Ada yang bilang bahwa untuk mengobati luka dalam rangka melupakan seseorang adalah dengan mencari pengganti yang baru. Secara sederhananya, dengan menemukan cinta yang baru, kita bisa dengan mudah melupakan cinta di masa lalu. Toh, katanya tanpa cinta pun kita bisa tetap menikah dan bahagia. Mungkin ini sesuai dengan ajaran, “Witing tresno jalaran seko kulino.” Dari yang tadinya nggak cinta, nanti seiring berjalannya waktu dan hidup bersama pasti ujungnya bakalan cinta juga.
Saya setuju bahwa kita tetap bisa menjalani hidup atau memulai sebuah hubungan meski diawali tanpa rasa cinta. Tapi tentu dengan catatan bahwa perasaan kita sudah netral kembali. Menjalani sebuah hubungan itu sama kayak menjalankan sebuah mobil. Agar mobil bisa melaju dengan lancar, kita harus menempatkan tuas persneling di posisi netral terlebih dahulu sebelum pindah gigi. Nggak bisa dong, mau pindah haluan dari gigi satu ke gigi dua, langsung loncat gitu saja. Harus netral dulu. Sama kayak hati, harus dinetralkan dulu sebelum beralih ke yang lain.
Tak apa jika kita mau mencoba menjalani hidup dengan orang baru yang mana kita belum punya perasaan dengannya. Hanya saja pastikan kita sudah tak punya perasaan mendalam untuk seseorang di hati kita. Yah, ibaratnya gimana kita mau menerima cinta seseorang jika di dalam hati kita saja sudah dipenuhi dengan cinta yang lainnya. Air di dalam gelas aja kalau sudah penuh, lantas diisi dengan air lainnya bakal meluber kan, ya?
Meski kelihatannya sepele, namun banyak orang yang mengamalkan hal ini. Seolah menikah adalah solusi terbaik untuk move on dari masa lalu. Kita lantas bergantung pada pasangan baru, berharap dia bisa menyembuhkan luka, dan membuat kita bahagia terus hingga melupakan mantan. Kita akan terus menuntut. Seharusnya kita sadar, bahwa yang bertanggung jawab atas luka dan bahagia itu adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.
Ada seorang teman yang sering cerita pada saya tentang hal ini. Dia dulunya merasa kecewa karena diputus sepihak oleh pacarnya yang begitu dia cintai. Lalu si mantan ini menikah dengan perempuan lain. Merasa sakit hati ditinggal nikah, akhirnya dia memutuskan untuk balas dendam dengan cara menikah dengan orang lain yang tidak dia cintai. Dia berpikir, jika dia menikah dengan orang lain yang mencintainya, sakit hatinya itu akan hilang dan dia akan bahagia.
Apakah akhirnya teman saya ini bahagia? Tentu saja tidak. Dia justru merasa tersiksa hidup bersama orang yang tidak dia cintai. Dia bahkan sampai depresi berat dan harus mendapatkan perawatan dari psikiater. Kehidupan rumah tangga yang tadinya dia pikir akan indah, justru menjadi kehidupan mengerikan. Dan tanpa disadari, anak-anak yang tidak tahu apa-apa pun ikut menjadi korbannya.
Kisah tragis juga dialami oleh teman saya. Dia juga frustrasi berat karena tahu istrinya itu masih mencintai mantannya. Selama dua tahun menikah, sang istri berkata jujur bahwa dia masih mencintai mantannya dan apesnya lagi, si mantannya ini juga masih mencintai dia meski sudah punya istri. Teman saya bilang bahwa istrinya itu sebenarnya orang yang baik, baik sekali. Dia telaten dalam melayani suaminya, tapi sayangnya semua itu dia lakukan hanya sebatas karena kewajiban semata, bukan karena cinta.
Untuk memulai suatu hubungan yang baru harusnya segala perasaan di masa lalu sudah selesai terlebih dahulu, sehingga tidak ada lagi drama di masa depan. Hal ini bukan hanya menyakiti hati pasangan kita, tapi juga menyakiti diri sendiri. Bayangkan, kita harus hidup dengan orang lain di saat hati dan pikiran kita masih penuh dengan bayangan orang lain di masa lalu. Tentu ini menjadi beban tersendiri bagi kita.
Walaupun kadang waktu bisa meredakan luka, tapi jika kita tidak aware dengan luka itu dan membiarkannya begitu saja merajalela di hati dan pikiran kita, tentu ini hanya akan menjadi utang yang bisa sewaktu-waktu ditagih oleh debt collector. Jika kita memang belum bisa move on, kita belum bisa melupakan mantan, masih sakit hati atau kecewa dengan mantan, sebaiknya jangan menikah dulu. Obati dulu sakit hati kita dan belajar mengikhlaskan masa lalu terlebih dahulu.
Tak masalah jika kita mau mengenal orang lain, tapi jangan jadikan orang lain sebagai pelarian dari luka-luka yang kita alami. Bayangkan saja jika kita yang menjadi mereka, bagaimana perasaannya, dipilih untuk menikah tapi ternyata hanya dijadikan sebagai peran pengganti saja. Ingat, semua orang tentu ingin menjadi tokoh utama dalam cerita kehidupan pernikahannya. Jangan egois, kita mungkin pernah terluka tapi jangan sampai kita menjadi jahat dengan melukai orang yang tulus mencintai kita.
BACA JUGA Andai Tahun 2020 adalah Manusia, Ini 5 Hujatan Buatnya dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.