Bicara Jakarta, takkan lepas dari etnis Betawi. Saat ini etnis Betawi di Ibukota jumlahnya sekitar 27,65 persen dari seluruh etnis di Jakarta (data sensus penduduk tahun 2000). Generasi etnis Betawi asli sendiri sudah menyebar ke luar Jakarta yakni Depok, Bekasi, Bekasi, Tambun, Cikarang, Tangerang, Karawang, Cimanggis, Depok, Cibinong (tempat saya tinggal), bahkan sampai Bogor.
Tak heran kalau di Jakarta sendiri etnis Betawi yang ada merupakan hasil kawin campur banyak etnis dan sudah banyak menggunakan dialek Jakarta alih-alih bahasa Betawi dialek Melayu. Seperti yang dikatakan seniman dan budayawan Betawi, Abdul Chaer dalam buku Folklor Betawi (2012). Dan memang kalau kita amati sudah lama di kalangan anak muda di Jakarta marak bahasa-bahasa alay, gaul, atau gaya bahasa anak Jaksel dengan campuran istilah-istilah Inggrisnya.
Namun demikian, ada satu ciri khas etnis Betawi yang masih tetap melekat selain gaya berbicara yang ceplos-ceplos, humoris, apa adanya. Seperti kita saksikan dalam penampilan tokoh-tokoh Betawi legendaris seperti Benyamin Sueb, Bang Mandra, Babeh Ridwan Saidi, Babeh Zahrudin si Raja Pantun Betawi, dan lain-lain. Ciri tersebut adalah tradisi lisan berpantun yang masih dilestarikan hingga kini.
Masih adanya grup-grup kesenian palang pintu maupun Lenong Betawi bahkan lomba-lomba pantun Betawi yang diselenggarakan di masa pandemi ini oleh Pemerintah DKI, perusahaan-perusahan hingga partai politik adalah tanda pantun Betawi masih berdenyut dan masih hidup tak hanya di sanubari.
***
Jika menilik KBBI, pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b). Tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Dalam buku Pantun Betawi yang ditulis Maman Mahayana (2008), disebutkan bahwa Prof. Dr. R.A. Hoesin Djajadiningrat dalam pidatonya pada Peringatan 9 Tahun berdirinya sekolah Hakim Tinggi di Betawi, 28 Oktober 1933, menyatakan pantun banyak menarik perhatian peneliti Barat sejak 1688. Dan beberapa hasil penelitian terdahulu tentang pantun menyatakan pantun adalah hasil karya yang telah tersebar luas di Nusantara tak terhalang sekat agama dan strata sosial di masyarakat.
Referensi lainnya mengungkapkan bahwa pantun Betawi disebarkan oleh pedagang Gujarat pada abad ke-15 untuk menyebarkan pesan dan nasehat keagamaan. Hingga akhirnya pada abad ke-17 hingga ke-18, datang pula orang Melayu ke Betawi yang menjadikan pantun sebagai syair curahan hati.
Menurut almarhum Bang Rachmat Sadeli—abang dan guru saya sekaligus seorang penggiat budaya Betawi dalam seminarnya 2019 lalu, menjelaskan pantun adalah bagian dari sastra (puisi) lama yang tujuannya sebagai alat komunikasi dengan ragam tujuan baik sarana menyampaikan nasihat, hiburan, bahkan sebagai bentuk kritik sosial, tanpa harus melukai perasaan orang yang mendengarnya.
Lantas apa yang menjadi ciri khas pantun Betawi dibanding pantun Melayu atau pantun lainnya di Indonesia? Yang menonjol dari pantun Betawi adalah ekspresi spontan khas etnis Betawi pada sampiran dan isi dengan tetap mengutamakan kesamaan bunyi/rima dari pola a-b-a-b sesuai kaidah pantun pada umumnya.
Berdasarkan jenis dan fungsinya, pantun ada yang berisi nasihat, agama, humor, rumah tangga, politik dan masih banyak lagi. Masih dari buku Maman Mahayana, menurutnya ada 32 jenis pantun sesuai tema dan isinya. Sementara Raja Pantun Betawi, Babeh Zahrudin dalam bukunya “1500 Pantun Betawi (2014) membagi pantun hingga 319 jenis berdasarkan isinya.
Umumnya pantun terdiri dari empat baris, setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, terdapat sampiran dan isi, memakai rima berpola a-b-a-b. Mari kita coba membuat pantun dengan pola ini.
