Saya Malu Jadi Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Jurusan Paling Sia-sia dan Selalu Kalah dengan Anak Teknik dan MIPA

Saya Malu Jadi Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Jurusan Paling Sia-sia dan Selalu Kalah dengan Anak Teknik dan MIPA

Saya Malu Jadi Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Jurusan Paling Sia-sia dan Selalu Kalah dengan Anak Teknik dan MIPA (Pixabay.com)

Mendekati akhir kuliah tiba-tiba saya tersadarkan, kalau jurusan kuliah saya ternyata cukup memalukan. Bukan karena apa-apa, tapi masuk jurusan Sosiologi adalah awal penderitaan saya. Pasalnya, setiap kali saya ditanya soal jurusan, alih-alih saya menjawab dengan sejujurnya, saya lebih sering menjawab kalau saya kuliah di FISIP, sebab itu masih kelihatan keren.

Saat ini saya sudah semester 7, sidang skripsi sudah di depan mata, tapi saya masih gini-gini saja. Jujur, selama ini yang saya dapatkan hanyalah penelitian-penelitian yang nggak ada habisnya. Saya juga nggak tahu, apakah penelitian saya itu berguna atau nggak sama sekali. Saya pun malu, kontribusi saya seperti lenyap nggak ada apa-apanya.

Mungkin, ini juga yang dialami mahasiswa Sosiologi baik yang sudah lulus maupun tingkat akhir di luar sana. Nggak ada yang bisa kami banggakan kecuali punya Mbah bernama Karl Marx. Sudah itu saja.

Jurusan Sosiologi adalah jurusan paling sia-sia dan kita wajib menyesalinya

Pengalaman saya selama 3,5 tahun masuk jurusan Sosiologi tampaknya memang sia-sia. Dan, kita semua yang sudah terlanjur nyemplung ke situ wajib menyesalinya. Hal ini bukan tanpa sebab. Sosiologi menjadi peringkat kedua jurusan paling disesali versi ZipRecruiter tahun lalu. Sebanyak 72 persen lulusan menyesal karena pernah menginjakkan kaki di Sosiologi.

Mendengar berita ini nggak membuat saya marah, apalagi memerangi hasil tersebut. Saya justru introspeksi dan mengaminkan, bahwa jurusan saya ini sia-sia. Hal ini saya buktikan sendiri. Sosiologi dari sebutannya saja memang susah dipahami. Susah sekali menjelaskan peran dan fungsinya ke orang lain, terutama orang tua.

Rasanya, seperti percuma saja saya belajar pemikiran Mbah Comte sampai Mbah Derrida, tapi aplikasinya kurang diminati. Saya nggak bilang Sosiologi itu buruk, tapi bagi siapa pun yang coba-coba masuk ke dalamnya, harus siap ke mana-mana membawa kantong kresek untuk menutupi mukanya.

Pernah suatu ketika, sepupu jauh saya tanya soal saya masuk jurusan apa. Saya jawab kalau saya masuk Sosiologi. Ekspresinya pun langsung berubah. Seolah jurusan ini adalah jurusan yang harus dihapuskan. Katanya, ngapain kuliah Sosiologi kalau ujung-ujungnya jadi guru? Batin saya, iya kalau jadi guru, kalau nggak? Banyak kakak tingkat saya yang lebih memilih jadi sales dan budidaya maggot di rumah. Blas nggak ada nyambungnya.

Baca halaman selanjutnya

Jago debat. Debat doang sih…

Jago berdebat, tapi kalau ditanya nanti kerja apa malah diam di tempat

Kalau ditanya Sosiologi itu jago debat, saya akui memang iya. Beberapa kali ketika forum, mahasiswa-mahasiswa Sosiologi menjadi garda terdepan untuk menolak asumsi-asumsi yang keliru. Nggak jarang mahasiswa jurusan ini yang nyambi jadi aktivis, berdebat ke sana ke mari dengan pimpinan kampus, bahkan berdebat dengan pemerintah atau anggota dewan. Beberapa kali pula mereka menang lomba debat, dsb.

Namun, hanya ada satu yang nggak bisa mereka perdebatkan. Yakni, ketika sudah lulus mereka mau jadi apa. Kalau harus memilih menguras air laut atau meladeni pertanyaan seperti ini, sepertinya mereka, bahkan saya, akan lebih memilih menguras air laut. Menjawab pertanyaan tersebut bak sedang mencari jarum di tumpukan buku-buku anak Sosiologi jerami. Susah!

Anak Teknik dan MIPA lebih dihargai di mata masyarakat

Satu hal lain yang membuat saya malu jadi mahasiswa jurusan Sosiologi adalah selalu kalah dengan mahasiswa Teknik maupun MIPA. Di mata masyarakat, justru jurusan Teknik dan MIPA-lah yang sangat digandrungi. Mereka banyak berkontribusi menciptakan alat-alat yang secara konkret membantu masyarakat. Padahal, Sosiologi sendiri punya arti “ilmu yang mempelajari masyarakat”. Tapi, kok, di mata masyarakat saja terasa asing, bagaimana mau mempelajarinya?

Selain itu, anak Teknik atau MIPA lebih sering menang lomba karya tulis ilmiah, ketimbang kami mahasiswa Sosiologi. Padahal, setiap hari makanan kami adalah riset ilmiah. Hal ini bukan tanpa sebab. Bukan pula mahasiswa Sosiologi nggak bisa nulis atau apa, justru mereka sangat pandai. Akan tetapi, sepertinya juri-juri lomba lebih suka karya tulis ilmiah yang mengajukan kemajuan, seperti membuat aplikasi dan alat-alat mekanik bagi kehidupan, ketimbang pemikiran konseptual tetek bengek yang sulit dipahami.

Maka dari itu, sudah seharusnya mahasiswa Sosiologi menyesal bersama-sama. Menunggu kapan badai ini reda sama saja menunggu PSG juara Liga Champions, alias ora mungkin. Mahasiswa Sosiologi yang terjerumus seperti saya, memang harus banyak-banyak bersabar. Sesekali ganti kantong kresek untuk menutupi muka yang sudah telanjur malu ini.

Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Hal Nggak Enaknya Jadi Lulusan Sosiologi Murni

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version