Paling tidak seminggu atau dua minggu sekali saya melakukan kegiatan pangkas rambut . Tentu saja urusan ini saya serahkan saja kepada ahlinya yaitu barber atau si tukang cukur karena saya memang tidak lihai melakukannya sendiri. Demi tarif cukur rambut yang lebih terjangkau, saya tidak memilih salon atau barbershop mahal. Saya memilih ke tempat pangkas rambut yang lebih merakyat.
Jangan salah, meskipun tarif cukur rambutnya lebih murah, tetapi hasil potongan rambut yang ditawarkan tak kalah apik dan kamu bisa potong rambut sesuai model yang diinginkan. Mau model tentara? Sasak? Mohawk? Apa pun modelnya semua bisa dinegosiasikan.
Pelayanannya pun kini sudah mulai diperbaiki. Sudah banyak tempat pangkas rambut yang meng-upgrade jasanya sehingga tak berbeda jauh kualitasnya dengan salon kecantikan. Ada tempat buat menunggu antrean, ada air minum, bahkan saat rambut dipangkas kapster bakalan ramah dan ngajak kita ngobrol.
Tarif cukur rambut yang biasa saya bayarkan memang lebih murah daripada salon yang tak hanya melayani potong rambut, tetapi juga urusan kecantikan. Saya sebenarnya nggak komplain soal murahnya.
Tetapi hingga detik ini, saya masih bingung dan bertanya-tanya tentang satu hal. Mengapa tukang cukur membedakan tarifnya? Mengapa tarif untuk anak sekolah dan orang sudah kerja itu berbeda-beda?
Saya tahu maksud tukang cukur itu baik sekali. Memberikan tarif cukur rambut lebih murah untuk anak sekolah karena mereka memang masih berstatus pelajar dan rata-rata belum bisa menghasilkan uang sendiri, walaupun tak semuanya begitu.
Sebaliknya, untuk orang tua, mereka dianggap sudah punya pekerjaan tetap sehingga nggak masalah jika harus mengeluarkan uang agak banyak untuk urusan pangkas rambut. Lagian, penghasilan orang tua umumnya lebih banyak daripada anak-anak. Kalau sudah tua ada yang masih menganggur dan pekerjaannya tidak jelas itu beda lagi kasusnya.
Menurut saya pembedaan tarif cukur rambut antara pelajar dan umum ini nggak perlu. Meskipun terdengar nggak penting, tapi saya jelas punya alasan. Hal ini saya lakukan semata-mata demi kesejahteraan tukang cukur sendiri, tanpa mengobarkan kesejahteraan pelanggan-pelanggannya.
Pernah suatu ketika, saya cukur rambut di tempat pangkas rambut Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Semula berjalan normal seperti biasa, setelah selesai semua, saya memberikan uang Rp15 ribu sesuai tarif orang dewasa.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba mas Mas tukang cukur itu memanggil saya.
“Mas, ini kembaliannya lima ribu.” Saya kaget dong.
“Hah, kenapa bisa kembalian lima ribu?” batin saya dalam hati. Saya pun langsung mengonfirmasi kepada tukang cukur tersebut.
“Mas, kok kembali lima ribu ya? Apa ada diskon hari ini?”
“Nggak kok, Mas, tarifnya tetap. Tarif untuk anak sekolah itu sepuluh ribu bukan lima belas ribu.” Wah, ternyata saya dikira masih anak sekolah!
Sebenarnya menguntungkan sih, saya bisa cukur dengan harga yang sedikit murah. Lumayan lo, bisa menghemat pengeluaran hingga Rp5 ribu rupiah. Kalau saya licik, saya bakal datang ke sini lagi dan mengaku anak sekolah biar dapat tarif pelajar terus-menerus.
Tapi, saya bukan orang yang terbiasa berbohong dan menerima uang di luar hak saya seperti para koruptor. Uang lima ribuan tadi pun langsung saya kembalikan.
“Mas, ini uang cukur tadi. Saya bukan anak sekolah, saya sudah kerja, mas sepertinya salah paham. Terima kasih, ya.”
Saya lalu pergi keluar sembari memberikan senyuman.
Pengalaman tersebut menjadi alasan mengapa saya mengusulkan tarif cukur rambut sebaiknya disamaratakan saja. Baik anak-anak maupun dewasa semua disamaratakan menjadi Rp15 ribu atau Rp10 ribu. Berapa pun itu, asal masih masuk akal dan bisa diterima semua pelanggan.
Masalahnya, orang yang datang ke tukang cukur belum tentu jujur semua. Kalau ada yang iseng dan curang, ngakunya pelajar padahal sudah bangkotan kan gawat. Kerjanya sudah tetap tapi maunya dapat harga murah. Kasihan kapsternya dong.
Lagian, si tukang cukur tentu tidak mungkin menanyakan umur orang satu per satu. Mau melakukan verifikasi KTP? Ribet banget coy, mau cukur saja harus pakai verifikasi segala.
Kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dari tinggi badan dan wajahnya saja. Ada orang yang tinggi menjulang seperti galah, tapi ternyata ia masih SMA. Ada juga yang punya badan kecil dan imut, tapi ternyata sudah kerja dan sudah berkeluarga.
Daripada tukang cukur bersiko ditipu terus-terusan sehingga penghasilan yang didapatkan lebih rendah dari seharusnya, ubah kebijakan saja. Samakan tarif cukur rambut anak sekolah dan orang tua.
Kalau mau dibedakan, bedakan saja berdasarkan balita dan non balita. Ini perkara yang lebih mudah dibedakan. Kalau dia datang digendong orang tuanya, fix dia masih balita. Kalau orang tuanya digendong anaknya, berarti dia sedang pingsan dan butuh ambulans, bukan mau cukur.
BACA JUGA Tips bagi para Lelaki agar Memiliki Model Rambut yang Cocok Saat Pangkas Rambut
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.