Jujur saja saya tidak masalah dengan tukang parkir. Tapi yang membuat saya jengkel adalah ketika sang pelanggan datang dia tidak ada, eh ketika udah beres belanja tiba tiba tukang parkir nongol sambil meminta uang.
Saya tidak masalah dengan tarif parkir yang dibebankan. Seribu, dua ribu atau bahkan sepuluh ribu juga, saya tidak merasa dirugikan atau marah. Tapi, ya, itu kalau memang kendaraan saya benar-benar dijaga keamanannya. Kalau tidak ya saya merasa kesel dan jengkel banget ketika mengeluarkan uang, meskipun hanya dua ribu. Ini bukan perkara uang recehan, tapi rasa jengkel yang telah tertanam karena tukang parkir tersebut.
Ini contoh betapa menyebalkannya tukang parkir yang magabut. Suatu waktu yang lalu, saya beli makan di salah satu tempat makan di daerah saya. Pada awal datang, tempat makan tersebut nggak ada tukang parkirnya. Tapi ketika saya mendatangi motor, tiba-tiba ada tukang parkir muncul dan menagih uang parkir. Saya beri seribu rupiah, eh dia protes. Katanya nggak laku, parkir tuh dua ribu katanya. Ada gila-gilanya emang.
Tukang parkir beres ya ada, tapi itu kan bare minimum
Sebenarnya masih banyak banget tukang parkir yang benar-benar bekerja dan siap menjaga keamanan. Masalahnya, tukang parkir kayak gitu termasuk oknum. Alias langka pake banget. Yang nyebelin jauh lebih banyak, dan malah seakan-akan kayak udah SOP-nya gitu.
Dan perlu diinget, tukang parkir yang bener itu nggak spesial. Kerjanya emang harusnya kek gitu, dan harusnya ya kita nggak perlu heran. Kita nggak pernah kan memuji karena mengajar di kelas? Apa kita pernah memuji pemain sepak bola karena mereka mau mengoper dan menendang bola? Harusnya ya nggak.
Tapi gara-gara stigma yang melekat, yang parahnya malah makin hari makin divalidasi, ya kita seakan-akan sedang menemui keajaiban ketika melihat tukang parkir bekerja. Kita jadi ikhlas membayar jasa yang sudah seharusnya mereka berikan. Dan di sinilah ironisnya, kita baru saja mengelu-elukan bare minimum.
Bayangin, kita nggak ada bedanya dengan memuji orang yang mau cuci piring setelah makan. Uaneh!
Baca halaman selanjutnya
Uang 2 ribu emang kecil, tapi ya tetap saja nggak ikhlas
Uang dua ribu memang kecil. Cuman, kita nggak sepatutnya mengeluarkan uang ke orang yang tidak melakukan kinerjanya secara maksimal. Pekerja itu kan dibayar karena melakukan pekerjaannya. Itulah dasar konsep gaji: kamu bekerja, kamu dibayar. Nah, tukang parkir ya harusnya gitu. Mereka menata motor, bantu kita keluar dari parkiran. Mudah kan?
Ya memang mudah, tapi lebih mudah untuk tidak bekerja wqwqwqwqwq.
Masalah ini menurut saya emang udah seharusnya segera diatasi. Walau sebenarnya perkara parkir ini udah diatur, tetep saja masih banyak yang liar. Kita nggak pernah tahu parkiran itu legal atau tidak, tapi kita tetap membayar parkir di situ. Pun, kita masih nggak dapet jasa yang maksimal dari uang yang kita keluarkan. Kayaknya sih uang parkir itu nggak bisa lagi disebut uang parkir, tapi bayar biaya masuk.
Retribusi mah jelas, uangnya masuk ke negara. Parkir?
Jadi ya, saya nggak bisa ikhlas mengeluarkan uang kepada tukang parkir. Apalagi jika saya nggak mendapat jasa yang sesuai. Beda cerita kalau beneran dibantu parkir, tentu saya tak masalah. Cuman, ya, jika kudu mengeluk-elukannya, bentar dulu. Rasanya bakal aneh. Ini kayak kita sedang memuji pemain bola yang mengoper ke kawannya. Alias, aneh!
Penulis: Tri Andini
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tukang Parkir Liar Nggak Hanya Bikin Pengendara Sebel, tapi Juga Bikin Pengusaha Kecil Bangkrut