Sebagai petugas pemasyarakatan tentu istilah WFH bukan tren buat kami. Pasalnya jika kami di rumah, siapa lagi yang bisa jagain dan ngawasin narapida di tengah pandemi seperti ini. Jadi wajar jika ada kontes calon mantu idaman, maka kamilah yang layak menyadang gelar itu. Lha di tengah pandemi saja kami siaga menjaga ribuan narapidana, apalagi kamu yang cuma seorang, Ia, kamu, mylove.
Meskipun selalu ada perasaan was-was yang terselip di batin kami, bagaimana tidak, selain menghadapi ribuan orang dengan beragam latar kriminalnya, kami juga yang tiap harinya berinteraksi, khawatir jika salah seorang napi terinfeksi corona. Coba bayangkan dengan ruang gerak yang sempit, saking sempitnya untuk urusan tidur saja mereka harus berimpitan, tentu virus ini akan sangat mudah menyebar, apalagi jika disusul kepanikan, tentu membuka peluang bagi eksisnya konflik di dalam lapas.
Jadi kadang saya merasa heran dengan orang-orang di luar sana yang suka nyinyir dengan keputusan Menkumham ngasi giveaway pengeluaran bersyarat bagi napi. Mereka mungkin belum pernah menyaksikan secara langsung kondisi di dalam lapas, makanya taraf kepekaanya merosot drastis.
Lagipula kami nggak ngeluarin mereka semau-maunya kok. Mungkin mirip-mirip sama Mahasiswa yang berusaha ngejar gelar es satunya, harus ngelewatin masa kuliah dalam kurun waktu tertentu, dengan seperangkat proposal dan skripsi yang konon katanya berdarah-darah. Baru setelah rampung mereka boleh bebas dari sistem perkuliahan yang membosankan itu.
Nggak jauh beda dengan mekanisme Kampus, agar bisa memperoleh hak asimilasi napi juga harus memenuhi persyaratan dan qualifikasi tertentu. Agar lebih jelas saya akan sebutkan satu persatu.
Satu: Napi yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 dan anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020
Dua: Napi yang nggak terkait dengan tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, serta bukan WNA.
Tiga: Berkelakuan baik dan aktif mengikuti program pembina lapas.
Nah, program asimilasi ini sejatinya bertujuan untuk membaurkan napi ke dalam masyarakat sebelum benar-benar dinyatakan bebas, sederhananya, sebagai masa percobaan selama menjalani proses pembinaan di lapas. Nantinya di luar sana mereka akan berada di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Jadi Mereka yang memperoleh asimilasi, belum bisa dikatakan bebas, mereka tetap menggandeng status napi. Ingat yah, belum B-E-B-A-S. Sehingga ketika mereka kembali berulah maka hak asimilasinya bisa dicabut dan di kembalikan ke lapas.
Sebenarnya, Jauh-jauh hari sebelum corona mengusik hidup kita, program ini sudah berjalan, tapi sepertinya istilah ini baru ngetren di kalangan masyarakat ketika Menkumham mengeluarkan gebrakan asimilasi untuk sekian ribu napi. Langkah ini diambil nggak lain untuk melindungi mereka dari corona. Jadi nggak usah suudzon dulu, yah.
Salah seorang dari mereka mungkin nyeletuk “Kan lebih aman di dalam lapas, secara kan bisa menjadi tempat karantina bagi napi dari corona di luar sana.”
Belum sepenuhnya aman, sejeli dan seketat apa pun manusia mengambil langkah pencegahan pasti masih ada peluang bagi mikroorganisme tak kasat mata ini masuk menembus dinding lapas, lagi pula masih ada pagawai yang keluar masuk dan kemungkinan bisa jadi silent carrier bagi virus ini. Nah, dengan jumlah napi yang begitu padat bisa jadi ancaman jika salah seorang di antara mereka terinfeksi karena akan sangat mudah menyebar.
Coba bandingkan ketika napi menjalankan program asimilasi di rumah. Dengan imajinasi buruk mereka tertular, tentu hanya satu dua orang keluarganya yang mungkin terinfeksi dan penanganannya akan lebih gampang, ketimbang jika mereka menularkan virus di dalam lapas dan menyebarkan ke ratusan hingga ribuan narapidana, pasti penanganannya akan sangat sulit. Jika ruang isolasi dan alat kesehatan yang disediakan lapas nggak cukup, ujung-ujungnya mereka akan ditrasfer ke Rumah Sakit.
Saya masih ingat, ketika saya dan seorang kawan ditugaskan ke Rumah Sakit untuk mengawasi napi yang mengidap HIV, setiap menitnya kami dibayangi rasa was-was. Dengan basis pengetahuan yang masih tergolong minim tentang penyakit ini, nyentuh aja khawatirnya bukan main, apalagi ketika si napi ingin pipis atau buang hajat, kami harus cekatan membuka borgolnya agar ia bisa merampungkan urusannya dengan cepat, tanpa kendala.
Saya kadang berimajinasi bagaimana jadinya saat kami lengah lantas, tiba-tiba Ia melompat ke arah salah seorang di antara kami, dan kabur setelah meninggalkan gigitan ke tangan atau leher kami. Kan bisa gawat.
Nah, satu napi saja kadang repotnya minta ampun, apalagi jika jumlahnya banyak dengan corona di tubuhnya yang familiar mudah menular ini, pasti butuh pengawasan ekstra paripurna. Bukan hanya, Perawat dan Dokter, tapi juga Satpam Rumah Sakit, Satpol PP, Polisi, TNI begitu juga kami pasti ikut berpartisipasi. Mengapa demikian? Yah, karna yang dirawat ini bukan pasien biasa dengan status biasa, mereka ini pasien corona dengan status narapidana, yakin mereka nggak ada niatan buat kabur?
Jika mereka kabur kan bisa meresahkan warga, lha ujung-ujungnya kami lagi yang repot kejar sana, kejar sini. Syukur-syukur kalo nggak dicemooh karna dianggap nggak becus dalam pencegahan masuknya corona di lapas, sehingga menciptakan kondisi demikian. Waduh serba salah kan.
Tentunya gebrakan Menkumham dengan pengeluaran bersyarat ini sudah merupakan keputusan tepat, lagi pula banyak negara lain yang mengambil tindakan serupa, bukan hanya kita loh.
Meskipun akhir-akhir ini kami bayak mendapatkan kritik plus-plus karna beberapa napi yang sedang menjalani asimilasi kembali berulah. Tapi, pernah nggak kita merenungkan, jika dari sekian puluh ribu napi yang menjalani program ini hanya beberapa yang kembali menyimpang, mengapa kita nggak mengapresiasi dan lebih sibuk menonjolkan yang beberapa ini.
Padahal di luar sana banyak juga loh napi yang setelah bebas melakukan hal-hal baik, bahkan ada beberapa di antaran mereka yang terlibat dalam aksi penumpasan corona di muka bumi. Contoh –saya nggak bohong yah – mereka tergabung dalam relawan X baru-baru ini pernah melakukan penyemprotan disenfekta di instansi kami. Nah Itu baru contoh kecil yang berlangsung di sekitar saya, belum di sekitar kalian. Sayang hal seperti ini jarang diumbar media. Huftt.
Jadi sampai disini, nggak ada yang salah kan dengan keputusan Menkumham mengeluarkan puluhan ribu napi lewat asimilasi?
BACA JUGA Nasib Jadi Sipir Baru yang Cuma Bisa Makan Hati Ngeliat Kelakuan Senior atau tulisan Munawir Mandjo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.