Saya Bertanya pada Bocil Alasan Ngefans Coach Justin

Koch justin netizen indonesia @txtdaricoachy ted lasso coach justin pendapat opini assist mojok

@txtdaricoachy ted lasso coach justin pendapat opini assist mojok

Tiap generasi punya masanya, bapak saya main dengan sapi, misalnya. Sedang ketika saya kecil pol mentok ya main delikan atau gobak sodor di lapangan desa. Nih ya, kalau surup dikit, pilihannya jatuh kepada main bola. Ketika Adzan Magrib, pertandingan selesai. Pun dengan bocah jaman sekarang, mereka sibuk dengan ponselnya. Apakah salah? Nggak juga. Soalnya Salah itu pemain Liverpool. Dari sekian banyak platform yang ada di ponsel pintar mereka, YouTube adalah pilihan sakti. Barangkali pilihan jatuh kepada MiawAug dan Windah Basudara masih bisa masuk dalam pikiran saya. kok ya bisa bocah-bocah di kampung saya ini ngadain nobar Jastok-nya Coach Justin. Maksud saya…. ah, sudahlah.

Tendensi sudah jelas, mereka amat menyukai sepak bola. Dari waktu ke waktu, sepak bola adalah kebahagiaan yang nggak bisa diganggu gugat kehadirannya. Dari jaman ayah saya, saya, dan anak-anak kecil era sekarang, lapangan desa walau sudah berubah jadi konblok, sepak bola masih menjadi ritual melarung suka cita.

Saya lantas penasaran, dari sekian banyak kanal YouTube sepak bola yang mbois dan kaya akan gizi, kenapa mereka memilih Coach Justin? Saya nggak bermaksud menyepelekan, ya, namun orang normal seperti saya ketika disuruh memilih kanal Coach Justin dan Dewan pandit Indonesia, ya jelas saya bakal milih Ruang Taktik atau Bola Bung Binder. Poros Halang juga boleh walau isinya kebanyakan membahas Manchester United.

Ternyata jawaban mereka—anak-anak kecil di desa saya ini—amat lucu dan menggembirakan. Memilih kanal YouTube Coach Justin, ternyata ada beberapa alasannya. Pertama, lucu. Iya, begitu kata salah satu anak yang sata tanyai. “Wajahnya lucu, sok galak tapi sebenarnya dia baik,” katanya dengan polos.

Bahkan anak kecil aja tahu sifat sok kerasnya ini adalah bagian dari gimmick belaka. “Omongannya keras, tapi lucu kalau ngomong. Jadi suka dengernya,” begitu lanjutannya. Saya juga curiga, jangan-jangan statement blio yang nggatheli itu hanya gimmick belaka untuk menarik perhatian penontonnya.

Namun, kala saya nanya anak-anak ini punya Twitter dan follow blio di media sosial itu atau nggak, mereka kompak nggak tahu. Kalau tahu bagaimana kelakuan idolanya di Twitter, mungkin bisa saja mereka berpikir seribu kali lagi. Ah, tapi bukan masalah. Saya ketika kecil pernah masuk fase bernama alay, mungkin generasi mereka ini sedang masuk sebuah fase bernama ngefans sama Justin. Itu.

Kedua, kaya akan gizi ilmu sepak bola. Yang ini sih saya ngampet ngguyu, namun ya itu tadi, saya hargai semua pendapat anak-anak ini. Mereka gembira, mereka menyimak, dan mereka mempraktikkan. “Main bola pakai taktik,” kata mereka. Nah itu sih sisi positif hadirnya influencer yang nyambi jadi pandit (eh, kebalik, ya?) suaranya didengar sampai anak-anak sekalipun.

Bermain dengan taktik seperti apa yang mereka maksud? Katanya, “Kalau nggak bisa main bola, itu namanya no vision.” Ealaaah cilaka. Geger budaya.

Ketiga, inspirasi bahan ngecengin temen. Nah ini yang saya takutkan, kadang pandit yang nyambi jadi influencer itu suaranya begitu didengar. Apalagi sama generasi enom seperti anak-anak ini. Saya yakin, kultur seperti ini nggak hanya terjadi kepada anak-anak yang saya tanyai, melainkan terjadi kepada setiap anak-anak yang lihat Coach Justin.

“Aku suka banget ngejek temen dengan sebutan ayam sayur,” kata salah satu anak. Ketika saya tanyai, tahu nggak ejekkan itu mengarah kepada Tottenham Hotspur, mereka nggak tahu. “Aku ngejek temen ayam sayur karena suka sama Manchester United.” Welah, pitikih.

Dari ejek mengejek ini, melahirkan sebuah sifat benci yang kurang suportif. Era dahulu, orang sentimen dengan MU murni karena fans Liverpool. Seakan embrio kebencian ini terjadi. Saya nggak menyangka, kok ya bisa anak-anak ini membenci MU karena ngefans sama Coach Justin. Intinya ya beda pandangan dengan mereka, auto bully. Sungguh menyeramkan kultur menyukai tim sepak bola sejak era Justin masuk ke dalam pori-pori anak-anak era ini.

“Kan Justin nggak cuma ngejek MU?” tanya saya, mereka hanya ketawa-ketawa. Welah malah piye, mungkin di batin mereka berbisik dengan mesra: dasar kardus!

BACA JUGA Coach Justin adalah Pandit Sepak Bola Paling Cerdas di Muka Bumi, No Debat! dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version