Sekolah gratis memang terlihat mulia di atas kertas. Pada nyatanya, mengelola sekolah butuh biaya
Saat saya datang, tampak dua orang tengah duduk di bangku panjang yang usang. Wajah mereka terlihat tua dan lelah. Seolah, keduanya tengah menanggung beban hidup yang teramat berat. Mereka juga sama sekali tak tertarik saat saya menjelaskan maksud kedatangan saya sore itu.
“Larene mboten bade lanjut sekolah, Bu.”
Begitu katanya.
Saya, sangat memahami keputusan mereka. Bagi beberapa orang—termasuk mereka—sekolah adalah hal yang mewah. Bagaimana bisa mereka mencukupi hal yang mewah jika untuk kebutuhan yang pokok seperti makan saja, mereka harus putar otak.
Untuk beberapa saat saya mengutuk, membenci keadaan. Pemerintah, telah gagal melindungi rakyatnya. Ngenesnya lagi, hal yang tak mampu pemerintah lindungi adalah sesuatu yang diamanatkan oleh Undang-Undang, yaitu pendidikan.
Daftar Isi
Sekolah gratis
Peristiwa anak putus sekolah, tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, memang menyedihkan. Terlebih, jika hal ini terjadi pada jenjang pendidikan dasar. Bayangkan, pendidikan dasar, loh. Bukan sarjana, bukan pula doctoral.
Memang, di beberapa wilayah telah berdiri sekolah gratis yang konon katanya demi memutuskan rantai putus sekolah. Namun, percayalah, sekolah gratis tidak seindah dan semudah yang dibayangkan. Selalu ada yang harus dikorbankan untuk sesuatu yang dilabeli “gratis”. Kamu pun jika ingin mendapat barang gratis di toko, harus rela berdesak-desakan bukan?
Tidak apple to apple? Baiklah. Mari kita lihat dari kacamata pendidikan.
Dana BOS
Pertama, biaya pengelolaan sekolah itu mahal. Sangat mahal. Pemerintah memang telah mengucurkan dana BOS untuk sekolah negeri maupun swasta. Nilai satuan BOS tiap sekolah akan berbeda untuk masing-masing daerah. Hal tersebut mengacu pada pada perhitungan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan Indeks Besaran Peserta Didik (IPD). Dasar IKK adalah tingkat kemahalan konstruksi suatu kabupaten atau kota dibandingkan dengan kota acuan. Data ini, bisa dilihat di web Badan Pusat Statistik.
Sedangkan IPD, dilihat dari jumlah peserta didik per sekolah yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Makin banyak siswanya, makin besar dana BOS yang cair. Barangkali, itu sebabnya ada beberapa sekolah yang enggan mengeluarkan siswa, meski yang bersangkutan kedapatan melanggar beberapa aturan. Sehingga, muncul istilah bahwa sekolah kalah karo muride. Penyebabnya, ya, itu tadi, sekolah ingin mengamankan slot dana BOS mereka.
Rata-rata, besaran dana BOS ini antara 900 hingga 1,9 juta per siswa per tahun. Jika sudah dicairkan, dana BOS dapat langsung dipergunakan oleh sekolah untuk membeli seluruh kebutuhan pembelajaran, seperti membangun sekolah, mengembangkan perpustakaan hingga meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
Dana pendidikan, sekolah gratis, dan realitas
Masalahnya, apakah dana tersebut mencukupi?
Begini. Anggaran pendidikan itu besarnya 20 persen dari APBN. Anggaran tersebut terbagi ke banyak hal seperti gaji guru, tunjangan pendidikan lain, dan lain-lain. Alhasil, yang ditujukan untuk peserta didik tidak sampai 30 persen dari anggaran yang ada.
Padahal, angka 20 persen dari APBN bukanlah angka mati. Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 (amandemen ke-4), menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendidikan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
See? Sekurang-kurangnya 20 persen. Artinya, bisa lebih dari 20 persen. Kelebihan ini bisa diambil dengan cara memangkas biaya perjalanan dinas, rapat dan tetek bengek lain. Sayang, jauh panggang dari api.
Saking menyadari bahwa pengelolaan sekolah itu membutuhkan dana yang besar sehingga tak mungkin menggantungkan sepenuhnya pada APBN, Kemdikbud berkali-kali meminta agar sekolah kreatif mencari dana dari sumber lain. Dengan catatan, dana tersebut tidak membebani orang tua. Sehingga, sumber dana lain yang dimaksud adalah kerja sama dengan perusahaan swasta melalui dana CSR.
Dengan pendidikan yang dikelola swasta, negara sebetulnya terbantu. Tapi kalau tidak diproteksi maka terjadi kapitalisasi di dunia pendidikan sehingga memunculkan istilah sekolah mahal pasti berkualitas. Sedangkan sekolah gratis? Ya gitu itu.
Bukan hanya transfer ilmu
Kedua, yang kerap salah kaprah adalah tentang tujuan pendidikan itu sendiri. Di dalam UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab.
Catat poinnya. Mengembangkan potensi siswa. Bukan semata mentransfer ilmu. Maka, adalah hal yang mudah bagi sekolah gratis jika yang ingin diraih hanya sebatas transfer ilmu. Guru tinggal berangkat, ngajar, pulang, berangkat, ngajar, pulang. Siswa duduk, mendengar, mencatat, diskusi sesekali.
Tapi, jika tujuan yang ingin diraih adalah mengembangkan potensi siswa, pastilah ada dana yang berbicara. Memangnya, mengikutsertakan siswa dalam pelatihan dan lomba demi mengembangkan potensi yang dimiliki itu nggak pake duit?
Mengembangkan bakat itu nggak gratis!
Saya, kemarin baru pulang dari Solo dalam rangka mendampingi siswa lomba monolog tingkat Jawa Tengah. Beberapa hari sebelumnya, ada pula 6 delegasi dari sekolah yang dikirim ke Bogor untuk seminar. Seminggu yang lalu pun, 2 orang guru dan 2 orang siswa berangkat ke Semarang dalam rangka lomba. Untuk kebutuhan tersebut, sekolah mengeluarkan dana 3 hingga 10 juta per satu kegiatan.
Besarnya biaya untuk mengembangkan potensi siswa juga pernah dikeluhkan seorang guru di sekolah negeri. Menurutnya, sejak SPP ditiadakan, sekolah jadi terseok-seok dalam hal pembinaan siswa. Di satu sisi, sekolah ingin mencetak prestasi sebanyak-banyaknya dengan mengirimkan siswanya mengikuti perlombaan. Di sisi lain, sekolah kerap mengalami keterbatasan dana.
Itu baru tentang pembinaan siswa. Belum bicara komponen lain, termasuk pembayaran gaji yang juga turut menggembungkan biaya operasional sekolah. Dan sekarang, masih berharap pada sekolah gratis? Bangun. Mimpinya kejauhan.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Seharusnya Anak Miskin yang Bisa Kuliah Tak Perlu Diromantisasi