Jago berdebat, tapi kalau ditanya nanti kerja apa malah diam di tempat
Kalau ditanya Sosiologi itu jago debat, saya akui memang iya. Beberapa kali ketika forum, mahasiswa-mahasiswa Sosiologi menjadi garda terdepan untuk menolak asumsi-asumsi yang keliru. Nggak jarang mahasiswa jurusan ini yang nyambi jadi aktivis, berdebat ke sana ke mari dengan pimpinan kampus, bahkan berdebat dengan pemerintah atau anggota dewan. Beberapa kali pula mereka menang lomba debat, dsb.
Namun, hanya ada satu yang nggak bisa mereka perdebatkan. Yakni, ketika sudah lulus mereka mau jadi apa. Kalau harus memilih menguras air laut atau meladeni pertanyaan seperti ini, sepertinya mereka, bahkan saya, akan lebih memilih menguras air laut. Menjawab pertanyaan tersebut bak sedang mencari jarum di tumpukan buku-buku anak Sosiologi jerami. Susah!
Anak Teknik dan MIPA lebih dihargai di mata masyarakat
Satu hal lain yang membuat saya malu jadi mahasiswa jurusan Sosiologi adalah selalu kalah dengan mahasiswa Teknik maupun MIPA. Di mata masyarakat, justru jurusan Teknik dan MIPA-lah yang sangat digandrungi. Mereka banyak berkontribusi menciptakan alat-alat yang secara konkret membantu masyarakat. Padahal, Sosiologi sendiri punya arti “ilmu yang mempelajari masyarakat”. Tapi, kok, di mata masyarakat saja terasa asing, bagaimana mau mempelajarinya?
Selain itu, anak Teknik atau MIPA lebih sering menang lomba karya tulis ilmiah, ketimbang kami mahasiswa Sosiologi. Padahal, setiap hari makanan kami adalah riset ilmiah. Hal ini bukan tanpa sebab. Bukan pula mahasiswa Sosiologi nggak bisa nulis atau apa, justru mereka sangat pandai. Akan tetapi, sepertinya juri-juri lomba lebih suka karya tulis ilmiah yang mengajukan kemajuan, seperti membuat aplikasi dan alat-alat mekanik bagi kehidupan, ketimbang pemikiran konseptual tetek bengek yang sulit dipahami.
Maka dari itu, sudah seharusnya mahasiswa Sosiologi menyesal bersama-sama. Menunggu kapan badai ini reda sama saja menunggu PSG juara Liga Champions, alias ora mungkin. Mahasiswa Sosiologi yang terjerumus seperti saya, memang harus banyak-banyak bersabar. Sesekali ganti kantong kresek untuk menutupi muka yang sudah telanjur malu ini.
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Hal Nggak Enaknya Jadi Lulusan Sosiologi Murni