Katanya Sekolah Itu Mencerdaskan Manusia, tapi kok Cuma Mau Menerima Murid yang Pintar?

Katanya Sekolah Itu Mencerdaskan Manusia, tapi kok Cuma Mau Menerima Murid yang Pintar?

Katanya Sekolah Itu Mencerdaskan Manusia, tapi kok Cuma Mau Menerima Murid yang Pintar? (Pixabay.com)

Pernah suatu ketika saya sedang berdiskusi dengan kawan saya terkait seleksi sekolah. Jika tujuan sekolah adalah mencerdaskan, mengapa hanya memilih murid yang pintar saja?

Pertanyaan ini cukup menarik karena seperti ada kesan (((efek paradoksnya))). Tapi, sebenarnya masuk akal juga. Sebab, tak jarang ada sekolah yang secara terang-terangan hanya menerima murid yang pintar aja. Well, nggak terang-terangan juga sih, tapi ketahuan banget lah dari sikap-sikapnya.

Padahal Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, memperjuangkan mati-matian tentang pendidikan yang setara dan bisa diakses oleh semua kalangan. Itulah alasan Taman Siswa berdiri, sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan segregasi pendidikan.

Makanya jadi aneh kalau dulunya berjuang agar semua orang bisa mendapat pendidikan. Eh, begitu merdeka, malah bikin segregasi baru.

Pendidikan, lambat laun, malah terasa seperti kontes membuat tolok ukur penilaian. Bahkan hingga kini.

Saya punya kawan yang ditolak di sekolah negeri karena NEM-nya buruk. Akhirnya, memang dia bisa sekolah di SMA swasta. Tapi, tetap saja merasa aneh dengan hal-hal seperti ini.

Nah, akhirnya kita ketemu pertanyaan baru setelah membahas banyak hal ini. apakah memang sekolah hanya mau menerima siswa pintar, atau terpaksa hanya menerima orang pintar?

Keterbatasan sumber daya

Kesenjangan dalam hal apa pun, antarsekolah di tiap daerah, bikin sekolah merasa punya hak untuk menerima murid pintar. Meski ya, perasaan itu muncul untuk menjustifikasi kemalasan saja.

Sekolah yang sudah punya nama, tentu tak mau lagi menurunkan “derajat” mereka dengan mengajari siswa yang biasa-biasa saja. Effort-nya tentu lebih besar. Jadi ya mereka mending membentuk siswa yang sudah jadi saja. Minimal effort, maximum result. Tinggal kasih aja infrastruktur memadai, beres. Murid pintar, dikasih alat yang cukup, melesat mereka.

Celakanya, sekolah lain tak punya kemampuan yang sama, misal dalam bentuk infrastruktur. Mereka ngos-ngosan dalam membentuk siswa, pun tidak maksimal. Akhirnya, siswa tadi ya nggak berkembang. Misal mau berkembang, ya harus masuk sekolah favorit. Tapi, mereka jelas tidak diterima.

Jadinya lingkaran setan. Murid tidak pintar hanya bisa masuk sekolah biasa saja, dan kemampuan mereka ya akan segitu-gitu saja. Sedangkan murid pintar, akan makin pintar karena masuk sekolah favorit.

TLDR: yang bodoh tetap bodoh, yang pintar makin pintar.

Baca halaman selanjutnya

Orang-orang yang malas berpikir

Efisiensi pembelajaran

Banyak yang ngomong: software bagus nggak berguna di hardware ampas. Dan argumen itulah yang dipakai orang-orang yang menjustifikasi adanya sekolah favorit.

Argumen itu menunjukkan dua hal: orang itu nggak tau manusia dan gegabah menyamakannya dengan komputer, dan memang malas berpikir.

Pertama, manusia itu bukan komputer. Otak perlu diasah dan diberikan ilmu-ilmu yang bermutu. Niscaya, manusia ini bakal jadi. Otak itu bukan sesepele komputer. Inilah gunanya sekolah: memberi hal-hal bermutu untuk manusia.

Kedua, kemalasan berpikir inilah yang bikin pendidikan dan negara nggak maju. Kalau yang nggak paham nggak dibikin paham dan nggak mau membikin paham, ya gimana bakal paham?

Orang nggak tahu, bukannya dikasih tahu, malah diminta tahu diri. Logika dari mana?

Jadi, argumen efisiensi pembelajaran dipakai sebagai justifikasi sekolah favorit itu dangkal banget.

Mengejar peringkat sebagai sekolah terbaik

Sebenarnya sah-sah saja terkait orientasi sekolah ingin menjadi yang terbaik dengan bergantung pada prestasi siswanya. Tapi ya…aneh nggak sih?

Masak sekolah bergantung pada murid pintar? Jadinya yang pintar itu sekolahnya apa muridnya?

Saya mendukung zonasi ya karena hal-hal di atas. Meski ya, butuh pemerataan. Tak boleh lagi semua kemajuan hanya dimiliki oleh segelintir sekolah. Buang kayu mati yang membebani sekolah. Beri guru gaji yang besar, jangan UMR doang. Kasih infrastruktur yang baik. Akhirnya, dalam waktu 10 tahun, nanti sudah terlihat kek mana kemajuannya.

Dan untuk orang tua, plis, sekolah favorit bukan segalanya. Jadi jangan suka melabeli. Percuma juga sekolah favorit kalau anakmu kau siram dengan pendidikan tak bermutu di rumah.

Penulis: Diaz Robigo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Masih Ada Sekolah Favorit dan Orang Tua Pindah KK Anak, Sistem Zonasi Gagal Total!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version