menerapkan kebijakan satu arus. Awalnya, aturan ini membuat saya jengkel lantaran kudu memutar lebih jauh. Namun, semakin hari, saya menyadari bahwa keputusan menjalankan satu arus arah merupakan langkah efektif pencegahan macet.
Baca halaman selanjutnya
Akulturasi budaya yang mencerminkan toleransi tinggi di Semarang
Jogja memang merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Banyaknya pendatang dari berbagai latar belakang digadang-gadang memperkaya kultur di sana. Walau sering dibingkai sebagai kota yang adem ayem, nyatanya isu kerusuhan dan bentrok warga tak jarang menerpa Jogja.
Di sisi lain, Semarang dikenal oleh kependudukan dua etnis yang merajai sejak dulu kala yakni Jawa dan Tionghoa. Meski sama-sama mendominasi, hampir tidak pernah terdengar isu cekcok antar keduanya. Justru, keberagaman budaya ini menciptakan asimilasi yang patut dihargai.
Sebagai contoh, lahirnya makanan khas Lumpia yang kini menjadi ikon oleh-oleh Kota Semarang konon merupakan kolaborasi suami istri yang berbeda keturunan. Bukti lainnya adalah kelanggengan Pasar Semawis yang turut didukung oleh pemerintah setempat. Tidak ada penolakan terhadap eksistensi Pasar Semawis yang malah sukses menjadi simbol toleransi pluralitas kota dengan ikon Simpang Lima ini.
Memilih tempat menghabiskan sisa usia memang tak kalah pelik dibandingkan mencari pasangan hidup. Berbekal sejumlah argumentasi serta pertimbangan yang matang, akhirnya saya berhasil membujuk keluarga kecil untuk menuruti ego saya bermukim di Semarang. Toh, mereka tetap akan dimanjakan dengan kekayaan kuliner di Semarang yang tiada duanya, terlebih tahu gimbal yang melegenda.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya