Daftar Isi
# 2 Sekolah internasional di Indonesia sebagai panggung kompetisi materi
Ruang lingkup pendidikan formal seringkali tidak lepas perilaku flexing yang bisa jadi berujung pada tindakan pengucilan. Contoh nyatanya kegaduhan di sosial media perkara kotak makan Smiggle beberapa saat lalu. Selain itu, les di luar sekolah dapat pula menjadi sebuah ajang pembuktian. Sama-sama les musik saja, ada kastanya. Kalian baru boleh bernapas lega kalau buah hati mengambil kelas musik piano klasik atau harpa yang harga alatnya saja sudah puluhan juta.
Intinya, orang tua wajib bersiap diri manakala tetek bengek kehidupan sosial di sekolah diukur dengan materi. Lha wong perkara isi hampers ulang tahun saja bisa dijadikan bahan perbincangan.
#3 Perundungan yang tidak bisa dikesampingkan
Kasus perundungan memang kerap terdengar di berbagai institusi pendidikan belakangan ini. Namun, ketika hal tersebut menyangkut nama sekolah internasional, kritik masyarakat yang beredar menjadi lebih tajam. Dapat dipahami bahwa ekspektasi khalayak terhadap para siswa di sekolah elite cukup tinggi. Sekolah internasional dinilai punya sumber daya yang lebih besar dalam membangun karakter anak. Misalnya saja dengan menyisipkan pelatihan pengembangan kepribadian atau mempekerjakan psikolog dalam pendidikan karakter anak.
Faktanya, pengucilan dan perundungan tetap saja bermunculan di sejumlah sekolah yang dibilang terpandang. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian muncul keraguan masyarakat terkait bagaimana sistem pembentukan karakter anak didik di sekolah terkait. Bagaimanapun, sekolah memiliki peran dalam membimbing para siswa, terlebih lagi jika didukung dengan sumber daya di atas rata-rata.
#4 Kemampuan berbahasa Indonesia yang memprihatinkan
Salah satu kebijakan di sekolah internasional adalah penggunaan bahasa Inggris dalam aktivitas pembelajaran. Makanya, para muridnya menjadi lebih fasih dan terbiasa memakai bahasa asing saat berkomunikasi dengan orang lain, bahkan di luar kegiatan sekolah. Sayangnya, benefit tersebut kerap kali tidak dibarengi dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bukan bermaksud menjadi fanatik atau sok bersikap nasionalis. Tapi, alangkah lebih baik jika anak didik sekolah internasional juga dibekali keahlian menerapkan penggunaan bahasa Indonesia secara lisan maupun tertulis. Bukankah miris ketika bahasa Indonesia dikatakan hanya memiliki sedikit kosakata sebagaimana yang dihebohkan di sebuah platform media sosial beberapa minggu terakhir ini? Nyatanya, opini tersebut disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan orang-orang terhadap kekayaan bahasa nasional kita. Diharapkan, dengan mengenal keragaman kosakata Bahasa Indonesia, anak-anak akan semakin mencintai budaya sendiri, khususnya karya para pujangga tanah air.
Bersaing di era saat ini memang menuntut orang tua untuk lebih selektif dalam menentukan tempat anak menimba ilmu. Meskipun secara garis besar sekolah bertaraf internasional menawarkan layanan yang lebih menggiurkan, bukan berarti kita tutup mata atas potensi negatif yang mungkin saja juga bisa terjadi di institusi pendidikan yang dianggap elite itu. Perlu juga diingat bahwa akar pendidikan anak yang pertama dan utama bermula dari orang tua mereka sendiri sehingga kesuksesan seorang anak tidak mutlak dibebankan kepada sekolah semata.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Biaya Pergaulan di Sekolah Favorit, Tekanan Tak Terlihat yang Begitu Nyata
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.