Saya sedang berada di dalam gereja saat kejadian ini berlangsung. Saya duduk di tepi bangku kayu panjang. Nomor dua dari belakang. Di sebelah kiri saya, berjarak satu setengah meter untuk jalur berjalan para umat. Di sebelah kanan saya, sebuah keluarga duduk.
Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, seorang anak perempuan kira-kira kelas tiga SD dan anak laki-laki usia playgroup. Dilihat sekilas, keluarga ini cukup berada. Saya tidak terlibat dalam sebuah percakapan dengan keluarga ini, sebelumnya. Dan setelah komuni kudus berlangsung, si ibu membawa anak laki-lakinya keluar karena rewel. Saya bersebelahan dengan gadis kecil bergaun bunga-bunga.
Ketika pemberkatan anak berlangsung dan Romo menginstruksikan pada anak-anak untuk maju, gadis kecil itu terlihat sumringah. Ia langsung berdiri, dan mendekat ke arah saya untuk mencapai jalur berjalan untuknya berjalan ke depan. Namun selama tiga detik, ia melihat tidak ada anak-anak yang maju. Gadis kecil itu pun ragu. Ia berhenti sebelum melewati saya, lalu menengok pada ayahnya. Sang ayah membujuknya untuk maju. Saya ikut tersenyum melihatnya.
Lalu gadis kecil itu melihat anak-anak lain berhamburan ke depan altar dan ia melewati saya dengan cepat. Hingga tak sengaja, gadis kecil itu menyenggol buku dan lembaran misa saya sampai terjatuh ke lantai.
Gadis kecil itu tahu. Tapi ia sudah terlanjur berada di jalur tempat orang berjalan maju ke depan. Ia meninggalkan buku yang terjatuh itu.
Saya kontan memungutnya dan sang ayah mengucapkan kata ‘maaf’ dengan lirih, namun telinga saya masih bisa menangkap suaranya. Saya tersenyum ringan dan kembali pada gaya duduk saya, menyilangkan kaki sambil menikmati pemandangan wajah anak-anak yang maju ke depan altar.
Lalu datanglah gadis kecil itu kembali setelah diberkati oleh Romo. Ia duduk di samping saya, tapi mengambil jarak yang lebih lebar dari sebelumnya.
Am I too scary for her? Haha. I don’t think so.
Saat dibacakannya pengumuman gereja, saya mendengar lamat-lamat sang ayah menyuruh gadis kecil itu minta maaf.
Minta maaf?
Saya mencoba memasang kuping saya lagi. Saya yakin saya tidak salah dengar.
Saya melirik sekilas ke arah kanan saya. Gurat senyum terurai dari sudut bibir saya ketika menemukan sepasang mata sipit gadis itu memandang saya sekilas, lalu memeluk kembali sang ayah. Gadis itu berkompromi selama beberapa saat dengan sang ayah. Gadis itu mencuri pandang ke arah saya, namun tak berani berkata.
Tepat sebelum sesi pengumuman berakhir, sang ayah mengawali, “Maaf kak.”
Sang ayah mendorong lembut puterinya untuk mendekat ke arah saya. Saya menangkap kesulitan yang dialami gadis itu. Lalu saya putuskan untuk melemaskan pundak saya dan menyapa gadis itu lebih santai.
Gadis kecil itu akhirnya berkata, “Maaf ya, Kak. Tadi jatuhin buku kakak.”
Saya mengangkat senyum lebar. Separuh jiwa saya terkejut karena saya tak menyadari gadis kecil itu akan meminta maaf. Dan separuh jiwa saya merenungkan banyak hal dalam satu waktu. Sebelum gadis itu bertarung lebih lama dengan rasa kikuknya, saya cepat-cepat menjawab, “Oh, nggak papa dek. Hehe.”
Spontan gadis kecil itu tersenyum, lalu merangsek ke pelukan ayahnya.
Saya cukup salut dengan pola didik semacam ini. Dengan orang asing sekali pun, anak-anak perlu diajarkan menghormati kepunyaan orang lain. Layaknya menghargai barang kepunyaan sendiri. Saya mengapresiasi sikap sang ayah yang bilang ‘maaf’ duluan ketika buku saya jatuh. Lalu bilang ‘maaf’ untuk kedua kalinya, supaya sang puteri berani melakukan hal serupa.
He gives her real value. He did it and showed it to her daughter. Cara itu cukup ampuh mengolah gejolak rasa bersalah di hati gadis kecil itu menjadi sebuah permintaan maaf yang tulus.
Saya pun mulai merenungi kejadian itu sepanjang pulang dari gereja. Berkaca dan menelisik bagaimana diri saya.
Sometimes, egocentricity wins over me. Arogansi menyelimuti diri. Sehingga sulit untuk bilang maaf saat diri ini salah. Terkadang sulit mengakui diri saat diri ini menyakiti liyan, sengaja maupun tidak.
Kejadian di gereja kali ini mengingatkan saya untuk terus rendah hati. Untuk tak takut mengakui kesalahan. Untuk tak mencari-cari alasan hanya demi memenangkan ego sendiri. Untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Tentu susah, saya akui. Tapi manusia diberi waktu untuk terus belajar. Dan saya tahu, belajar bukanlah melulu teori. Melainkan juga mengolah rasa dan membentuk sikap.
Terimakasih, dek.