Pada satu sore di bulan Ramadan, Rani dan Rino merebahkan diri di gubuk sawah. Menanti waktu berbuka dengan leyeh-leyeh sambil menunggu anak-anak kecil bermain layangan.
Rani dan Rino adalah kakak beradik. Rani, gadis yang periang ini lebih muda 2 tahun dari Rino. Mereka sering bertengkar karena hal-hal kecil layaknya kakak beradik lain. Sebagai anak SMP, keduanya punya sangat banyak waktu senggang untuk membicarakan perkara-perkara remeh. Seperti sore itu misalnya.
“Mas, menurutmu Tuhan ada di sana nggak?” Jari telunjuk Rani mengarah ke sebuah gundukan awan tebal yang bersemu hitam.
Rino mengubah arah mata yang awalnya memandang atap gubuk, menuju ke lukisan raksasa bak bola-bola kapas yang ditunjuk oleh Rani. Ia diam sejenak. Pikirannya melayang-layang. Mencoba mencari jawaban yang tepat. Namun, ia belum menemukannya.
“Bagaimana kalau pertanyaannya diubah menjadi, ‘Menurutmu Tuhan ada di sini nggak?”
Rino menunjuk sebuah pohon besar. “Hal itu lebih mungkin dan masuk akal, mengingat begitu banyak orang yang meletakkan sesaji di sana,” lanjut Rino.
Mendengar pernyataan Masnya, Rani memiringkan badan, menghadap wajah kakaknya yang terlihat serius. Lalu menyipitkan mata dengan tatapan sedikit tajam. “Mas, kowe percaya sama berhala? Wah kafir kowe, Mas.”
Rani menghardik kakaknya—meraba keimanan yang dirasa setipis tisu di warung mi ayam.
“La ngopo to? Aku nggak ngomong kalau Tuhan itu setan yang nunggu pohon kok. Aku ya masih percaya kalau Tuhanku Gusti Allah. Aku cuma berasumsi, siapa tau Allah sering berada di pohon karena buktinya banyak orang yang meletakkan sesaji di sana dan berkat itu, petani panenannya jadi bagus—padinya terhindar dari hama-hama yang merusak.”
“Ya nggak adil to. Lalu gimana nasib guru yang lebih sering ngajar di sekolah? Kenapa Tuhan nggak di sekolah saja? Apa iya Gusti Allah ini nggak peduli sama pahlawan tanpa tanda jasa? Katanya Tuhan Maha Adil?” tanya Rani menggugat pernyataan kakaknya yang menurutnya tidak rasional.
Rino diam-diam merutuki argumennya. Merasa dipatahkan oleh bocah yang menurutnya masih anak piyik alias bau kencur ini. Ia menutup matanya—mencoba mencari-cari sanggahan apa yang cocok.
“Kalau begitu, pasti Gusti Allah ada di masjid. Makanya, banyak orang mengunjungi masjid. Kebanyakan, selepas sembahyang di masjid, pasti orang-orang merasakan ketenangan karena habis menemui Tuhannya.” kata Rino yakin.
Rani mengernyitkan dahi, mencoba mencerna apa yang telah didengarnya. “Mmmm, benar juga ya. Tuhan pasti berada di masjid.” Rani mengangguk-angguk tanda setuju.
“Eh, tapi temanku Eko nggak pernah salat tapi kok ayem tentrem dan punya banyak uang untuk menraktir teman-temannya di sekolah? Padahal kan dia jarang menemui Gusti Allah.” Rani meralat pernyataannya.
“Gusti Allah itu nggak di masjid. Dia ke mana-mana pasti—sering jalan-jalan. Kadang ke pohon, kadang ke masjid, kadang juga ke rumah orang-orang. Menengok hambanya satu persatu,” lanjut Rani.
Di akhir percakapan, Rani dan Rino melihat Paman Anwar menuju mereka. Dengan cangkul yang terkait di bahunya dan kaki yang terlihat penuh lumpur, Paman Anwar tersenyum.
“Kalian ngomongin apa to, kok serius amat?” tanya Paman Anwar.
“Ini lo Pak Lik, kata Rani masak Gusti Allah itu kadang di pohon, kadang di masjid, kadang juga pergi ke rumah-rumah semua orang. Memangnya Tuhan punya banyak waktu buat ndolani dapuranmu?” kata Rino sambil njegug kepala Rani.
“Haduuuuh Maas, tak bilangin bapak nanti biar kamu nggak dikasih uang jajan. Kapok~” ledek Rani.
“Eh ladalah iki opo to yo. Gusti Allah itu nggak di sana apalagi di sini, Le, Nduk.” Paman Anwar mulai menjelaskan kepada Rani dan Rino.
“Lho, masak Tuhan sebenarnya nggak ada to Pak Lik?” tanya Rino.
“Heleh, malah tambah ngawur. Tuhan itu nggak di sana dan di sini. Nggak di rumahmu, nggak di masjid, nggak juga di pohon. Sekarang Pak Lik mau tanya, yang menciptakan segalanya itu siapa to?” Paman Anwar kemudian bertanya pada Rino dan Rani.
“Yang menciptakan segalanya ya Tuhan to Pak Lik. Ya Gusti Allah. Masak gitu aja ditanyakan,” jawab Rani.
“Nah, bukankah itu artinya Tuhan juga menciptakan tempat atau ruang dan waktu?” Paman kembali bertanya.
Rino dan Rani kebingungan. Tidak mengerti dengan maksud Paman Anwar.
“Maksudnya gimana to Pak Lik?”
“Jadi gini Le, Nduk. Gusti Allah kan menciptakan segalanya—manusia, tumbuh-tumbuhan, awan, semesta dan seisinya. Begitupun juga tempat dan waktu. Tuhan menciptakan segalanya. Makanya, kamu nggak bisa bilang Tuhan ada di sana atau di sini, sebab semuanya adalah ciptaan Tuhan. Tuhan juga nggak perlu membuang waktu untuk melakukan sesuatu. Karena waktu itu sendiri, juga Tuhan yang menciptakan. Tuhan tidak terikat sama ciptaannya sendiri.”
Rani dan Rino mulai mengerti maksud dari Paman Anwar.
“Sejatinya, Tuhan ada di sini—di dalam hati kamu, di dalam iman kamu. Ketika kalian percaya atau iman kalau Tuhan ada, di situlah Tuhan berada. Begitu dekat denganmu. Bahkan, kata guru ngaji paman dulu, Tuhan lebih dekat dengan umatnya daripada jarakmu dengan urat nadimu sendiri. Sangat dekat, bukan?”
“Oooh, gitu ya Pak Lik. Asyhadu allailaha illallah. Waasyhaduanna muhammadarrasulullah.” Rino dan Rani manggut-manggut.
“Sudah ayo pulang, matahari sudah terbenam. Sebentar lagi buka puasa.”
“Nggih, Pak Lik.”