Saya Bukan Anak Raja, Maka Saya Menulis

Alangkah Kesalnya Kalau Ada Orang Minta Diajarin Nulis Tapi Dia Pemalas terminal mojok.co

Alangkah Kesalnya Kalau Ada Orang Minta Diajarin Nulis Tapi Dia Pemalas terminal mojok.co

Sudah lama saya menyukai bahkan bisa dibilang menggeluti dunia literasi. Sejak pertama kali bisa mengeja huruf menjadi kata, kemudian mengumpulkan menjadi sebuah kalimat, saya sudah jatuh cinta membaca. Mungkin juga almarhum Ayah saya yang saat itu begitu ingin anak-anaknya bisa bersekolah atau paling tidak berpendidikan memberikan dorongan begitu besarnya. Ibu saya? Walaupun tidak pernah merasakan bangku sekolah bahkan termasuk golongan buta huruf begitu bersemangat ketika saya masuk jajaran orang yang bisa membaca dalam usia yang relatif muda.

Lalu saya menjadi sedikit “kutu buku” untuk ukuran seorang anak SD. Hampir semua buku yang saya punya atau pinjam, saya “lahap” walau kadang dalam waktu yang relatif lama. Saya benar-benar masuk kategori kutu buku dibandingkan teman-teman saya saat itu. Bahkan beberapa teman saya menjuluki saya “buku berjalan”. Untuk orang kota, mungkin lumrah saja. Tapi tidak untuk orang-orang yang bermukim di pedesaan macam tempat saya, itu luar biasa.

Hasilnya? Tentu saja saya menjadi orang yang selalu mendapat ranking di kelas. Bahkan sejak masuk SD sampai lulus.

Setelah pada level menjadi kutu buku ini, saya merasa stuck dan tidak ada lagi progress yang bisa saya lakukan. Lantas beberapa teman saya menganjurkan saya untuk menulis. Sayangnya, beberapa kali berusaha memulai menulis, tidak manjur apa yang disarankan teman-teman saya tadi.

Saya bahkan masih ingat, teman-teman saya banyak memberikan kata-kata mutiara dari berbagai penulis terkenal. Sebut saja Pram, misalnya. Dengan kata-kata mutiara terkenalnya soal menulis “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di masyarakat dan dari sejarah”. Atau ada juga teman lain menyemangati dengan kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Lagi-lagi, keinginan saya menulis masih di posisi netral. Gigi satu saja belum masuk. Padahal pengen juga tulisan saya dibaca orang. Pikirku dalam hati.

Lantas sebuah quote dari seorang  Ulama besar, Al-Ghazali membimbing saya. “Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah!” Sebuah quote yang langsung menampar saya. Mengingatkan saya kembali kepada almarhum ayah saya. Bernostalgia saat saya mulai begitu sangat dikagumi oleh kedua orag tua saya karena bisa membaca. Dan saat ini saya memiliki misi menuliskan apa yang sudah saya baca. Kira-kira begitu yang terlintas di pikiran saya ketika mengigat almarhum ayah saya.

Kata-kata Mutiara Al-Ghazali ini benar-benar menjadi semacam penyemangat saya. Mengapa bisa demikian? Saya kembali teringat aalmarhum ayah saya. Bukan hanya dalam banyangan wajah, tapi juga apa yang dilakukan beliau selama hidupnya.

Secara hitungan, saya mengenal ayah saya secara singkat. Bukan karena meninggalnya beliau yang bisa dibilang cukup cepat, tapi apa yang dilakukannya dengan menulis. Walau tidak dalam bentuk tulisan berjilid-jilid, beliau seakan menginspirasi seisi rumah kami untuk menulis. Apa saja. Menulis hari, menulis kejadian, menulis cerita, karangan, sajak atau apapun itu. Cukup tulis saja.

Ayah saya termasuk perantau (kalau orang zaman sekarang bilang). Menjelajahi hampir seluruh pulau di Indonesia bahkan beberapa negara tetangga macam Malaysia, Singapura bahkan Brunei Darussalam. Dan tentu saja, yang bisa mengingatkan beliau tentang begitu banyak lokasi dan tempat, begitu banyak kejadian dalam berbagai waktu adalah dengan menulisnya.

Tidak peduli untuk kejadian penting atau bukan, semuanya hampir masuk dalam catatan beliau. Bayangkan, untuk utang sebesar Rp 250 saja masih tidak luput dari tulisan di catatan harian beliau. Bahkan salah satu kejadian besar yang pernah masuk dalam catatannya dan saya kebetulan membacanya adalah ketika mereka menemukan seorang pegawai di sebuah kecamatan yang terdampar di perairan pulau buru. Saya lupa waktu tepatnya, tapi di catatan itu tertulis jelas bahkan nama si survivor yang diselamatkan ayah saya dan teman-temannya.

Maka tidak heran, ketika Al-Ghazali mengingatkan saya tentang menulis, saya teringat orang tua saya. Ya benar, orang tua saya bukan Ulama Besar, dan lebih-lebih bukan Raja. Bukan pejabat. Dan beliau sudah menunjukkan jalan itu awalnya kepada kami, kepada saya. Beliau juga bukan anak seorang ulama, bukan anak seorang raja dan beliau menulis. Walau bukan sebuah memoir politik, bukan kitab rujukan agama atau bukan novel best seller tapi beliau menulis. Menulis semua rangkaian kegiatannya, kehidupannya, kejadian besar dalam hidupnya.

Al-Ghazali dan tentu saja Ayah saya sendiri telah menginspirasi saya untuk menulis. Ayah saya bukan raja dan juga bukan ulama maka saya terinspirasi darinya untuk menulis. Terimakasih, Ayah.

Exit mobile version