Mendekati akhir kuliah tiba-tiba saya tersadarkan, kalau jurusan kuliah saya ternyata cukup memalukan. Bukan karena apa-apa, tapi masuk jurusan Sosiologi adalah awal penderitaan saya. Pasalnya, setiap kali saya ditanya soal jurusan, alih-alih saya menjawab dengan sejujurnya, saya lebih sering menjawab kalau saya kuliah di FISIP, sebab itu masih kelihatan keren.
Saat ini saya sudah semester 7, sidang skripsi sudah di depan mata, tapi saya masih gini-gini saja. Jujur, selama ini yang saya dapatkan hanyalah penelitian-penelitian yang nggak ada habisnya. Saya juga nggak tahu, apakah penelitian saya itu berguna atau nggak sama sekali. Saya pun malu, kontribusi saya seperti lenyap nggak ada apa-apanya.
Mungkin, ini juga yang dialami mahasiswa Sosiologi baik yang sudah lulus maupun tingkat akhir di luar sana. Nggak ada yang bisa kami banggakan kecuali punya Mbah bernama Karl Marx. Sudah itu saja.
Jurusan Sosiologi adalah jurusan paling sia-sia dan kita wajib menyesalinya
Pengalaman saya selama 3,5 tahun masuk jurusan Sosiologi tampaknya memang sia-sia. Dan, kita semua yang sudah terlanjur nyemplung ke situ wajib menyesalinya. Hal ini bukan tanpa sebab. Sosiologi menjadi peringkat kedua jurusan paling disesali versi ZipRecruiter tahun lalu. Sebanyak 72 persen lulusan menyesal karena pernah menginjakkan kaki di Sosiologi.
Mendengar berita ini nggak membuat saya marah, apalagi memerangi hasil tersebut. Saya justru introspeksi dan mengaminkan, bahwa jurusan saya ini sia-sia. Hal ini saya buktikan sendiri. Sosiologi dari sebutannya saja memang susah dipahami. Susah sekali menjelaskan peran dan fungsinya ke orang lain, terutama orang tua.
Rasanya, seperti percuma saja saya belajar pemikiran Mbah Comte sampai Mbah Derrida, tapi aplikasinya kurang diminati. Saya nggak bilang Sosiologi itu buruk, tapi bagi siapa pun yang coba-coba masuk ke dalamnya, harus siap ke mana-mana membawa kantong kresek untuk menutupi mukanya.
Pernah suatu ketika, sepupu jauh saya tanya soal saya masuk jurusan apa. Saya jawab kalau saya masuk Sosiologi. Ekspresinya pun langsung berubah. Seolah jurusan ini adalah jurusan yang harus dihapuskan. Katanya, ngapain kuliah Sosiologi kalau ujung-ujungnya jadi guru? Batin saya, iya kalau jadi guru, kalau nggak? Banyak kakak tingkat saya yang lebih memilih jadi sales dan budidaya maggot di rumah. Blas nggak ada nyambungnya.
Baca halaman selanjutnya