Di STM saya sekolah dulu selain anak-anaknya demen tawuran, sempat ada tren unik yang bikin saya geleng-geleng kepala, yakni memelihara demit. Tren itu terjadi saat saya menginjak kelas 1, bertepatan dengan tahun ketika saya menjabat posisi paling bergengsi yakni Ketua OSIS. Awalnya, salah seorang teman sekelas dengan saya menceritakan pengalamannya memelihara demit yang berbentuk seperti buaya.
Dia mengklaim memelihara sekadar untuk berjaga-jaga saja agar tidak kena musibah. Meski yang terjadi dan saya lihat, dia justru makin banyak musibah. Ya gimana, wong kalau melihara demit, kalau yang melihara itu datang ke suatu tempat dan demit peliharaannya itu nggak cocok, justru dia bakal panas dingin bahkan sampai muntah-muntah. Bukankah itu malah nambah musibah? Lucunya lagi, teman saya mengatakan demit peliharaannya sering diadu dengan demit peliharaan temennya lagi. Woanjeeeng, udah macam duel Pokemon saja.
Ternyata buaaanyak teman-teman saya di STM yang tertarik buat melihara demit juga. Ada yang puasa berhari-hari buat dapetin penunggu wayang kulit di gedung kesenian. Penunggu itu ternyata mengambil bentuk seperti sosok dari wayang kulit itu juga, yaitu Bima, alias versi mudanya Werkudara. Teman saya berhasil mendapatkannya dan merasa dirinya terlindungi oleh demit berwujud Bima yang dia pelihara itu.
Pernah suatu malam selepas saya dan teman-teman kelar latihan karawitan di gedung kesenian—gedung itu sudah bagaikan rumah kedua saya karena saking seringnya saya nginep di sana—teman-teman iseng mereka kumat. Teman saya yang memelihara demit berbentuk Bima itu pengin kesurupan sama demitnya sendiri. Biasa lah, kalau udah kesurupan, biasanya saya dan teman-teman bakal ngorek informasi sejarah dari STM saya tercinta.
Teman saya memulai proses kesurupannya. Nah, karena dia khawatir kalau pusaka-pusaka yang dimiliki demitnya bakal melukai saya dan teman-teman, maka dia melepas satu per satu pusaka yang nggak bisa saya lihat itu. Saya, kebetulan dititipi Kuku Pancanaka, salah satu pusaka sakti mandraguna milik Bima. Wheeelllaaa, ngeri bener saya dititipin benda macam itu di tangan saya. Meskipun saya mencoba meyakini bahwa kuku itu ada di tangan saya, tapi saya nggak bisa merasakan apa-apa.
Setelah semua pusaka berbahaya dilepas, maka proses kesurupan mulai berlangsung. Saya sebagai orang yang cukup ahli pura-pura kesurupan sewaktu aktif di paguyuban jatilan kampung, nggak bisa membedakan mana yang kesurupan beneran dan mana yang pura-pura. Teman saya sih mulai nglosot-nglosot di lantai sambil mengeram—hal yang sama sering saya lakukan dulu pas pura-pura kesurupan. Setelah itu, bukannya demit Bima yang masuk ke tubuhnya, eh malah Gareng. Asli, saya syok dan pengin ketawa sebenernya, tapi ya gimana, masak saya mau ngetawain demit?
Gelagat teman saya sih berubah jadi kayak Gareng gitu, pun cara ngomongnya juga dimirip-miripin sama Gareng kayak di pentas wayang kulit gitu. Ya sudah, karena datangnya Gareng, saya dan teman-teman lain langsung sungkem dan mulai nanya-nanya perihal sejarah. Kami nanya gimana sosok pendiri STM tercinta kami, dan si Gareng langsung mengatakan hal-hal baik tentang beliau. Meski sebenarnya kalau saya pura-pura kesurupan juga bisa ngomong kayak gitu.
Aksi-aksi dramatis terjadi setelah itu, seperti tetiba demit yang merasuki teman saya berubah dari Gareng menjadi harimau. Ia mengaum-aum, lari sana-sini, bahkan sampai keluar ruangan dan mau lari ke jalanan. Beruntunglah saya dan teman-teman berhasil menahannya meski ketakutan.
Bedebahnya, sang demit minta sajen kembang kantil kalau saya dan teman-teman mau dia pergi. Ya sudah, terpaksa salah satu dari kami kudu keluar dan metik kembang kantil yang pohonnya emang ada di depan gedung kesenian. Setelah si harimau makan—aneh bener, harimau kok herbivora—kembang kantil, maka demit herbivora itu langsung cabut.
Teman saya yang lain, yang berbadan gembul dan lucu-lucu nggilani, juga memelihara demit. Bentuknya adalah mbah-mbah yang saya lupa namanya. Nah, si kampret itu sering banget kesurupan saat kelas kosong, teman-teman sekelas auto nanyain nomor togel ke teman saya itu. Selain ditanyain nomor togel, teman-teman sekelas juga nyetel musik gamelan lewat HP biar teman saya yang gembul itu nari-nari. Lucunya, saat mendadak guru datang dan semua anak lain kembali ke bangku, teman saya yang kesurupan itu langsung diem dan pura-pura tidur. Itu sih, antara demitnya yang pura-pura tidur biar nggak disadari guru, atau teman saya yang sejatinya pura-pura kesurupan, sih.
Nah, urusan demit-demitan ini ternyata sampai juga di kalangan anak OSIS yang saya pimpin. Rata-rata dari anak buah saya punya simpenan demit, makanya kalau ada acara OSIS malem hari di sekolah, sudah pasti banyak aksi kesurupan gitu. Nggak hanya anak-anak OSIS-nya, bahkan guru-guru pembinanya juga pada mainan begituan.
Urusan demit ini juga dibawa pas ada lomba Peraturan Baris-berbaris antar kabupaten. Pas saya dan tim diutus ke Semarang buat ikut lomba, malamnya anak-anak pada ngadain ritual biar penampilan kami bagus. Pun kalau ada satu dari kami yang nggak pas gerakannya saat tampil, para juri konon bakal sliwer matanya dan nggak lihat kesalahan tim kami. Nah, keesokan harinya saat tampil, pembina kami nyemprotin parfum ke semua anak. Konon biar aroma anak-anak satu tim bakal serempak gitu dan mengejutkan juri, tetapi akhirnya kami tahu kalau parfumnya sudah dijampi-jampi gitulah. Apakah kami menang? Wheeela, ternyata nggak.
Fenomena demit-demitan itu bikin saya lama-lama mangkel. Bukannya apa-apa, kalau pas ada kegiatan dan harus berakhir dengan aksi kesurupan terus, kan, nyebelin juga. Saya yang notabennya ketua, adalah satu dari beberapa anak yang nggak mau mainan begituan. Bukan karena urusan agama atau apa, tapi repot juga kalau ternyata saya memelihara demit.
Oke, katakanlah saya puasa tujuh hari tujuh malam demi mendapatkan demit yang bentuknya Pikachu, terus saya berhasil dapet. Nah, suatu ketika pas saya pulang malem-malem habis kegiatan OSIS dan lewatin tempat yang ada penunggunya, dan Pikachu peliharaan saya nggak srek sama si penunggu, yang ada saya malah kudu menyaksikan duel Pikachu saya versus demit penunggu lokasi. Iya kalo Pikachu saya menang, lah kalau kalah? Bisa-bisa saya malah panas dingin berhari-hari.
BACA JUGA Sophie, Arwah Noni Belanda yang Setia Menemani Saya Jaga Malam di Kedai Kopi dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.