Perayaan Valentine yang jatuh pada 14 Februari memang masih diwarnai pro-kontra. Namun keberadaannya masih cukup populer terutama di kalangan anak muda. Memasuki Februari, cokelat mulai ditata dengan apik di deretan terdepan swalayan. Bahkan diletakkan di dekat pintu masuk agar keberadaannya dihiraukan pengunjung. Tak jarang diskon menggiurkan diberikan agar semakin memikat.
Valentine begitu identik dengan cokelat. Memang aneh, padahal kan banyak kudapan manis lainnya yang nggak kalah romantis. Misalnya saja kue, kukis, permen, es krim. Atau kalau mau opsi makanan asin dan melokal banget ada seblak yang konon digemari perempuan. Terus kenapa harus cokelat?
Cokelat, makanan para dewa
Merunut jauh ke belakang, cokelat adalah bahan pangan yang sakral bagi peradaban Meso Amerika. Bahkan menurut Peradaban Maya, cokelat adalah makanan para dewa. Di masa itu cokelat disajikan sebagai minuman pada ritual keagamaan. Namun rasanya pahit dan pedas, sangat berbeda dengan cokelat di zaman modern.
Penjelajahan samudera membawa orang-orang Spanyol ke Meso Amerika. Pada saat itulah cokelat dibawa serta dari wilayah taklukan ke negara induk di Eropa. Cokelat menjadi minuman yang populer di kalangan bangsawan. Di Eropa cokelat diolah bersama berbagai rempah-rempah dari Timur. Vanila dan kayu manis menjadi rempah yang paling digemari untuk dipadukan dengan cokelat. Racikan minuman mewah ini hanya bisa dikonsumsi oleh para bangsawan. Sebab cokelat dan rempah-rempah belum ditanam di Eropa, sehingga harganya sangat mahal.
Pada masa-masa awal kedatangannya di Eropa, cokelat berperan sebagai minuman kesehatan. Bahkan cokelat dipercaya dapat meningkatkan stamina dan gairah dalam berhubungan seksual. Maka nggak heran jika di zaman itu cokelat diidentikkan dengan sensualitas. Sangat berbeda dengan citra coklat panas di zaman sekarang yang identik dengan minuman anak-anak karena rasanya yang manis. Butuh waktu lama bagi cokelat untuk berevolusi menjadi makanan manis yang sekarang kita kenal.
Dijadikan ikon Valentine untuk tujuan komersil
Gagasan memberikan cokelat di hari Valentine baru populer sekitar abad 19. Budaya pop pada 1800-an mulai melirik Valentine sebagai perayaan yang romantis dan spesial. Bermula dari diangkatnya Valentine dalam berbagai puisi dan lakon pertunjukan. Pada saat itulah seorang pengusaha cokelat bernama Richard Cadbury menangkap peluang bisnis yang menjanjikan.
Cadbury memulai langkahnya dengan membuat kemasan cokelat yang menarik berbentuk hati. Dihiasi dengan beludru, bunga, kartu ucapan, dan berbagai dekorasi super romantis lainnya. Selain itu ia juga menambahkan mentega pada olahan cokelatnya agar hasil akhirnya lebih nikmat. Lantaran bentuk kemasannya yang menarik itu, banyak pria yang tertarik memberikan cokelat sebagai hadiah untuk kekasihnya di hari Valentine. Kotak cokelat itu nampak mewah dan bisa digunakan kembali sehingga cocok untuk dikoleksi.
Sejak saat itu, cokelat menjadi hadiah yang populer untuk menyertai pernyataan cinta. Bahkan sering dipergunakan untuk melamar. Namun karena di masa-masa sebelumnya cokelat identik dengan sensualitas, pemberian cokelat dari permpuan ke laki-laki masih dianggap tabu. Pun dalam buku etiket ada anjuran bagi perempuan lajang untuk tidak sembarangan menerima cokelat dari pria asing. Sebab hal itu bisa disalah artikan sebagai penerimaan cinta.
Dari Eropa, budaya memberikan cokelat di hari Valentine menyebar ke seluruh dunia. Di Asia Timur, perayaan Valentine seolah sudah menjadi tradisi. Bahkan Korea Selatan menjadi salah satu negara yang paling banyak membelanjakan uangnya untuk membeli kado Valentine.
Hadiah yang tepat
Pada akhirnya cokelat memang paling pantas dijadikan hadiah. Rasa manis dipercaya mampu menstimulasi tubuh untuk memproduksi hormon bahagia. Bentuknya solid, jadi nggak gampang hancur saat dibawa di perjalanan. Berbeda dengan kue-kue yang didekorasi cantik menggunakan krim. Bisa-bisa bentuknya jadi nggak karuan karena terguncang sepanjang jalan.
Cokelat juga tahan lama, nggak gampang meleleh asal nggak terpapar sinar matahari langsung. Bisa dihabiskan dalam waktu lama kalau mau menikmati hadiah dari ayang secuil demi secuil dengan penuh khidmat. Berbeda dengan es krim, yang meskipun sama-sama enak tapi nggak tahan lama. Bener-bener nggak praktis untuk dibawa dalam perjalanan. Apalagi harus dihabiskan dengan segera.
Lagipula stereotip mewah yang menempel pada cokelat masih menempel hingga sekarang. Walaupun kini harganya sudah lebih terjangkau, cokelat bukanlah makanan sehari-hari. Hanya hadir di momen-momen tertentu dan spesial. Ya iyalah nggak dimakan tiap hari, pengin diabetes po?
Memberikan cokelat dianggap lebih mbejaji daripada memberikan lolipop atau permen. Ya karena stereotip mewah yang sudah dibahas tadi. Apalagi permen adalah kudapan yang lebih lumrah dikonsumsi sehari-hari. Jadi rasanya nggak spesial aja gitu kalau ngasih permen.
Lagi pula di antara berbagai kudapan manis tadi, cokelat adalah yang paling mudah dibuat. Nggak perlu mengoven seperti membuat kue dan kukis yang tingkat kegagalannya lebih tinggi. Siapa tau kan ada yang punya hobi ngasih hadiah bikinan sendiri ke pasangan. Katanya biar lebih romantis gitu.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Perayaan Valentine Bukan Budaya Kita, Budaya Kita Adalah Berdebat Perihal Valentine