Sampiran 1: “Kalau makan buah kenari,
Sampiran 2: jangan ditelen biji-bijinye.
Isi 1: Maksud ape dateng kemari,
Isi 2: boleh tahu apa maksudnye”
Mari kita kupas pantun palang pintu tersebut. Rima “ri” pada kata “kenari” di sampiran pertama sudah sesuai dengan rima “ri” pada kata “kemari” di isi pertama. Begitu pula rima “nye” pada kata “bijinye” pada sampiran kedua dengan rima “nye” pada kata “maksudnye” di isi kedua.”
Perlu diperhatikan juga sebaiknya sampiran pertama dan kedua pantun harus nyambung. Contoh yang nggak nyambung.
Sampiran 1: “Pagar kawat dindingnya bata
Sampiran 2: ada macan tajam kukunye.
Isi 1: Salam Salawat pembuka kata,
Isi 2: kenalin Ucan Cibinong rumahnye”
Coba perhatikan, antara sampiran 1 dan sampiran 2 kelihatan nggak nyambung antara “pagar kawat dindingnya bata” dengan “ada macan tajam kukunye”, meskipun isi 1 dan 2 sudah nyambung. Sebaiknya sampiran 2 diganti jadi “kandang macan itu namanye”. Jadi nyambung dengan pagar kawat dindingnya bata. Itu.
Sedapat mungkin pula tidak menggunakan nama orang sebagai pelengkap pantun demi mencari rima yang pas. Bisa jadi orang yang mempunyai nama yang sama kurang berkenan namanya digunakan. Masih banyak kosakata yang berima senada dengan kata di sesuai isi pantun. Misalnya kata “Betawi”, padanan untuk sampirannya bisa Ciawi, sawi, kawi-kawi, dan kiwi alih-alih pake nama Mpok Dewi.
Sampiran 1: “Lihat Mpok Dewi badannya kurus,
Sampiran 1: makannye mangga sama Markonah”
Isi 1: “Orang Betawi banyak maen jurus,
Isi 2: ayo dijaga jangan ampe punah”
Sebaiknya sampirannya diganti jadi:
Sampiran 1: “Ke Ciawi jalannya lurus,
Sampiran 2: mampir beli mangga dibawa ke rumah”
Untuk pantun yang tertulis, saya pikir sebaiknya menggunakan kaidah tidak hanya rima di akhir tiap baris sampiran atau akhir baris isi pantun saja yang sama. Namun, rima di kata kedua setiap baris sampiran, harus sama pula dengan rima akhir kata kedua baris isi pantun. Mari kita coba buat.
Pertama-tama tentukan dahulu temanya. Misalnya tema budaya Betawi. Mulai buat dua baris isi.
Isi 1: “Nggak afdol ngaku Betawi,
Isi 2: kalo ngebesan nggak ada palang pintu”
Perhatikan kata dari isi, berikut pola rimanya. Lalu buatlah sampiran yang disesuaikan dengan isi pantun. Misalnya:
Sampiran 1: “Makan dodol di Pasar Ciawi,
Sampiran 2: Dikasih bungkusan dari pisang batu”
Pada contoh pantun Betawi di atas, rima “wi” pada kata “Ciawi” di baris sampiran ke-1 dengan rima “wi” pada kata “Betawi” di baris isi ke-1 sudah senada. Begitu pula rima “tu” pada kata “batu” masih di sampiran 1 dengan dan rima “tu” pada kata “pintu” masih pada baris isi ke-1 masih senada.
Selanjutnya untuk rima “dol” pada kata “dodol” di sampiran ke-2 dengan rima “dol” pada kata “afdol” di baris isi ke-2 sudah senada. Begitu juga rima “san” pada kata “bungkusan” masih di sampiran ke-2 dengan rima “san” pada kata “ngebesan” di baris isi ke-2, masih senada pula, Sehingga menjadi harmonis dibacanya jika ditulis maupun didengar jika diucapkan lisan.
“Makan dodol di Pasar Ciawi, dikasih bungkusan dari pisang batu”
“Kurang afdhol ngaku Betawi, kalo ngebesan nggak ada palang pintu”
Itulah kira-kira aturan dalam membuat pantun ala Betawi. Gimana, gimana? Asyik,’kan, pantun Betawi?
Penulis: Suzan Lesmana
Editor: Rizky Prasetya