Sekitar pertengahan September 2023 lalu, saya berkesempatan untuk pergi ke Subang, Jawa Barat, dari Jakarta, dalam rangka acara kaderisasi dari salah satu organisasi di kampus. Kebetulan saya menjadi panitia di acara itu dan pergi duluan ke Subang bersama beberapa rekan panitia lain guna menyiapkan tempat pelaksanaan acara.
Kami berangkat pada pukul 2 siang dari Jakarta menggunakan semacam truk TNI dan sampai di tujuan selepas maghrib. Untuk menuju ke tempat pelaksanaan acara, satu-satunya akses ialah tangga yang curam menuruni lereng. Jadi, tronton diparkirkan di jalan di atas puncak lereng, lalu kami menurunkan barang-barang bawaan acara yang banyak dan berat ke bawah dengan melalui tangga yang curam itu.
Rasa penat yang luar biasa menyerang diri saya karena harus mengangkat barang-barang tersebut. Bolak-balik naik turun tangga yang cukup menguras tenaga. Hingga pukul 10 malam, seluruh barang bawaan telah diturunkan.
Kirain dingin dan sejuk, eh ternyata…
Esok harinya, pada pukul tujuh pagi, cuaca pada hari itu sangat cerah dengan langit biru tanpa awan. Saat itu suhu udara belumlah panas, masih dingin, sejuk dan segar, seperti berada di dataran tinggi. Ya, wilayah Subang yang saya datangi, lebih tepatnya daerah kabupatennya bukan kotanya, memang termasuk dataran tinggi.
Menjelang siang hari, sekitar pukul setengah 11, barulah para peserta dan beberapa panitia yang datang belakangan itu datang. Saya ditugaskan untuk menjemput para peserta di atas lereng lalu menuntun mereka ke bawah, tempat berlangsungnya acara. Awalnya, saya mengira cuaca cerah, langit biru, serta suhu udara yang rendah, sejuk dan segar itu tetap akan bertahan hingga tengah hari.
Nyatanya, tinggal langit biru dan cuaca cerahnya saja yang bertahan. Alias, suhu udaranya tidak dingin dan sejuk lagi!
Suhu udara meningkat menjadi tidak dingin lagi, berubah menjadi panas. Ditambah kondisi langit yang sangat cerah dan sinar matahari yang menyinari Subang sangatlah terik. Dengan keadaan seperti itu, akhirnya saya naik ke atas lereng bersama satu orang teman dengan napas yang tersengal-sengal. Menaiki tangga yang curam memerlukan tenaga yang ekstra. Ditambah saya yang tidak terbiasa menaiki tangga securam dan semelelahkan itu, maka kami menaiki lereng dengan pelan-pelan.
Malam yang dingin saja naik-turun di lereng itu sudah bisa buat tenaga terkuras serta tubuh berkeringat, apalagi di waktu pagi menjelang siang yang sangat panas dan terik ini.
Saat sampai puncaknya, saya benar-benar mandi keringat. Pada saat menuruni lereng bersama para peserta pun juga melelahkan. Cuaca Subang yang benar-benar cerah dan panas ini membuat rasa penat datang lebih cepat.
Akhirnya, ketika sampai di bawah, saya langsung beristirahat dan mengatur napas. Kebetulan saja, panitia konsumsi telah menyelesaikan masakannya. Tidak menunggu lama-lama, masakan tersebut habis disantap oleh saya dan mereka-mereka yang baru saja turun dari atas lereng.
Panasnya Subang sama seperti Jakarta
Lantas, saya berpikir, ternyata Subang tidak sesuai dengan ekspektasi saya; sejuk, dingin, dan menyegarkan. Nyatanya sebaliknya. Cuaca sangat terik, panas, dan melelahkan.
Saya berasumsi mungkin kejadian seperti ini wajar saja terjadi, mengingat musim kemarau masih berlangsung. Terlihat sih, tanah yang ada di lereng itu sangat kering, pecah-pecah, dan banyak daun-daun dari pohon yang berguguran.
Namun, saya temukan hal yang menarik. Cuaca panas dari yang ada di Subang ini sebelas dua belas dengan panas yang ada di Jakarta. Jadi, persamaan antara Subang dan Jakarta itu ialah panasnya. Panasnya sama-sama menyengat dan mungkin suhu udaranya pun relatif sama.
Sama, tapi beda
Akan tetapi, walaupun panasnya sama-sama menyengat plus suhu udaranya yang relatif sama, ada perbedaan yang terlihat jelas. Cuaca atau udara panas di Subang tidak disertai polusi udara yang tidak sehat. Sedangkan di Jakarta, sudah panas, berpolusi lagi. Pastinya membuat pernapasan makin sesak.
Kalau di Subang, seperti yang telah saya terangkan di atas, napas yang tersengal-sengal itu gara-gara menaiki tangga yang curam di lereng tersebut. Dan, udara panasnya hanya membuat tenaga lebih cepat terkuras.
Demikianlah pengalaman saya pergi ke kota yang terletak di sebelah utara Bandung itu. Cuaca yang saya ekspektasikan sejuk dan menyegarkan itu tidak terjadi. Nyatanya, yang ada adalah cuaca yang terik dan panas seperti Jakarta.
Esok harinya, acara telah selesai, dan saya harus kembali lagi naik ke atas lereng, tempat truk yang membawa saya, panitia, dan peserta pulang. Dan, dengan cuaca yang sama panasnya. Ujungnya mandi keringat lagi deh.
Setelah pengalaman ke Subang ini, saya tak mau pasang ekspektasi yang tinggi. Sewajarnya aja, biar nggak kecewa. Ya meski saya nggak kecewa juga sih. Tapi, tetap saja, pengalaman ini, saya rasa menyenangkan.
Penulis: Muhammad Arifuddin Tanjung
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jakarta Adalah Tempat Terbaik untuk Menemukan Ketenangan Melebihi Jogja