Daftar Isi
#2 Jalanannya nggak seperti Jogja yang lebih mudah dipahami
Jogja adalah kota tradisional Jawa yang dibangun berdasarkan orientasi selatan-utara. Hal ini bisa kita lihat dari peta jalanan Jogja yang modelnya kotak dan lurus sehingga penggunaan mata angin jadi sangat relevan. Dari kota ke timur sudah pasti ketemu Jalan Solo, sementara dari kota ke barat ya ketemunya Jalan Wates. Dari dalam kota ke mana pun arah mata angin pasti ketemunya Ring Road.
Sementara itu Semarang adalah kota yang dibangun Belanda dalam pola metropolis dan perkembangan kotanya juga pesat. Saat berada di Semarang, kita harus mengandalkan Google Maps apabila nggak familier dengan suatu daerah. Kalau nggak pakai Google Maps, saya pastikan kalian bakal ketemu jalan buntu atau gang sempit.
Lereng curam pun menjadi tantangan tersendiri ketika kita berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Semarang. Misalnya, dari daerah Undip ke UNNES yang sebetulnya cuma sebelahan, pilihan kita cuma ada dua, yakni lewat jalan memutar atau melalui jalan ekstrem tembusan Srondol-UNNES.
#3 Kuliner sehari-hari di Semarang nggak seenak Jogja
Soal kuliner sehari-hari, Semarang sebenarnya memiliki keunggulan. Makanan di sini lebih bervariasi. Di sini, ada banyak warteg dan harganya lebih murah ketimbang di Jogja. Di tengah kota Semarang misalnya, saya masih bisa menjumpai ramesan seharga 6-7 ribu rupiah dengan lauk sayur dan telur, atau soto seharga 5 ribuan. Sementara di Jogja, harga makanan segitu baru bisa saya dapatkan di daerah pinggiran macam Bantul atau Kalasan.
Akan tetapi, rasa dan tingkat higienis makanan murah di warteg dan ramesan Semarang cenderung seadanya ketimbang di Jogja. Yah, definisi ada harga ada rupa.
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan pengalaman saya di Jogja di mana saya jarang dikecewakan rasa masakan burjo, bakmi, dll. Di Jogja palingan saya kecewa kalau ekspresi penjual makanan berubah karena saya memesan minum air putih.
#4 Harga pecel ayam lebih mahal
Harga makanan di warung Lamongan menjadi salah satu culture shock pertama saya ketika pindah ke Semarang. Di Jogja, saya biasa membeli nasi ayam seharga 12 ribu rupiah, atau paling mahal 15 ribu di warung Lamongan. Alangkah kagetnya saya waktu membeli pecel ayam di Semarang yang harganya dibanderol 18 ribu hingga 25 ribu per porsi.
#5 Pengendaranya lebih grusa-grusu daripada di Jogja
Sikap kebanyakan pengendara di Semarang sangat jauh dari stereotip orang Jawa yang katanya alon-alon. Meskipun jalanan Semarang minim klakson seperti di Jogja, banyak pengendara Semarang yang berkendara seolah dirasuki pembalap. Sampai-sampai tiap kali mau menyeberang jalan, saya merasa jadi orang yang sangat menderita.
Mungkin saja sikap para pengendara yang grusa-grusu itu terbentuk karena nggak kuat dengan suasana kota yang panas. Makanya bawaannya pengin cepat-cepat sampai di tempat tujuan. Atau bisa juga banyak pengendara yang ngebut karena jalanan di Semarang lebih lebar daripada di Jogja.
Begitulah penderitaan yang saya alami ketika pindah ke Semarang. Meski begitu, saya cukup tersentuh dengan kemurahan hati kebanyakan orang Semarang yang tulus. Maklum, orang Semarang nggak punya modus mengantarkan orang ke toko bakpia atau toko tertentu ketika ketemu orang yang terlihat linglung kayak di Jogja. Eh.
Penulis: Tito Satrya Kamil
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jalan Kaligawe Semarang, Pusatnya Jalanan Rusak dan Banjir yang Bikin Rakyat Sengsara.